Beberapa menit berlalu.
Rafa dan Refan akhirnya sampai di SMA Wijaya. Sekolah mereka. Refan langsung melesatkan motornya ke parkiran. Setelah itu Rafa turun dari motor Refan. Meskipun dengan susah payah, faktor tubuhnya memang.
Rafa berdiri menunggu abangnya selesai memarkirkan sepedanya. Tatapannya mengedar menatap sekeliling. Banyak siswi yang mencuri pandang pada abangnya itu.
Yang paling dipertanyakan. Kenapa rata-rata siswi tersebut menutup mulut mereka dengan binar mata yang menyilaukan. Perempuan memang begitu ya?
Tak mempedulikan itu. Rafa memilih mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tak melihat keberadaan dua abangnya, Vano dan Alan.
"Ayo," ajak Refan setelah selesai memarkirkan sepeda motor mahalnya. Dengan tas yang disampirkan di sebelah pundaknya dan tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celana sekolahnya.
"Ayo abang," balas Rafa dengan semangat. Apapun yang berkaitan dengan sekolah, ia selalu semangat. Sampai dimana mereka sudah berada di depan kelas Rafa. Refan mengacak surai milik Rafa sejenak, "Nanti pulang tunggu abang, abang akan menjemput mu di sini," ucap Refan sebelum pergi ke kelasnya sendiri.
"Siap abang," jawab Rafa dengan tangan yang membentuk pose hormat.
Berat sebenarnya meninggalkan adiknya. Tapi ia harus masuk ke kelasnya.
Setelah berpamitan singkat. Refan berlalu menjauh dari kelas Rafa. Melihat tubuh abangnya yang tak terlihat lagi, baru Rafa masuk ke dalam kelasnya.
Cukup ramai. Ada beberapa siswa dan siswi yang sudah berada di dalam kelas. Melihat bangkunya. Tak mendapati abangnya.
Kemana abangnya. Kenapa belum berangkat.
Tak jarang siswi maupun siswa yang lain menyapa dirinya. Dengan ramah Rafa membalasnya. Rafa suka jika banyak teman.
Rafa duduk di tempatnya. Ia mengeluarkan handphonenya dari saku seragamnya. Memainkan game yang berada di handphonenya sembari menunggu kedatangan abangnya itu.
Bel masuk berbunyi tapi Vano dan tiga temannya belum juga datang. Apakah Vano sakit?
Baru juga dibicarakan. Sosok yang dicari-cari akhirnya memunculkan diri. Dari ambang pintu, masuklah Wildan, Brian, Zidan dan yang terakhir adalah Vano. Vano masuk kelas dengan aura suram. Tatapan dinginnya menatap ke depan dengan bibir terkatup rapat.
Tatapan dinginnya bertemu dengan tatapan binar milik Rafa. Dengan lugu, Rafa melambaikan tangannya dan dihadiahi tatapan tajam dari Vano. Dalam diam, Vano duduk di bangkunya. Seolah-olah tak melihat keberadaan Rafa. Vano sibuk dengan handphonenya.
Rafa tentu terheran-heran dengan abangnya ini. Kenapa? Marah?
Saat ingin memulai pembicaraan, guru yang mengajar telah memasuki kelas. Rafa mengurungkan niatnya untuk bertanya pada abangnya. Sepertinya Vano juga dalam mood yang buruk. Lebih baik dibiarkan dulu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafa
Fanfiction[Brothership] [Not bl] Tentang Rafa, hidup bersama kedua orang tuanya yang memiliki hidup pas-pasan. Rafa tidak mengeluh akan hidupnya. Bahkan ia dengan senang membantu pekerjaan orang tuanya. Ayahnya sebagai tukang kebun di kediaman ALARICK dan i...