Lima puluh soal itu tersaji dihadapannya. Bagi Ata, ini bukanlah perkara besar.
Hanya saja, ia terus terngiang akan omongan dari Papa untuk mendapatkan nilai sempurna di olimpiade kali ini.
Lima puluh soal matematika esai harus selesai dengan waktu empat puluh menit. Saingannya pun tidak main-main. Semua pelajar pintar dari Sabang sampai Merauke menyatu memperebutkan posisi pertama.
Dua puluh soal Ata kerjakan dengan mudah. Sampai saat ini belum ada kendala atau ia menemukan soal yang sulit dipecahkan. Rata-rata sudah pernah ia kerjakan dalam simulasi olimpiade kemarin.
Namun kali ini, bukan soal-soal esai itu yang menjadi perkaranya. Tiba-tiba saja kepalanya pening. Ata pikir rasa pening itu akan sementara. Tapi ketika ia mengerjakan soal ke dua puluh lima, pandangannya mengabur. Sejenak ia pejamkan mata supaya dapat meminimalisir rasa peningnya.
Ia yakin ini adalah sebab dari jadwalnya yang terus-menerus belajar tanpa henti. Tapi, tolonglah Tuhan. Jangan sampai ia tumbang saat ini.
Olimpiade ini sangalah penting untuk Ata. Dimana ia harus menggantikan nilai bolong nya kemarin dengan nilai sempurna.
Bel berbunyi, waktu tersisa lima belas menit lagi. Sedangkan Ata baru mencapai soal keempat puluh.
Tuhan, tolong Ata kali ini. Ia sungguh bertekad untuk tetap melanjutkannya menjawab soal-soal itu.
Ting! Tong!
Hingga bel terakhir berbunyi, menandakan bahwa sesi lomba sudah berakhir.
Keringat dingin bercucuran di dahinya. Muka Ata pucat seperti hantu. Ia benar-benar sudah tak kuasa.
Ia bangkit dari duduk, mengambil barang-barang di loker dan berjalan keluar gedung. Seharusnya pihak sekolah menemaninya, tapi entah kenapa ia tidak bisa menemukan mereka.
Ata berdiri di lobi dengan pandangan goyang. Pening kepalanya tidak berhenti dari tadi. Kemudian ia merogoh saku seragamnya, mengambil ponsel. Jari cantiknya menggulir layar guna menelpon Pak Jaka.
Untuk menatap layar ponselnya saja tak kuasa. Cahaya dari ponselnya justru membuat Ata semakin pening. Setelah sambungan telepon itu terhubung, "Pak, tolong jemput... saya-" saat itulah Ata jatuh pingsan.
Pengangkat telepon disebrang sana sempat terheran, sebelum ia mendengar suara ricuh orang-orang ketika melihat Ata jatuh pingsan.
"Halo??? Ata? Lo denger gue nggak??"
Sambungan telepon itu masih terhubung, "Ata?? Lo dimana?"
Salah seorang perempuan yang menolong Ata mengetahui bahwa ponsel Ata tengah menelpon seseorang, "Halo? Mas, telepon nya masih terhubung?"
Dia mendengar, "Halo! Iya, mbak. Masih."
"Mas, temannya pingsan di depan lobi gedung akuntan tempat olimpiade. Sama orang-orang disini mau dibawa ke RS terdekat. Kira-kira Mas nya bisa nyusulin nggak, ya?" Perkataan perempuan itu cukup membuat Aru paham dengan situasi Ata.
Iya, Alih-alih Pak Jaka, justru Aru yang Ata telepon. Dengan sigap, Aru bergegas pergi, "Bisa, mbak. Saya susul sekarang."
Untung saja KaraKasa bubar lebih awal hari ini. Timing antara keduanya sungguh beruntung.
Cepat-cepat Aru berlari kearah parkiran, disana ia menemukan Raksa, "Rak, gue izin nggak bisa pantau tim B latihan ya. Urgent."
Raksa yang melihat temannya terburu-buru itu hanya bisa mengangguk, "Oke Bro, Hati-hati!"
Bolis-vespa pulih milih Aru melesat cepat ke rumah sakit dimana Ata dilarikan.
Entah apa yang merasuki dirinya sampai-sampai ia membawa motor dengan kecepatan diatas rata-rata. Biasanya ia paling anti dengan membawa motor secepat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aru; Rumah untuk Ata.
FanfictionKarna untuknya, rumah hanyalah tempat berlindung dari panas dan hujan. Bukan untuk pulang. ────────────────── ✧ Cerita ini diikuti sertakan dalam event menulis Seluna Writing Publisher.