Bagian; O2.

338 70 0
                                    

"Aru pulang."

Diletakkannya kresek berisikan martabak telur kesukaan sang Bunda. Lalu, ia memilih untuk mandi mengingat dirinya habis dibanjiri keringat.

"Tumben sedikit lebih malam, Nak .."

Ita──sang bunda──bergegas menyiapkan makam malam. Kebiasaan keluarga Gintari setiap hari adalah makan bersama.

"Bun, Aru sudah pulang?"

"Sudah, lagi mandi dia,"

Arunika Gintari. Anak sulung dari keluarga Gintari. Ayahnya──Abimata──bekerja disalah satu pabrik barang-barang elektronik yang cukup besar. Sedangkan sang Bunda──Ita──mengelola butik kecil yang ia warisi dari kedua orangtuanya.

Hidup Aru memang tidak bergelimang kekayaan. Tapi, ia sangat bersyukur dapat lahir dalam keluarga yang hangat. Saling terhubung satu sama lain dan selalu mementingkan keluarga.

"Nak, kok kamu beli martabak? Bunda kan masak."

Kehadian Aru dengan handuk yang bertengger di lehernya langsung disambut dengan pertanyaan Ita. Pasalnya, Aru sudah tiga hari berturut-turut membawakan makanan-makanan kesukaan keluarga nya.

Dua hari lalu, ia membawakan pecel lele kesukaan Abimata. Lalu kemarin ia membawakan es cendol kesukaan Adrian──Adiknya──lalu hari ini, ia membawakan martabak telur favorit Ita.

"Tadi pagi Aru denger Bunda bilang kangen sama martabak Cihampelas. Jadi Aru beli deh."

"Liat Bun, peka sekali anak kita. Pacarnya nanti pasti selalu bahagia tuh," ujar Abimata sedikit mengejek.

"Loh? emang ada yang mau sama Kak Aru yang prioritas nya basket?" si adik menimpali.

"Liatin ya besok kakak punya pacar nggak akan beliin kamu es cendol lagi."

"Sudah-sudah, ayo makan," lerai Ita.

Makan malam pun dimulai. Sambil bertukar cerita, semua keluarga Gintari menikmati masakan Ita. Aru menceritakan tentang pertandingan hari ini. Adrian menceritakan tugas-tugas sekolahnya. Tak mau kalah, Ita dan Abimata pun ikut menceritakan tentang pekerjaan mereka hari ini.

Malam malam terasa lebih hangat ketika semua keluarga saling bertukar cerita. Bukan diam, dan hanya bising alat makan yang mendominasi. Seperti keluarga Swastamita.

Dalam waktu yang sama, Ata dan kedua orangtuanya pun sedang makan malam. Meja makan besar itu dipenuhi lauk yang dimasak Bi Summah. Karna jadwal kantor yang padat Resa──sang ibu── selalu tak sempat untuk memasak.

Tak ada yang berbeda dari biasanya. Semuanya terlalu sibuk masing-masing. Johan sibuk dengan tablet pekerjaannya, sama dengan Resa yang sibuk dengan ponselnya. Entah apa lagi yang mereka lakukan, intinya mereka terlalu memprioritaskan pekerjaan dibanding anak semata wayangnya yang duduk dengan wajah lesu.

Ata sudah terbiasa dengan hal ini, maka tak heran jika hanya ia yang fokus terhadap makan malam.

"Kamu tadi sehabis evaluasi, pergi kemana?" tiba-tiba Johan membuka pembicaraan.

"Ata sama Haura nonton tim basket sekolah tanding, Pa."

Sejujurnya Ata terlalu takut mengatakan yang sebenarnya. Johan terlalu sensitif untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan pendidikan. Namun, akan lebih buruk apabila Ata tak mengatakan yang sebenarnya.

"Sudah Papa bilang, kamu itu harus kurangi hal-hal yang nggak bersangkutan dengan nilai kamu," Johan berkata tanpa sedikitpun menoleh pada Ata.

Resa yang mendengar langsung menimpali, "Pa, Ata juga kan remaja. Boleh dong sekali-kali dia nikmati masa-masa dia."

Aru; Rumah untuk Ata.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang