05. Depresi & Halusinasi

1.3K 191 20
                                    

Sudah 3 hari gadis malang itu tidak keluar dari kamar. Ia murung, dunianya terasa hancur begitu saja setelah kejadian yang menimpanya hari minggu kemarin.

Indira diam, meratapi nasibnya, bahkan ia tidak berangkat ke kampus untuk kuliah. Semua pesan dan telepon dari orang tua serta teman-temannya bahkan tidak ia hiraukan. Ponselnya dalam mode do not disturb, membuat Indira semakin terisolasi sendiri dalam kesedihannya.

Jika saja malam itu ia menolak ajakan Vero, semua tidak akan berantakan seperti ini. Andai saja ia tidak sebodoh itu, mungkin saja ia masih bisa bahagia.

Namun sekarang, seakan tidak ada hal yang membuat Indira kembali bersemangat. Bahkan kucingnya juga sudah 3 hari menghilang, lengkap sudah kesedihannya kali ini.

Sementara itu, Bu Sisca yang mendapat telepon dari orang tua Indira mengenai anak mereka yang tidak bisa dihubungi langsung menuju ke kamar si gadis. Meski terkenal galak, tapi Bu Sisca memiliki hati selembut kapas. Percayalah, ia sudah menganggap semua anak disini seperti anaknya sendiri.

Bu Sisca sedikit mengintip melalui jendela saat ia sampai di kamar Indira. Lampunya masih mati, di dalam gelap, padahal sudah jam 8 malam. Ia jadi semakin curiga karena ini tidak biasanya terjadi.

Tok... Tok... Tok...

"Indira? Nduk, kamu di dalam? Buka pintunya, Nduk!"

Karena teriakan dari Bu Sisca terdengar cukup keras akhirnya membuat Elin keluar dan melihat apa yang terjadi. Ia kemudian menghampiri sang ibu kos dan bertanya ada apa padanya.

"Kak Indira udah beberapa hari ini ga keliatan, Bu. Terakhir Elin liat itu kapan ya... Pokoknya malam-malam dia pulang ga sadar diri terus digendong orang, Bu."

Mendengar apa yang Elin katakan, Bu Sisca tentu saja langsung terkejut dan semakin khawatir. Ia kembali mengetuk pintu Indira dan berharap ada yang membuka dari dalam.

"Indira, buka pintunya, Nduk!"

"Kak! Kak Dira keluar, Kak! Kakak gapapa?!" Elin ikut membantu dengan memanggil-manggil gadis itu. Sementara itu dari dalam karena merasa di luar semakin berisik, Indira memutuskan untuk berjalan mendekati pintu dan membukanya.

"Astaga, Indira... Kamu kenapa, hey?" Bu Sisca langsung menelisik wajah gadis itu yang sayu, nampak tidak bersemangat, dan terlihat tidak ada nyawa di dalam dirinya.

"Indira gapapa, Bu."

Bu Sisca mengusap-usap bahu gadis itu, berusaha memberinya ketenangan. Karena bagaimanapun, ia adalah orang tua mereka disini.

"Beneran? Kamu udah ga keluar kamar berhari-hari, loh? Orang tua kamu nanyain ke ibu, untung kamu baik-baik aja. Kalau ada apa-apa cerita ke ibu atau temen-temen kamu, to."

Bu Sisca memberi wejangan panjang lebar saat itu, Indira hanya iya-iya saja. Ia meyakinkan pada Bu Sisca kalau ia tidak apa-apa dan hanya sedih karena kucingnya hilang.

Setelah yakin Indira baik-baik saja, Bu Sisca kemudian pergi dan kini tinggal Indira dan Elin disana. Gadis yang menjadi tetangga kos Indira itu tentu masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi padanya.

"Kakak bener gapapa? Elin liat Kakak kemarin ga sadarkan diri pas pulang," tanya Elin, "Kak Dira ga kecelakaan, kan? Atau apa gitu, Kak?"

Indira menggeleng, ia menepis perkiraan Elin yang mengira dirinya kecelakaan. "Aku gapapa, Lin. Cuma sedih aja kucing aku ilang."

Elin kemudian mengangguk, ia akhirnya yakin karena saat ia melihat ke dalam kamar Indira memang benar tidak terdengar suara kucing. Biasanya berisik dan selalu mengikuti Indira kemana-mana.

"Tapi temen Kakak yang nganter pulang kemaren ga apa-apain Kakak, kan?" Dahi Indira langsung berkerut, ia tidak paham maksud Elin. Teman? Teman yang mana?

"Cewek, Kak. Aku ga kenal siapa, tapi yang jelas bukan cici-cici yang sering main kesini itu. Mereka kan badannya kecil, ga mungkin gendong Kak Dira sampe naik tangga segala."

"Aku dianter pulang, Lin? Terus siapa dong kalo bukan mereka?"

Elin langsung menaikkan kedua bahunya, ia benar-benar tidak kenal siapa orang itu, "dia pake masker sama topi item, Kak. Keliatan keren kaya karakter AU gitu."

Pikiran Indira langsung teringat saat kejadian di club itu. Seseorang yang menendang Vero juga memakai topi, apa mungkin?

* * *

Indira memikirkan perkataan Elin sampai pusing, hingga akhirnya ia tertidur lagi tanpa ia sadari. Ketika ia terbangun, ia melihat jam yang menunjukkan pukul 2 pagi.

Kepalanya terasa berdenyut, tenggorokannya juga kering, pertanda ia mulai dehidrasi. Indira memutuskan untuk bangun dan mengambil minum, namun sebelum ia berdiri, dirinya yang masih duduk di ranjang langsung mengusap mata saat samar-samar melihat ada orang di kursi belajarnya. Orang itu duduk bersandar menghadap Indira dan terlelap, bahkan mendengkur halus dengan kedua tangan yang bersedekap di depan dada.

Mata Indira membulat, ia terkejut dan tanpa aba-aba melempar bantal pada orang itu dan berteriak keras.

"Aaaa!"

"Weits! Weits! Ada apa?! Ada apa?!" Orang itu tiba-tiba terbangun karena teriakan Indira dan bantal yang mengenai tubuhnya. Ia langsung mengubah posisi menjadi siaga tanpa sadar, hingga akhirnya ia melihat Indira yang duduk meringkuk di atas tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Seperti orang ketakutan ketika melihatnya.

"Ka-kamu siapa?! Kenapa bisa ada disini?!" tanya Indira. Orang itu lantas sadar jika Indira takut akan kehadirannya disini. Maka dari itu, ia berusaha untuk menenangkannya.

"Eh... Te-tenang, ya? Gue bukan orang jahat, kok. Gue..."

"Siapa kamu?! Pergi! Jangan ganggu aku!" Indira masih saja ketakutan, ia tidak percaya dengan orang ini. Ya, siapa juga yang tidak takut jika ada orang asing masuk ke tempat tinggal kalian di tengah malam seperti ini?

"I-iya gue jelasin, ya? Tenang dulu lo. Gue janji ga akan jahat, kok."

Indira kemudian berusaha tenang, tapi tetap waspada. Tangannya sudah siap memegang guling untuk senjata jika sewaktu-waktu orang aneh ini mendekat dan menyakitinya.

"Okay, tenang, ya? Gue jelasin, tapi lo jangan teriak-teriak lagi."

Indira mengangguk kecil, "si-siapa kamu?"

Orang itu berusaha menjelaskan dengan perlahan dan ditambah dengan gerakan tangan, berusaha setenang mungkin agar Indira tidak tantrum lagi.

"Gue Ndut, kucing lo."

Apa-apaan ini? Indira mengira orang ini tengah mabuk atau dalam pengaruh obat-obatan hingga ia mengaku sebagai Ndut. Sementara itu melihat Indira yang tidak percaya dengan ekspresi itu, si gadis misterius langsung membuka topi hitam yang sejak tadi ia pakai.

"Gu-gue tau ini kedengaran aneh, tapi gue beneran Ndut. Liat, iya kan?" Gadis itu menggerak-gerakkan telinga kucing yang tersembunyi di balik topi. Ia juga menunjukkan bagian belakang tubuhnya yang terdapat ekor berbulu lebat seperti Ndut, bahkan warna bulunya juga sama.

Indira baru sadar jika topi, kaos, bahkan celana yang orang ini pakai adalah miliknya. Ia masih percaya tidak percaya, tapi mana ada orang dengan telinga dan ekor kucing seperti itu?

"Gue jelasin rincinya, ya?" Orang itu perlahan mendekat ke arah Indira, namun secara tiba-tiba ia meraih sesuatu dari atas nakas dan menunjukkannya pada gadis itu, "tapi gue boleh kan sambil nyemil ini? Gue laper 3 hari ga makan." Indira mengangguk saja, lantas orang itu membuka bungkus snack kucing menggunakan giginya dan memakannya dengan lahap.

"Dia gila apa aku yang gila?"

To be continue...

Crescent Moon [Amanda - Indira]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang