7. Ready To Forget

560 49 8
                                    

Beberapa hari setelah pertemuan pertamanya dgn First, Khaotung memutuskan untuk menghubungi pria tersebut dan memintanya untuk bertemu. Seiring gayung bersambut, First juga tanpa ragu menyetujui permintaan Khaotung. Bukan tanpa alasan, First juga masih ingin lebih jauh memastikan apa benar pria yg datang kerumahnya itu benar-benar saudara kembar dari suaminya. Meskipun tidak perlu diragukan lagi karena wajah mereka yg sepenuhnya sama.

First sering membayangkan bagaimana rupa Ray ketika mereka berada di usia sekarang.
Apakah pria manis itu akan tetap semanis ketika awal mereka bertemu?
Apakah Ray masih akan memasang wajah memelas setiap kali First tidak menuruti kemauannya?
Apakah suaminya itu masih akan menangisi hal hal kecil seperti dulu?

"Maaf aku terlambat, anak-anak tidak membiarkanku pergi dengan mudah."

Apakah senyumnya akan tetap indah, sama seperti senyum milik pria yg baru datang menemuinya di coffe shop siang ini. Mereka memiliki senyum yg sama, bahkan suara mereka terdengar tanpa perbedaan.

"Anak-anak?"

First menggeser sedikit kursinya agar Khaotung bisa duduk dikursi yg ada disampingnya.

"Aku tau apa yg kau pikirkan, tapi tidak. Aku belum menikah apalagi memiliki anak. Itu hanya anak-anak dipanti asuhan, aku bekerja disana."

Pria dgn kemeja biru muda itu hanya ber'oh'ria mendengar penjelasan Khaotung. First tidak berani berlama-lama menatap wajah Khaotung karena membuatnya tidak fokus dan beranggapan kalau dirinya sedang berbicara dgn Ray.

"Aku pikir kau akan datang bersama Perth."

"Tidak, dia masih disekolah."

"Sayang sekali, aku sangat merindukannya."

Keduanya terdiam setelah itu, First sibuk dgn pikirannya sendiri begitupun dgn Khaotung yg juga sedang menata keberaniannya untuk bertanya lebih jauh tentang saudaranya kepada First.

Khaotung mengaduk-aduk minuman dihadapannya, sesekali matanya melirik kearah First yg menatap lurus pada dedaunan diluar kaca. Entah apa yg sedang dipikirkan ayah satu anak itu.

"Ray adalah manusia paling baik yg pernah aku temui."

Seakan berhasil membaca apa yg ada dalam pikiran Khaotung, First mulai bersuara dgn membayangkan pertemuan pertamanya dgn Ray.

First masih mengingat dgn jelas ketika Ray yg entah muncul darimana tiba-tiba saja datang padanya yg sedang kehilangan arah karena penolakan yg terus menerus Furst dapatkan dari kedua orang tuanya.

Ray dgn senyumnya yg begitu indah berhasil membawa warna baru dalam hidup First. Membawa berjuta tawa untuk menggantikan air mata yg ditumpahkan oleh First kala itu. Ray dgn segala yg dia lakukan akhirnya membuat First menyerah dan dgn sukarela memberikan sepenuh hatinya pada Ray.

"Dia sangat sensitif bahkan dgn sesuatu yg belum tentu terjadi sekalipun. Dia akan menangis hanya dgn membayangkan beberapa hal yg membuatnya takut. Aku ingat dia pernah menangis semalaman hanya karena membayangkan Perth akan lebih sering menghabiskan waktu dgn kekasihnya saat dewasa. Dia tidak ingin membagi anaknya dgn siapapun. Sangat lucu, kan?"

First tersenyum, tapi Khaotung tau itu bukan senyum bahagia selayaknya seorang yg sedang bernostalgia. Meskipun raganya berada disini sekarang, tapi hatinya masih tertinggal jauh dibelakang sana. First masih terjebak dgn masalalunya, masih tidak bisa menerima kepergian orang yg paling dicintainya. Sangat menyakitkan memang harus menjalani hidup dgn setengah hati yg telah pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.

"Apa kau merindukannya?"

Kedua bola mata yg berkaca-kaca itu melihat kearah Khaotung beberapa saat sebelum kembali menatap tanaman yg bergerak diterpa angin diluar sana.

Unsteady (FirstKhaotung) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang