Part 15

530 56 3
                                    

Agni membatu saat penculik itu memeluk tubuhnya dan melumat bibirnya. Sejenak Agni termenung, namun beberapa saat kemudian, ia memberontak karena merasa ini sudah salah. Bagaimana mungkin ia justru menikmati ciuman dari penculik menakutkan ini.

"Su, sudah, hentikan." Ucap Agni di sela-sela ciuman mereka. Namun pria asing itu seolah enggan mendengarnya.

Darren sendiri sebenarnya sudah merasa bahwa yang ia lakukan adalah salah. Namun Darren urung untuk berhenti. Bibir gadis ini rasanya sangat manis, bau pasta gigi dan sabun yang wangi membuat gairah Darren semakin meningkat. Ia tidak peduli rengekan gadis itu untuk berhenti.

Sambil terus mencium bibir Agni, Darren meraih kedua tungkai wanita itu kemudian mengangkatnya. Darren menurunkan tubuh Agni ke ranjang kemudian menindihnya. Ia menurunkan ciumannya ke leher dan membuka bathrobe bagian atas yang dikenakan oleh Agni.

"Ja, jangan. Tolong jangan diteruskan."

Tangan Agni menahan wajah Darren yang hendak mencium kedua payudaranya. Pria itu mengangkat wajahnya, menatap Agni yang kini ketakutan dibawahnya. Menyadari ia melakukan kesalahan, Darren segera bangkit kemudian menyugar rambutnya dengan gelisah.

Agni segera duduk dan membenarkan bathrobe-nya yang sudah berantakan. Ia merapikan rambutnya kemudian segera berdiri lalu berjalan menuju tas kecil berisi pakaiannya yang tadi terjatuh saat pria itu menciumnya. Agni segera meraihnya kemudian berlari kecil menuju kamar mandi. Ia harus segera berpakaian agar tidak terjadi sesuatu yang di luar batas.

Darren menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Ia mengutuk otaknya yang sama sekali tidak sinkron dengan niatnya. Ia menculik Agni, bukan malah mengurus atau bercinta gadis itu, bahkan tadi ia nyaris kebablasan. Sebenarnya apa yang ada di otak Darren hingga bisa berpikiran semesum tadi.

Darren berjalan menuju meja makan kemudian mulai menata makanannya. Ia mulai makan tanpa menunggu Agni selesai berpakaian. Lagi pula untuk apa ia menunggu Agni. Diberi makan saja bukanlah sudah bagus. Kalau di pikir-pikir menculik Agni bukan untuk membuat Prasetya gila, namun justru dirinya yang akan gila. Darren bahkan jadi repot sekali karena setiap hari memikirkan akan memberi makan apa untuk wanita itu.

Beberapa saat kemudian, Agni keluar dari kamar mandi. Gadis itu sudah berpakaian rapi dan tidak membuat Darren kelimpungan lagi. Darren yang tengah makan seketika meminum air putih yang ada dihadapannya agar ia tidak terlihat seperti orang bodoh yang gugup di depan sanderanya.

"Kemari lalu makanlah. Makanan ini mahal, aku membelinya susah payah dan aku akan sangat kesal jika sampai terbuang."

Agni yang ketakutan segera berjalan menuju tempat pria asing itu makan. Ia duduk di seberang pria itu yang kemudian telaten mengambilkan makanan untuknya. Entah motif apa pria itu menculiknya, Agni merasa pria itu bukan pria yang jahat. Buktinya pria itu selalu memberinya makan dan menemaninya di sini setiap malam. Setidaknya Agni tidak ketakutan dan kelaparan.

Keduanya makan dalam diam. Rasa makanan ini sudah enak, tidak alot seperti kemarin karena Agni terlalu ketakutan. Sebenarnya hanya makanan sederhana, mungkin karena Agni lapar, semuanya jadi terasa enak.

"Keluargamu tidak mencarimu?"

Agni mendongak mendengar pertanyaan pria itu. Sangat aneh tiba-tiba pria asing itu menanyakan seputar keluarganya. Dari kemarin, pria itu hanya menatapnya tajam dan berkata kasar padanya, bahkan tadi saking kasarnya sampai menelanjanginya. 

Tunggu tunggu, apa pria itu dendam pada keluarganya. Atau mungkin pria itu adalah suruhan lawan politik papanya yang ingin menjatuhkan karir sang papa mengingat karir papanya saat ini sedang di atas angin. Di dunia politik tidak ada yang bisa menebak. Lawan bisa jadi kawan, pun sebaliknya. Agni harus hati-hati dengan pria asing ini.

"Kenapa kau diam saja?"

"It, itu, itu bukan urusanmu."

Dan Darren hanya menghembuskan napas berat, tidak ingin lagi bertanya apapun pada Agni. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa kasihan pada gadis itu yang seperti diabaikan keluarganya sendiri. Sampai sekarang ponsel gadis itu masih sepi, tidak ada sama sekali yang menanyakan keadaannya. Darren merasa dirinya salah menculik orang.

Entahlah. Darren mulai pusing memikirkannya. Di otaknya terbersit agar melepaskan saja gadis merepotkan itu. Menculiknya seperti tidak ada gunanya. Tapi, mengingat dendam akan kehilangan ibunya, Darren memutuskan untuk mengurungkan niatnya. Tunggu sebentar lagi dan ia akan melihat bagaimana perkembangannya. Ya, sebaiknya seperti itu dan ia tidak mau bertindak gegabah yang akan membuat pusing sendiri.

**

Sudah dua hari ini Laras lega karena Adrian ada dinas di luar kota. Ia tidak lagi was-was dan takut jika sewaktu-waktu Adrian menerkamnya. Laras bisa bekerja dengan bebas dan bersih-bersih di kamar pria itu tanpa takut pada tingkah Adrian yang sering memanfaatkan kesendiriannya.

Dengan hati bahagia setelah melihat pesan dari Darren yang menanyakan kabarnya, Laras menutup ponselnya kemudian kembali membersihkan kamar anak majikannya itu. Laras membersihkan ranjang dan menatap sprei agar ketika datang, Adrian tidak mengomel sana sini.

Setelah selesai menata, Laras mengelap keringatnya dan menatap puas pada hasil kerjanya. Ia bahkan tidak sadar saat seseorang masuk dan mengunci pintu kamar. Orang itu berjalan mendekati Laras dengan pelan kemudian berdiri tepat di belakang wanita itu lalu memeluknya erat. Laras sontak syok dan berusaha kuat melepaskan pelukan yang ia sadari kini dilakukan oleh Adrian. Kenapa pria itu sudah pulang?

"Kau merindukanku? Kenapa menatap ranjang ini, kau mulai rindu berteriak puas di sini?" Adrian mengeratkan pelukannya, menggigiti cuping telinga Laras dan membuat wanita itu menggeliat takut.

"Pak, lepaskan saya. Saya hanya mengerjakan tugas saya di sini. Tolong jangan seperti ini. Saya takut."

"Takut apa? Ayolah Laras, kau jangan munafik. Kau selalu mengatakan takut tapi tubuhmu orgasme berkali-kali saat aku memasukimu. Tidak bisakah kau mengaku padaku juga kau juga menikmatinya?" Adrian meremas payudara Laras, membuat wanita itu mengeluarkan desahan laknat dari mulutnya.

"Saya tidak pernah menikmatinya. Itu reaksi alami tubuh saya. Saya bukan pelacur yang bebas-bebas di sentuh sembarang pria. Meskipun saya pembantu, saya wanita terhormat sebelum anda merenggutnya malam itu. Penyesalan terbesar saya adalah menolong Anda saat itu!"

"Di tinggal dua hari saja kenapa kau jadi begitu banyak bicara. Siapa yang mengajarimu? Pria yang mengobrol denganmu itu? Jika dia macam-macam lagi, aku tidak akan segan-segan menyingkirkannya."

"Jangan coba-coba menyentuhnya!!"

Adrian membalikkan tubuh Laras, ia suka reaksi wanita itu saat ketakutan pada ancamannya. Laras seperti seekor kelinci malang yang di buru predator. Ketika wanita itu ketakutan, gairah Adrian malah semakin membara. Dua hari ia tidak melihat Laras, dua hari itu pula ia harus menahan diri untuk tidak menyentuh wanita.

"Jika kau tidak ingin terjadi sesuatu padanya, maka sebaiknya kau menurut. Ingat, dengan segala kekuasaanku, tidak sulit sama sekali menyingkirkan teman priamu itu. Jadi Laras, sebaiknya kau tunduk padaku dan melakukan apapun yang aku inginkan agar hidupmu tetap aman."

Adrian mendorong tubuh Laras hingga wanita itu telentang di atas ranjang. Laras ketakutan saat melihat Adrian mulai membuka kemeja dan pakaiannya satu persatu. Saat tubuh pria itu menindih tubuhnya, Laras memejamkan matanya, ia berharap hal ini cuma mimpi dan bisa segera terbangun agar ia tidak ketakutan lagi.

Kidnapping ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang