19. Atap sekolah

35 6 0
                                    

Happy Reading!

[[ Apa Salahku Ayah? ]]


Bunyi bel sekolah memang membuat pening, namun jika bel itu menandakan waktu istirahat sudah di mulai maka mereka akan berseru, menutup buku yang tebal di atas meja dan bersalam untuk guru yang baru saja mengajar di kelas.

Ruang kelas terlihat sepi, namun adanya ke 4 manusia yang kini sedang kebingungan membuat suasana kelas cukup ramai, baru saja seorang guru menutup jam dimana ia mengajar kelasnya, ke 4 manusia itu hanya asik sendiri di bagian belakang, untung guru yang mengajar dalam keadaan hati yang baik, jika tidak maka mereka ber 4 akan habis di ruang BK dengan segala ceramah oleh guru BK.

Arsa kini tengah melompat lompat, dirinya panik bukan main, lantaran ponsel miliknya hilang begitu saja, terakhir dia rasa meletakkannya di atas meja Gerhana, dan kini menghilang.

"Ger, dimana handphone gua" Gerhana hanya mengangkat bahu, pertanda dia sendiri tidak tau dimana letak ponsel kawannya ini, benar benar menyusahkan, begini jadinya jika temanmu suka ceroboh.

"Gausah nangis anjir! bantu cari bukan malah nangis!" Tegur Revan yang sedari tadi merangkak dibawah meja, guna mencari ponsel Arsa yang bisa saja terjatuh dari meja.

Arsa menoleh, dirinya menurut, mencari kesana kemari, Melvin dan Gerhana hanya bisa membantu mencari, mereka tidak seberisik Revan, karna jika mereka ikut campur, bisa jadi korban amukan Revan.

Dewa mulai lelah, ia memilih keluar kelas, melenggang ke kantin untuk makan, perutnya keroncongan, belum juga di isi oleh makanan sejak pagi, sudah di hadang masalah ponsel Arsa hilang, benar benar, lebih baik berkencan bersama Mazaya, sang pujaan hati.

"Terakhir dimana ?" Melvin mulau angkat bicara, begitu pusing melihat Revan yang berceramah dan Arsa yang rewel.

"Di atas meja Gerhana vin, iyakan Ger?" Gerhana menoleh, dirinya menggeleng.

"Kalau di atas meja gua, harusnya gua simpen, dan gua gabakal ikut nyari, sebelum masuk juga udah lu bawa, Sa"

Revan mengacak acak rambutnya, ia benar benar kesal dengan Arsa, remaja itu selalu saja ceroboh, menyusahkan.

Melvin berjalan pelan kearah ransel Arsa yang terbuka di atas mejanya, perlahan ia buka dan ia perhatikan satu persatu bagian di dalam ransel hitam milik teman baiknya ini.

Melvin berdecak, mengangkat tinggi tinggi ponsel berwarna hitam yang sama seperti ransel yang di gunakan pemilik keduanya, betapa kesalnya ia, waktu istirahatnya terpotong karena hal seceroboh ini.

Ketiga remaja itu menoleh, pemilik ponsel tertawa canggung, sementara remaja disampingnya sudah mulai berapi api, satu lainnya menghela nafas, hanya bisa pasrah, lantas melenggang keluar kelas, mencari udara segar daripada harus berdiam diri di kelas melihat kekacauan yang akan terjadi.

"ITU DI TAS LU, KENAPA GA LU CARI YANG BENER"
"Gua kan ga tau, namanya aja panik, maaf la maaf"
"TAPI WAKTU GUA ITU BERHARGA, SEKARANG SISA BEBERAPA MENIT LAGI BUAT GUA BERSIHIN OTAK SIALAN!" Sebuah pukulan siap dilayangkan, Melvin berlari mendekat, menarik tubuh kecil kawannya ini menjauh, ia tak ingin adegan pukul pukulan terjadi.

🎗️

Kini Gerhana hanya berdiam diri di atap sekolah, kebetulan sekali atap sekolah selalu sepi, tak ada siswa yang ingin naik hanya sekedar menghirup udara dan melihat kekacauan di kantin dari atap, hanya membuang waktu berharga untuk berebut makanan di kantin.

Berbeda dengan siswa lain, Gerhana lebih sering menghabiskan waktu di atap, saat suasana hatinya hancur, pikirannya berisik, sering kali teman baiknya mengajaknya memakan makanan di kantin, tapi apa daya, usaha mereka akan sia sia jika kata " tidak " sudah dikeluarkan oleh lelaki dengan kulit tan yang kini menatap langit cerah penuh awan yang terlihat baik baik saja.

Gerhana adalah orang yang sering menyendiri, tidak akan pernah mau meluapkan amarahnya, ia akan tahan segalanya di dalam lubuk hati dan tidak akan di keluarkan jika ia benar benar lelah, sulit sekali untuk mengeluarkan semuanya, ia takut dengan pendapat orang padanya.

Sekarang ia hanya bisa menatap langit yang dihiasi awan putih dan angin yang berhembus kesana kemari.

"bunda, maaf ya Gerhana kemarin ga sopan ke ayah, maafin Gerhana bunda" menatap langit kelabu, tersenyum miris mengingat kehidupannya, seharunya ia bersyukur Frendy masih memberikan fasilitas yang layak, meski hatinya harus di hiasi goresan luka abadi yang tak akan pernah mengering.

Semasa ia tumbuh remaja tanpa ibunda, ia baru pertama kali berbicara dengan nada tinggi kepada Frendy, mungkin sudah muak isi hatinya maka ia keluarkan saat itu juga.

Rasanya ingin kembali ke masa masa ia baru saja tumbuh menjadi seorang balita, selalu di apresiasi selalu di jaga dari apapun hal yang akan membuat bayi kecil itu merengek, namun semua itu hanya sebuah masa lalu Gerhana yang tak akan pernah kembali.

Keadaan kantin dan lapangan kini sama, sama sama ricuh, adanya suara gadis gadis berteriak di tepi lapangan saat melihat idola mereka bermain bola, kurang kerjaan kalau menurut Gerhana, padahal hanya bermain biasa, tidak ada hitungan poin tapi mereka berteriak bak melihat hantu yang akan menerkam, benar benar.

Namun di kala para gadis berseru dibawah sana, seorang gadis dengan mata indah itu berada di dekatnya, entah kenapa ia lebih memilih melihat Gerhana yang membosankan dibanding para pemain sepak bola di bawah sana.

"Kamu kenapa ga ke kantin?" gadis itu berjalan mendekat, sontak Gerhana menoleh, siapa yang sedang membuang waktu disini? baru kali ini ada orang yang membuang waktunya diatap sekolah selain dirinya.

Raya, gadis itu berjalan ke dekat Gerhana, mengintip lapangan yang tampak ramai dibawah sana, tak lupa kantin sekolah yang tak kalah ramai, lantas menoleh kearah Gerhana yang masih terdiam.

"Gerhana? kenapa diam? kamu sakit?" Raya melambaikan tangan indahnya, membuyarkan lamunan Gerhana.

"Ah, itu Ray, gua ga laper aja makannya ga ke kantin" menggaruk tengkuk kepalanya yang tak gatal.

Suasana kali ini cukup canggung, Gerhana tak pintar membuka topik, namun berbeda dengan Raya, dia sudah sering berpindah, sudah di pastikan dia pintar bersosialisasi.

"Temen temen kamu pada di kantin loh? kamu ga mau ikut?"
"Engga Ray, gua males dengerin mereka ribut"

Raya mengangguk, teman temannya memang terlihat berisik, menurutnya orang yang paling tenang adalah Gerhana, dia terlihat tenang saja disana dikala teman temannya mengobrol dengan keras, mumgkin teman temannya juga sama, namun jika di gabungkan maka mereka akan begitu berisik.

"Oh ya Gerhana, kamu punya adik yah?" Gerhana mengangguk.

"Kelas berapa?
"Kelas 10 Ray"
"Oh, Siapa namanya?"
"Genala Ray, lu kenal?"
Raya menggeleng, hanya sekedar topik cakap cakap, bahkan ia baru tau kalau Gerhana memiliki adik, dia hanya asal memilih kata.

"gua kira lu tau, lu sendiri? punya saudara?"
"engga punya Gerhana, aku anak tunggal" Raya tersenyum tipis, Kehidupannya cukup sepi, ditambah orang tuanya yang cukup sibuk bekerja kesana kemari,membuatnya tidak memiliki banyak waktu bersama orang tua nya.

Gerhana mengangguk, melirik senyuman tipisnya.

"Gerhana, maaf pulang sekolah kamu sibuk ga?"Raya mulai membuka topik baru yang di balas Gelengan kepala oleh Gerhana.

"Engga Ray, gua harusnya les cuma karena libur jadi ada waktu, kenapa?"

Raya menoleh kearah Gerhana, menatap wajah teduhnya, tersenyum canggung.

"aku mau ngajak kamu buat keliling kota sini, aku dengar dari Arsa ,kamu tau tempat tempat yang bagus dikota ini.."

[[ Bersambung ]]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 7 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Apa Salahku Ayah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang