Sudah berhari-hari sejak terakhir Indira bertemu Ella di kota Timur. Dan sejak itu juga tidak ada saksi lain yang mengabari mereka, bahkan Lia dan Lyn mulai pesimis untuk mengajukan kasus ini ke pengadilan.
Indira tengah berdiri di depan kamar kosnya, memandang langit malam yang kebetulan tengah cerah tanpa awan. Hampir setiap malam sekarang ia melakukan rutinitas memandang bulan yang sedang muda-mudanya itu. Entah kenapa tapi perkataan nenek pemilik si Teja hari itu membuatnya kepikiran.
"Jawaban apa? Aku udah liat bulan tiap malem juga ga nemu jawaban," gumam Indira.
Sementara itu, Elin yang baru saja dari kamar si Kembar sedikit terkejut melihat Indira berdiri di depan kamar malam-malam sendirian. Meski ini bukan pertama kali ia melihat gadis itu disana tapi tetap saja kaget kalau melihat seseorang berdiri di remang-remangnya lampu lorong kos-kosan mereka.
"Kak Indira belum tidur?" tanya Elin saat menghampirinya. Ia ikut berdiri di samping Indira dan menumpu badan dengan tangan berada di atas pagar beton.
"Belum, Lin. Masih jam segini, kok."
Elin mengangguk saja, "tapi udah mau jam sembilan, Kak. Nanti kalau ga masuk kena marah Ibu Kos, loh."
Elin benar, bisa gawat jika Bu Sisca melihatnya disini malam-malam. Sejak kejadian Indira malam itu, Bu Sisca tidak berani mengambil risiko dan memilih untuk membuat peraturan jam malam. Indira lantas mengatakan pada Elin jika sebentar lagi ia masuk, gadis itu pun percaya saja dan masuk ke dalam kamar kos miliknya.
Indira masih bingung, nenek itu mengatakan hal yang sulit untuk dimengerti. Suruh melihat ke bulan lah, sinodis lah, segala macam, Indira kesal karena tidak paham.
"Apa sih maksudnya, Tuhan?!" geram Indira. Akhirnya ia memutuskan untuk menganggap nenek itu adalah orang tua yang linglung dan suka mengatakan hal yang tidak masuk akal. Perihal ia mengenal Ndut itu Indira anggap sebagai sebuah kebetulan.
Tapi Indira tidak menolak untuk melihat bulan, ia suka dengan satelit alami bumi itu apalagi jika tengah cantik-cantiknya seperti malam ini. Ia menatap benda langit itu dengan lekat, berharap bisa meraihnya untuk hal yang tidak ia ketahui alasannya.
"Dira?!"
Seseorang tiba-tiba memanggil Indira, gadis itu sedikit terkesiap dan langsung menoleh ke belakang dimana suara itu berasal.
"Ndut?!" Amanda kembali menjadi manusia. Namun sedetik setelah menyadari itu, Indira langsung menutup matanya dengan tangan kanan, "heh! Pake baju!"
Amanda menatap tubuhnya dan ia ikut kaget karena ia telanjang di dalam kamar kos Seruni. Dengan segera ia menutup pintu dan meminjam baju Indira di lemari lagi.
* * *
Akhirnya setelah satu bulan Amanda kembali menjadi manusia. Entah bagaimana caranya tapi sepertinya ia tidak bisa kembali ke wujud aslinya atas kemauan dirinya sendiri. Indira menyadari itu dan semakin iba dengan gadis yang kini tengah asyik makan indomie buatannya. Telinga kucingnya bergerak-gerak setiap ia merasakan nikmat dari makanan instan itu, begitu pula ekornya.
"Enak?" tanya Indira.
Amanda mengangguk, ia menyeruput kuah mie itu langsung dari mangkoknya bahkan suara seruputannya terdengar oleh Indira.
"Keknya kamu ga bisa jadi manusia atas kemauan kamu sendiri, ya?" tanya Indira. Amanda menaruh mangkok dan meminum satu gelas susu yang Indira siapkan karena terakhir kali gadis itu meminta susu padanya.
"Keknya iya."
Amanda yang sudah selesai makan itu langsung membawa alat bekas makannya ke wastafel dan bersiap untuk mencucinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crescent Moon [Amanda - Indira]
FanfictionKucing aku kucing jadi-jadian! Another mandira fanfic ©Heroeslegacy_