Bagian; O1.

953 90 2
                                        


"Dan juara satu Olimpiade Sains 2023 dengan total poin 96... diraih oleh Swastamita Kalila dari SMA Angkara Kasa!"

Riuh tepuk tangan menggema di seluruh sudut gedung. Sorak-sorai kemenangan mengiringi langkahnya menaiki panggung. Medali emas dikalungkan di lehernya, simbol keberhasilan yang seharusnya membuat siapa pun merasa bangga. Tapi senyum yang terukir di wajahnya terasa kaku. Ia hanya tersenyum karena harus, bukan karena ingin. Nyatanya, ia terlalu lelah bahkan untuk merasa bahagia.

Setelah selesai dengan seremonial dan sesi foto, Swastamita Kalila melangkah keluar dari gedung, berjalan menuju mobil putih yang menunggunya.

"Papa?" panggilnya pelan.

Pintu mobil terbuka. Johan—sang papa—duduk di balik kemudi, menatap datar, "Sudah selesai? Gimana hasilnya?" 

Ata duduk di kursi penumpang, menyerahkan selembar kertas. "Peringkat satu, Pa."

Johan tak memerhatikan medali atau sertifikat yang dibawa Ata. Matanya langsung tertuju pada lembar jawaban putrinya, "Dua soal salah?" 

Ata mengangguk pelan. "Iya, Pa."

Laki-laki itu menghela napas, "Besok tanya ke guru les. Cari tahu letak salahnya. Olimpiade berikutnya, jangan sampai terulang."

Ata hanya bisa mengangguk. Haruskah ia berharap ucapan selamat? Pujian, pelukan hangat, atau sekadar senyuman? Tidak, bahkan itu pun terlalu mewah untuknya.

Namanya Swastamita Kalila. Anak tunggal dari Johan dan Resa. Terlahir dalam keluarga berada, dengan masa depan yang ditata rapi sedemikian mungkin. Ia punya keluarga, tapi tak pernah tahu bagaimana rasanya dimiliki oleh keluarga.

✧ ───────────── ✧

"Haaaah..."

Ata menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur, masih dengan seragam dan medali di genggaman. Matanya terpejam, mencoba meleburkan semua lelahnya hari ini. Perjalanan pulang tadi hening. Tak ada obrolan, tak ada suara. Hingga ia membuka pintu rumah, suasana dingin itu tetap menyelimutinya.

Mungkin ia tidak akan terbangun lagi jika saja ponsel berdering dan menunjukan nama Haura Bawel di layar.

"Halo, Hau?" sapa Ata.

Beberapa detik sunyi, sampai...

"...Ta, bentar!"

"Kenapa?" tanya Ata, heran.

"Ada kecoa! Bentar yaa!"

Ata tertawa kecil mendengar panik Haura dari seberang.

"Terus, ngapain lo telepon gue?" godanya.

"Gue mau cerita! Tapi kecoa ini ganggu banget. Tunggu, ya!"

"Lama, gue matiin, ya?"

"Udah udah, bentar... EH, TERBANG LAGI!"

Ata hanya terkekeh. "Lo takut kecoa, serius?"

"Ta? Ta, masih denger?"

"Masih. Gak kemana-mana."

"Jadi gimana? Menang nggak? Eh... ya udah, gak usah dijawab, paling juga bentar lagi rame di base sekolah."

"Hmm, ya begitulah. Tanpa gue cerita pun lo udah tau, kan?" jawab Ata datar.

Haura tertawa pelan. "Temen gue keren banget, sumpah! Bangga deh punya temen kayak lo!"

Ata menyeringai, "Ada maunya pasti, nih."

Aru; Rumah untuk Ata.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang