Setelah kurang lebih 15 menit perjalanan Yasa dan Devon akhirnya sampai pada bangunan bersusun yang menjadi hunian Yasa.
Dengan langkahnya yang mantap Yasa berjalan memimpin Devon yang gemetar di belakangnya. Wajah Devon pucat, dari matanya terpancar jelas ketakutan yang tak terucapkan.
Yasa membuka pintu dengan hati-hati, sementara Devon tetap berdiri di belakangnya, menarik jaket yang dia gunakan lebih erat lagi.
Pintu terbuka perlahan dan langsung di sambut oleh Noval yang menatap mereka dengan wajah penuh kekhawatiran. Matanya langsung menatap Devon yang tampak lemah di samping Yasa. "Devon..." katanya berbisik lirih.
Devon terlihat sangat kacau dengan darah kering di pelipis, juga lebam dan lecet yang terlihat di beberapa sudut wajahnya. Mata bulat yang selalu berbinar cerah, sekarang terlihat redup dengan genangan air mata yang siap tumpah kapan saja.
Hati Noval meringis melihat kondisi temannya itu. Dia hampir menangis karena luapan emosi yang sedikit lagi akan lepas kendali. Marah sekali rasanya melihat Devon yang selalu mendapat perlakuan menyakitkan seperti ini dari ayahnya yang brengsek itu.
"N-Noval... sakit..."
Sial.
Melihat Devon yang merengek dengan air mata yang perlahan meleleh, juga memprovokasi Noval untuk ikut menangis. Dia menggerakan tubuhnya mendekat pada Devon. Memeluk cowok kecil itu dengan gerakan yang sangat hati-hati, mengelus lembut pucuk kepala Devon yang tingginya hanya sebatas hidungnya. "Iya, yang mana yang sakit? G-gue obatin ya?" kata Noval disela pelukannya.
Devon tidak merespon apapun. Dia hanya mengangguk kecil dengan kepalanya yang bersandar pada bahu Noval. Menangis dalam pelukan temannya seolah dia sedang mengadu pada orang yang setidaknya bisa dia percaya.
Pada beberapa situasi, Noval memang bersikap seperti anak buah yang patuh pada ketua gengnya. Namun, di saat-saat seperti ini, Noval dengan cepat mengubah perannya. Dia paham betul bagaimana menempatkan diri, bersikap layaknya kakak yang siap sedia memberikan perlindungan pada adiknya.
Devon sudah seperti adik kecil bagi Noval, seseorang yang selalu dipandangnya dengan kasih sayang dan perhatian. Meskipun dalam geng, Noval menghormati Devon sebagai ketuanya, tapi saat melihat Devon terluka seperti ini, naluri protektifnya muncul secara spontan.
Di sisi lain, Yasa juga ikut merasakan perasaan emosional yang sama, tapi hatinya jauh lebih tegar. Tangan besarnya terulur pada dua orang yang masih berpelukan di ambang pintu, sedikit mendorong sebagai isyarat menyuruh keduanya masuk. "Ayo masuk dulu! Luka Devon harus diobatin" katanya dengan suara rendah.
Noval mengangguk setuju dengan apa yang Yasa katakan. Dia yang pertama melepas pelukannya dari Devon, membiarkan Yasa membimbing Devon untuk masuk ke dalam rumah, sementar dia melangkah pergi ke sudut ruangan untuk mengambil kotak P3K.
"Sshh..." Devon meringis ngilu ketika mencoba mendudukkan diri di sisi ranjang yang ada di dalam kamar kos milik Yasa.
Tatapan Noval langsung tertuju pada Devon dan tanpa ragu, dia segera berinisiatif menarik bantal yang berada di dekatnya, lalu menumpuknya. Dia memastikan Devon benar-benar duduk dengan posisi yang nyaman.
Noval kembali dengan kotak P3K dan sebaskom air hangat di kedua tangannya. Dia mengambil posisi duduk di samping Devon, menggeser tempat Yasa supaya bisa memberinya sedikit ruang.
Sedih sekali rasanya saat melihat mata Devon yang bergerak gelisah menatap sekeliling. Tatapannya terlihat kosong, hanya ada ketakutan yang terlihat di dalamnya.
"Shh-stt...udah gapapa, Devon. Disini lo aman, gak akan ada yang jahat sama lo" ucap Noval dengan suara yang lembut, mencoba meredakan ketakutan yang sepertinya masih menghantui sahabatnya itu. "Gausah takut ya"
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...