Part 13

3.1K 138 3
                                        

Darren menggeleng kepalanya setelah menyadari dirinya terlalu lama melamun. Ia segera meneruskan makannya sebelum Laras kebingungan menatapnya. Ia berdehem, menetralisir rasa kaget dengan keterangan Laras barusan.

"Berarti ketika ikut ibu kamu dulu kamu langsung kerja di rumah Jenderal Prasetya?"

"Enggak juga. Dulu ibuku kerja di rumah mertuanya Jenderal Prasetya. Tapi setelah mertua laki-laki Jenderal Prasetya meninggal, ibuku dipindah tugaskan ke rumah Jenderal Prasetya. Di sana sedang butuh pembantu senior untuk membawahi beberapa pembantu junior yang belum berpengalaman."

"Ooooh, berarti kamu udah lama ya kerja di sana?"

"Sejak aku masuk SMP, Ibuku di pindah ke rumah pak Prasetya. Setelah tamat SMA, aku juga ikut kerja. Di sana gajinya lumayan bagus. Aku sama ibu sampai bisa beli rumah, meskipun sekarang masih di kontrakan."

"Waaaah, pantesan kamu betah kerja di sana."

"Dulu memang betah. Sekarang nggak."

"Emangnya kenapa?"

Laras menghentikan makannya begitu menyadari ia hampir keceplosan. Ia menatap Darren yang kini menunggu jawabannya. Laras dilema, apa ia berterus terang saja tentang keadaannya pada Darren dan meminta bantuan pada pria itu. Namun, Laras takut hal itu malah menjadi boomerang baginya.

Laras menyukai Darren. Baik dulu waktu kecil maupun sekarang, Laras masih menyukai lelaki itu. Ia selalu berdoa agar suatu saat bisa bertemu dengan Darren dan bisa bersama dengan lelaki itu. Namun dengan keadaannya sekarang, ia ragu Darren akan mau menerimanya jika tahu bahwa ia pernah dilecehkan oleh anak majikannya sendiri.

Tidak. Laras belum siap untuk itu. Ia sudah lama ingin bertemu dengan Darren. Dan Laras belum siap jika lelaki itu menjauhinya karena Laras sudah dinodai oleh pria lain. Entah bagaimana perasaan Darren padanya, yang jelas Laras tidak mau Darren ilfil padanya. Akhirnya dengan pemikiran yang matang, Laras memutuskan tidak akan menceritakan apapun masalahnya pada Darren.

"Laras, kok malah ngelamun."

"Eh nggak. Apa tadi?" Laras tampak kebingungan dan gelagapan saat menyadari dirinya terlalu lama melamun dan berpikir. Ia jadi lupa apa tadi yang baru saja ia bahas dengan Darren.

"Aku tanya, kenapa kamu jadi nggak nyaman sekarang kerja di rumah Jenderal Prasetya?"

"Itu, eeeh, nggak apa-apa sih sebenarnya. Cuma ya, pengen lebih maju aja."

"Maksudnya?"

"Ya seenak-enaknya jadi pembantu kan di suruh-suruh kerjaannya. Jarang weekend pula. Pengen kerjaan yang nggak capek-capek amat, terus dapat uang banyak, hehehe."

"Nggak ada yang kayak gitu. Semua kerjaan capek. Kalau mau nggak capek ya jadi bos."

Keduanya tergelak bersamaan. Mereka mengobrol santai sambil memakan makanan mereka. Baik Darren maupun Laras sangat senang jika membahas masa kecil mereka yang penuh dengan kenangan indah.

"Oh ya Laras, bos kamu itu cuma berdua saja di rumah?" Tanya Darren kemudian. Ia mulai mengorek informasi yang akurat dari Laras tentang keluarga Prasetya. Darren merasa keluarga itu aneh karena tidak menyadari putri mereka sudah hilang dari kemarin.

"Pak Prasetya maksudnya?"

"Iya."

"Mereka punya dua anak. Pak Adrian sama Non Agni. Tapi, keluarga mereka itu aneh lo." Jawab Laras sedikit segan. Pasalnya setiap membahas Adrian, bulu kuduk Laras langsung meremang dan hatinya gelisah ketakutan.

"Aneh gimana maksudnya?"

"Ya, nggak kayak keluarga kita gitu. Kalau makan di meja makan cuma diam-diaman. Cuma sesekali Pak Prasetya sama Pak Adrian membahas tentang pemerintahan. Kalau Bu Devi sama Non Agni cuma diam dan jarang bicara. Satu keluarga itu kayak berjarak gitu."

"Masak ada keluarga kayak gitu. Jangan-jangan yang nggak pernah di ajak ngomong itu cuma anak angkat."

"Non Agni maksudnya? Nggak mungkin Non Agni anak angkat, wong wajahnya saja perpaduan antara Bu Devi dan Pak Prasetya. Orangnya cantik banget lo Darren, sayangnya pendiam banget jadi jarang yang tahu kalau Non Agni itu adalah anaknya Pak Prasetya."

"Ooooh, kok ada keluarga aneh gitu ya. Jangan-jangan nanti kalau anaknya hilang mereka nggak sadar." Celetuk Darren asal, sekarang ia mulai paham kenapa sampai sekarang tidak ada yang mencari Agni padahal gadis itu sudah hilang sehari semalam.

"Bisa jadi. Mereka itu di rumah kayak hidup sendiri-sendiri gitu loh. Yang menikmati tinggal di rumah itu cuma Pak Adrian. Yang lainnya cuma kayak numpang berteduh gitu. Aku juga heran pas pertama kerja di sana. Tapi sekarang sudah terbiasa. Bukan urusan kita juga. Yang penting kita kerja dan dibayar. Urusan mereka itu bukan urusan kita."

"Apa semua orang kaya seperti itu ya?"

"Mungkin aja. Mereka terlalu sibuk cari uang hingga nggak ada waktu buat keluarga."

"Oh ya Laras, aku lupa mau tanya, tadi katanya ada yang ingin kamu bicarakan. Apa itu?"

Laras sedikit gelagapan mendengar pertanyaan Darren. Tadinya ia memang ingin berterus terang pada Darren seputar keadaannya dan ingin meminta bantuan Darren. Namun, Laras kini dilema. Ia menyukai Darren dan Laras takut Darren akan menjauhinya jika tahu ia sudah tidak suci lagi. Sepertinya Laras harus benar-benar mengurungkan niatnya sekarang.

"Oh itu. Aku, aku hanya ingin tanya, di pabrikmu apa ada lowongan kerja untuk lulusan SMA. Aku ingin mencari pengalaman di luar sana. Nggak melulu jadi pembantu di rumahnya Pak jenderal."

"Tapi kan kerjaan kamu udah enak Laras. Ngapain susah-susah kerja di pabrik."

"Ya itu Darren, mau cari pengalaman baru."

"Setahuku kalau sekarang belum ada. Tapi kalau bentar lagi nggak tahu. Biasanya yang sering buka lowongan itu di bagian produksi. Nanti kalau ada lowongan aku kasih tahu deh siapa tahu kamu minat."

"Oke, makasih ya Darren."

"No problem."

Keduanya kemudian meneruskan makannya sambil asyik mengobrol. Laras harus pulang duluan karena sang ibu tiba-tiba menelponnya dan mengatakan jika bahan yang Laras beli harus segera dimasak. Darren menawarkan diri untuk mengantar Laras. Namun perempuan itu menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan Darren.

Aslinya, Laras tidak mau ketahuan Adrian dan pria itu akan mengamuk padanya. Laras trauma ketika kemarin Adrian memperkosanya hanya gara-gara melihatnya berbicara dengan Darren di taman. Hati Laras mulai gondok sebenarnya. Bukan saja sudah melecehkannya, Adrian kini malah semakin keterlaluan karena mengatur-ngatur hidupnya.

Namun, Laras tidak berdaya Karena pekerjaannya dan pekerjaan sang ibu tengah dipertaruhkan. Ia terpaksa pasrah dan tetap berusaha mencari jalan keluar agar bisa lepas dari bajingan bernama Adrian HadiWinata itu.

**

Sore hari, Darren pergi ke gudang tempat ia menyandera Agni dan membawa makanan. Hatinya berperang, antara membiarkan Agni kelaparan dan ketakutan, namun di sisi lain ia tidak tega membayangkan seorang gadis muda sendirian di dalam hutan. Ternyata menculik orang sangat merepotkan, di tambah nyawa resikonya. Darren benar-benar mengutuk niat balas dendamnya yang hanya setengah-setengah.

Sesampainya di dalam gudang, Darren mendapati Agni terduduk di atas ranjang sambil menangis hingga matanya bengkak. Darren kesal sendiri melihatnya karena menyadari bahwa gadis itu sedari tadi belum mandi. Apa Agni tidak merasa bahwa tubuhnya sangat lengket. Padahal Darren sudah berbaik hati menunjukkan di mana kamar mandinya. Tapi gadis itu malah mengabaikannya dan tidak mandi sampai sekarang.

Darren berjalan menuju Agni yang kini ketakutan menatapnya. Gadis itu segera menghapus air matanya ketika menyadari Darren berjalan ke arahnya. Dengan sorot mata tajam karena kesal, Darren menghampiri gadis merepotkan itu.

"Kau belum mandi?" Tanya Darren dengan suara beratnya. Ia menatap datar pada Agni yang kini menunduk sambil terus berusaha menghapus air matanya. Gadis itu menggeleng, membuat Darren menghembuskan napas berat.

"Mandi sekarang juga atau aku yang akan memandikanmu." Dan ucapan Darren sukses membuat mata Agni melotot seketika.

Kidnapping ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang