Bagian; 18.

142 36 8
                                    

Hari itu, hari yang berat bagi Swastamita. Entahlah, sendari kemarin ia merasa jika badannya terasa nyeri. Kepalanya pusing, bahkan pandangannya terkadang kabur.

Aru sudah memaksa gadis itu untuk berobat ke dokter. Namun, Ata masih keras kepala jika ia akan baik-baik saja. Ya, alhasil Aru hanya bisa memberikan bekal dan obat untuknya.

"Nih, minumnya."

Aru meletakkan tangannya dikening Ata, takut-takut jika gadis itu kembali demam.

"Aku nggak apa-apa kok, nggak akan demam."

Lihatlah, gadis itu masih bisa tersenyum manis walau wajahnya pucat.

"Dingin, loh. Pulang, yuk?"

Ata masih nyaman duduk disebelah Aru. Di depan supermarket, seperti biasa. Setelah melakukan kelas les yang begitu panjang──tentu saja menguras energi nya, dia perlu Aru.

"Kamu ada tanding ya?" ucap dang dara seraya menggenggam tangan Aru.

"Iya, ada. Minggu depan, kamu mau datang?"

Menemani Aru sewaktu tanding menjadi keinginan besar untuk Ata. Pasalnya, Aru selalu menemani kegiatan belajar sampai olimpiade, namun dirinya sama sekali belum pernah menemani Aru pada kegiatannya.

"Mau, sekalian mau mampir kerumah. Aku kangen bunda, boleh?"

"Asal kamu sembuh dulu yaa, cantik."

Dicubitnya hidung Ata, gemas. Keduanya saling melengkapi satu sama lain. Saling berbagi kasih, berbagi cinta.

Beruntung sekali Ata memiliki Aru. Juga, beruntung sekali Aru memiliki Ata.

Atensi Ata teralihkan pada ponselnya. Benda pipih itu menunjukan seseorang baru saja mengirim pesan padanya.

"Buku catatan aku ketinggalan di dalem, aku ambil dulu yaa?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Buku catatan aku ketinggalan di dalem, aku ambil dulu yaa?"

Gadis itu buru-buru menuju gedung sebelah. Padahal ia rasa, ia sudah meletakkan semua bukunya kedalam tas.

Oh, lihat. Aru memandang punggung gadis yang sok kuat itu. Sekarang ia tau kepada Ata selalu tampak baik-baik saja di depan semua orang.

Kemudian Aru sibuk dengan ponselnya. Sembari menunggu gadisnya, ia mengirim pesan pada sang Bunda. Memberi tau jika Ata rindu pada sosoknya.

"Enak ya, pacaran diam-diam sama anak saya?"

Suara berat itu mengalihkan atensi Aru. Pernah sekali ia mendengar suara khas milik pria matang didepannya. Dan, ya. Ia tau siapa.

Aru lantas bangkit dari duduknya. Canggung. Ia tak tau harus menjawab apa. Terlalu tiba-tiba baginya.

"Maaf-om, saya.. nggak bermaksud demiki-

"Saya nggak perlu basa-basi. Jauhi anak saya."

Ini kali kedua Johan bertemu dengan Aru. Pada saat itu, dirumah sakit ia pikir Aru tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Ata.

Aru; Rumah untuk Ata.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang