Laki-laki itu berlutut dihadapannya, menyamakan dirinya dengan Ata. Dipandangnya netra cantik yang penuh air mata. Sedangkan sang puan hanya bisa membalas tatapan itu.
Satu, dua, tiga bulir air mata lolos begitu saja. Ia tak lagi sanggup menahannya.
Hari ini Johan menambah tekanan dari berbagai sisi. Meminta Ata untuk selalu sempurna dalam bidang akademik. Sedangkan dirinya benar-benar tak kuasa. Dan Aru dapat melihat sakit dalam diri Ata.
Aru merengkuhnya. Menarik daksa rapuh Ata kedalam dekap hangatnya. Dielusnya surai rambut Ata. Sesekali menepuk punggung Ata supaya membantu meredakan tangisannya.
Ata benar-benar menumpahkan segalanya dalam peluk Aru. Persetan dengan sikap sok kuatnya yang hilang saat ini. Ia hanya ingin merasakan pelukan dengan tulus. Menangis sejadi-jadinya dengan seseorang disisinya. Membuang segala lelahnya hari ini pada bahu Aru.
Pelukan itu semakin mengerat. Aru benar-benar memeluknya hangat. Aru dapat rasakan bagaimana dinginya tubuh Ata. Bagaimana bisa keluarga nya tidak ada yang peduli? miris.
Beberapa menit mereka bertahan dalam posisi tersebut. Sampai dirasa Ata cukup tenang, Aru melonggarkan pelukan.
Ditatapnya paras cantik Ata. Tangan hangatnya terulur menyelipkan rambut pada telinga Ata. Dihapusnya sisa-sisa air mata yang berada di pipi dinginnya.
Melihat perlakuan Aru, Ata lantas berkata, "Aku bukan robot, Aru. Aku bukan Swastamita yang selalu kuat. Aku.. payah, aku bodoh, aku..."
Sebelum Ata melanjutkan kalimatnya, Aru sigap kembali membawa Ata pada dekapnya. Dielusnya surai lembut Ata. Lalu Aru berbisik,
"Kamu hebat, Swastamita."
"Aku selalu bangga sama kamu."
Dua kalimat penuh harga bagi Ata. Aru paham bagaimana perasaan gadis yang ia dekap. Ia lelah, muak dengan sesuatu yang selalu ia kerjakan. Belajar.
Lagi, melihatnya yang menangis dipinggir jalan membuat ia menyimpulkan sesuatu. Seseorang nggak mungkin nangis diluar kalau masalahnya bukan bersumber dari rumah. Ata benar-benar menutupi dirinya dari rumah.
Aru melepaskan dekapannya, "Ta. Kamu nggak payah, nggak bodoh. Dan, nggak salah kalau kamu merasa lelah."
Aru menggenggam tangan Ata, "Kamu boleh peluk aku selama mungkin, kamu boleh genggam tangan aku, sampai kamu rasa kamu sudah baik-baik aja. Kamu boleh pulang padaku, Ta. Kamu boleh jadikan aku rumahmu, Ta."
"Jangan pernah nangis sendiri lagi, Swastamita."
Rasa hangat menjalar keseluruhan tubuhnya. Sampai-sampai timbul semburat kemerahan di pipinya. Sekalipun ia sedang menangis, ia tetap bisa membedakan mana omong kosong. Dan saat ini, ia benar-benar tidak mendapati omong kosong dari Aru.
Netra legamnya memberikan Ata tatapan hangat. Dekapan tubuh Aru membuatnya merasa begitu nyaman. Terbukti kala Ata benar-benar menumpahkan tangisannya dibahu Aru.
"Tapi aku bukan robot seperti yang orang-orang kenal, Aru. Sesungguhnya, aku ini jauh dari kata kuat."
Aru memajukan tubuhnya, "Aku nggak peduli dengan Swastamita yang orang-orang kenal sebagai robot."
"Aku disini mau mengenal Ata, yang katanya payah padahal nyatanya dia kuat. Aku mau menampung segala kerapuhan itu, Ta."
Dan, ya. Secara tidak langsung, Aru mengungkapkan perasaannya.
Air mata Ata kembali jatuh. Waktu yang sangat singkat untuknya mengenal Aru. Tapi dalam lubuk hatinya mengatakan jika Aru adalah orang yang tepat untuk ia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aru; Rumah untuk Ata.
Fiksi PenggemarKarna untuknya, rumah hanyalah tempat berlindung dari panas dan hujan. Bukan untuk pulang. ────────────────── ✧ Cerita ini diikuti sertakan dalam event menulis Seluna Writing Publisher.