Part 8

835 82 2
                                    

Darren yang tengah makan siang di restoran cepat saji tersenyum miring melihat sesuatu di ponselnya. Beberapa kali ia menggeser ponselnya dan puas dengan hasil yang ia dapatkan. Darren makan dengan lahap sambil memperhatikan jalan raya dari jendela kaca besar restoran.

Ketika tengah meminum jusnya, sekilas ia melihat seseorang yang ia kenal lewat dan masuk ke dalam restoran. Darren mengamati dari jauh sambil memastikan ia tidak salah orang. Darren memperhatikan wanita itu sambil menghabiskan makanannya. Sepertinya wanita itu sedang memesan makanan untuk di bawa pulang karena terlihat antri.

Melihat wanita itu sudah mendapatkan pesanannya, Darren segera berdiri. Ia segera beranjak karena makanannya sudah ia bayar ketika akan makan tadi. Darren segera keluar untuk menyusul wanita tadi sebelum kehilangan jejaknya.

"Laras, tunggu."

Wanita yang kini sudah ada di parkiran restoran itu menoleh, ia terkejut mendapati seseorang yang sudah lama tidak ia temui kini berjalan dari pintu restoran ke arahnya.

"Laras, kamu Laras kan? Kamu masih ingat aku?"

"Darren, bener kamu Darren?"

"Bener. Lama banget ya nggak ketemu kamu."

Laras tersenyum bahagia. Akhirnya setelah bertahun-tahun tidak ada kabar, ia bertemu kembali dengan teman sekaligus tetangganya waktu kecil dulu. Darren adalah laki-laki paling tampan saat itu. Darren adalah cinta monyet Laras dan mereka bertemu sekarang setelah bertahun-tahun berpisah.

"Kamu terburu-buru?" Tanya Darren kemudian.

"Nggak kok. Hari ini aku belanja dapur jadi nggak keburu-buru."

"Ayo kita ngobrol sebentar pumpung ketemu."

Laras segera mengangguk. Ia melangkah bersama Darren menuju taman yang ada di depan restoran. Keduanya duduk di kursi taman dan menatap keramaian anak-anak yang sedang asyik bermain-main di arena permainan taman.

"Bagaimana kabarmu? sudah lama kita nggak ketemu." Tanya Laras terlebih dahulu, segala kegundahan dan kegalauannya seperti terlupakan saat bertemu Darren. Hatinya berbunga-bunga dan semangat hidupnya seperti tumbuh kembali.

"Aku baik. Sekarang aku bekerja di pabrik makanan instan PT. Amifood. Aku kepala gudang di sana. Kamu sendiri?"

"Semenjak nenekku meninggal, aku ikut ibuku bekerja di rumah majikannya. Aku hanya bersekolah sampai SMA. Maaf tidak bisa mengunjungimu lagi di panti setelah nenekku meninggal. Aku ikut ibuku dan jarang ke rumah nenek."

"Nggak apa-apa. Aku dulu sempat kaget pas kamu nggak datang lagi. Aku pikir kamu kenapa-napa. Syukurlah kamu baik-baik saja."

"Selama ini aku berusaha nyari akun sosial media kamu lo. Tapi nggak ketemu. Teman-teman kita yang lain kira-kira gimana kabarnya ya?"

"Aku juga nggak tahu Laras. Semenjak kematian ibuku dan pindah ke panti ditambah kamu menghilang, aku nggak dengar lagi kabar mereka. Tapi setidaknya sekarang aku tahu kamu baik-baik saja."

"Aku juga lega. Oh ya Darren, boleh minta nomer ponsel kamu?"

"Boleh."

Keduanya kemudian bertukar nomer ponsel dan berbincang ringan seputar masa kecil mereka. Baik Darren maupun Laras menikmati pemandangan taman sambil sesekali membahas pekerjaan mereka.

"Kamu kerja dimana Laras?" Tanya Darren kemudian.

"Aku sama ibuku kerja di salah satu rumah pejabat. Dulu di rumah pejabat senior. Sekarang di pindah ke rumah anak perempuannya. Ibuku kepala pelayan di sana."

"Ooooh begitu. Kamu sudah menikah?"

"Kamu ini bicara apa Darren, apa aku sudah tampak seperti ibu-ibu?"

Darren tergelak, ia meminum air mineral yang tadi di belinya dari pedagang keliling kemudian menatap Laras yang tersenyum ceria seperti dulu.

"Tidak. Kamu masih cantik seperti dulu."

Dan keduanya kembali tergelak bersamaan. Bersama Laras, Darren seperti kembali ke masa lalunya. Menjadi ceria dan bahagia. Mereka kembali mengenang masa lalu mereka dan bagaimana akhirnya mereka terpisah.

Keduanya tidak menyadari, sedari tadi ada yang memperhatikan mereka dari jauh. Menatap penuh amarah pada keduanya dari balik setir kemudi yang ia pegang. Sesekali pria itu berdecih menatap Laras yang tertawa lepas. Setelah kekesalannya memuncak, pria itu mengemudikan mobilnya dan menjauhi area taman kota yang ramai.

**

Makan malam di keluarga Prasetya berlangsung kaku seperti biasanya. Mereka berempat makan dalam diam, hanya sesekali Adrian berbincang dengan ayahnya. Laras dan dua pelayan lainnya tampak menyajikan makanan dan melayani Nyonya Prasetya yang terkadang memang ingin di layani seperti ratu.

Agni terdiam, ia menimang untuk bicara seputar liburannya. Sebenarnya Agni yakin tidak ada yang keberatan jika ia ke rumah neneknya. Tapi, Agni ragu apakah ia akan mendapatkan tanggapan. Mengingat selama ini keluarganya seperti tidak pernah menganggapnya ada.

"Ma, Pa, satu minggu lagi kampus liburan selama satu bulan. Apa aku boleh ke rumah nenek dan liburan di sana?" Tanya Agni hati-hati. Ia menatap papa dan mamanya bergantian, dan keduanya tetap asyik menikmati makan malam mereka.

"Hmm, nggak masalah. Kamu berangkat sama sopir aja." Sahut papanya tak acuh. Mamanya hanya mengangguk, sementara kakaknya tidak bereaksi sama sekali.

Agni menghembuskan napas berat, sepertinya meskipun ia mati di tengah hutan, keluarganya tidak akan pernah mencarinya. Terkadang Agni berpikir, mungkinkah ia hanya anak pungut di keluarga ini. Bahkan anak pungutpun mungkin tidak separah keluarganya memperlakukannya. Agni benar-benar merasa tidak dibutuhkan di rumah ini.

"Nanti salam buat nenek kamu. Dalam waktu dekat mama belum bisa ke sana. Mama sibuk pertemuan dengan beberapa istri pejabat. Mama udah kenyang. Mama ke atas dulu."

Devi beranjak lalu meninggalkan meja makan, menyisakan Prasetya dan kedua anaknya. Adrian kemudian berlalu beberapa saat setelah mamanya. Tinggallah Prasetya dan Agni saja.

"Uang saku kamu sudah papa transfer. Kalau kurang kamu tinggal ngomong." Agni mengangguk kaku. Tidak tahu harus menjawab apa. Agni takut keliru dan membuat papanya marah.

"Agni ke kamar dulu Pa. Mau belajar."

Prasetya mengangguk singkat, Agni yang melihat itu langsung beranjak menuju kamarnya. Prasetya menatap punggung putrinya itu hingga tidak terlihat lagi. Dari dalam hatinya, sejujurnya ia merasa sangat bersalah pada Agni. Anak perempuannya itu tidak tahu apa-apa dan harus menanggung kekesalannya akibat kehilangan wanita yang ia cintai.

Ketika Devi hamil Agni, saat itu Prasetya kehilangan Vina karena kecelakaan. Vina kemungkinan takut padanya dan berniat kabur bersama putranya. Namun naas, taksi yang mereka tumpangi rem nya blong dan terguling di jalan raya. Akibat peristiwa itu, Vina meninggal di tempat.

Prasetya yang saat itu mendengar seseorang berusaha menyingkirkan Vina segera menyusul agar wanita itu tidak pergi. Namun ia terlambat. Vina ketakutan padanya dan malah segera naik taksi dan berakhir mengenaskan. Sampai sekarang Prasetya selalu menyesali diri karena tidak bisa melindungi Vina.

Andai saja waktu itu hubungannya dengan Vina tidak tercium, pasti Vina masih hidup sampai sekarang dan mereka akan bahagia. Gara-gara kehamilan Devi saat itu yang sangat sensitif, justru membuat semuanya menjadi kacau. Andai saja waktu itu Devi tidak hamil, semuanya pasti tidak akan berantakan seperti sekarang.

Prasetya merutuki kehamilan Devi saat itu yang mengacaukan segalanya. Namun ia juga iba melihat nasib putrinya yang sekarang seperti tidak memiliki sandaran. Agni tumbuh menjadi gadis yang menutup diri dari orang-orang di sekitarnya. Dan semua itu karena dirinya. Apa sekarang saatnya ia melupakan sakit hatinya dan mulai menerima putrinya? Entahlah. Prasetya seperti belum siap. Wajah Vina terus membayangi kepalanya hingga ia belum bisa memaafkan orang-orang yang membuat wanita tercintanya itu pergi untuk selamanya.

Kidnapping ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang