31

2 0 0
                                    

Angin yang Tak Terlihat

💐

Sepulang sekolah sekitar jam 14.20 murid-murid SMA Garuda sudah pulang ke rumah masing-masing. Kecuali para perwakilan LCC dan anggota ekstrakurikuler. Sekolah sudah sepi. Hanya tersisa segelintir orang yang masih memiliki tanggungan di sekolah.

Lea, Aylin dan Alvin kini sudah berada di ruang OSIS. Guru pembimbing meminta mereka untuk melakukan bimbingannya di ruang OSIS. Pembimbing hari ini adalah wali kelas mereka sendiri. Bu Winona, pak Dadang dan guru-guru IPA. Pada bimbingan pertama, mereka akan belajar matematika, kimia, fisika dan biologi.

Lea tidak lupa memasang kacamatanya sebelum melihat materi yang ada di hadapannya. Ia fokus mempelajari materi yang ada di hadapannya sambil berdiskusi dengan Aylin.

"Mata pelajarannya ini kita bagi atau gimana?" tanya Alvin.

"Ya sesuai kalian menguasai pelajaran apa? Kalo gue bahasa Inggris," jawab Lea.

"Yaudah gini. Alvin matematika, kamu bahasa inggris le, aku IPA," ucap Aylin.

"Sisanya? IPS sama Pengetahuan Umum?" tanya Alvin.

"IPA kan udah tiga. Kimia, fisika, biologi. Lo pilih aja antara IPS atau pengetahuan umum Vin. Sisanya gue," saran Lea.

"Tapi kalau misalnya Alvin gabisa jawab soal matematika, trus antara aku sama kamu bisa le, ya kita bantu jawab. Gitu juga kalo mapel lain. Lea gak bisa, aku sama Alvin bantu. Aku gak bisa, kalian bantu," ucap Aylin.

Mereka sepakat dengan keputusan pembagian mata pelajaran sesuai kemapuan mereka. Setelah itu, secara bergantian mereka di tes layaknya lomba cerdas cermat sesungguhnya.

"Kenapa Aylin dan Lea tidak menjawab?" tanya pak Dadang karena selalu Alvin yang menjawab pertanyaannya. Lea dan Aylin hanya memperhatikan.

"Matematika bagiannya Alvi pak," jawab Lea.

"Kamu kalau bisa lebih cepat dari Alvin juga boleh menjawab Lea," ucap Bu Winona.

"Tapi tidak efektif Bu. Kalau semuanya mempelajari, nanti kita kesulitan memahami kalau bidangnya berbeda-beda," jelas Aylin.

"Baiklah tidak apa-apa. Hari ini cukup sampai di sini saja."

Setelah guru mereka keluar, mereka bertiga baru memasukkan buku-buku mereka ke dalam tas. Lea berharap Alvin menawarinya tumpangan. Tapi ternyata dia benar-benar sangat cuek. Seolah Lea adalah angin yang tak terlihat.

"Hmm.. udah kayak angin aja gue. Transparan. Tak terlihat," desah Lea.

"Kamu jangan suka sama dia lah le. Nyakitin hati aja."

"Pengennya sih move on. Tapi gak bisa. Tetep aja mata ini ngelirik dia."

"Kamu gak mau mampir ke bakery Tante? Bareng kalo mau?" tanya Aylin.

"Gue mau ke cafe depan sekolah. Laper. Kalo ke bakery bunda kejauhan. Mau ikut? Gue traktir," ajak Lea.

"Boleh tuh."

Lea mengajak Aylin mengisi energi mereka yang habis karena bimbingan lomba cerdas cermat. Ia penasaran dengan cafe di depan sekolah yang baru buka seminggu lalu. Namanya Cafe Book Coffee.

🍒

Sama seperti namanya, cafe-nya dilengkapi oleh banyak buku yang tertata rapi pada setiap rak. Warna brown pada cafe-nya menciptakan suasana yang hangat dan menenangkan.

 Warna brown pada cafe-nya menciptakan suasana yang hangat dan menenangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bagus ya le. Tenang. Bisa puas baca buku juga."

"Iya Lin. Duduk yuk!"

"Jadi pengen pinjem buku deh le."

"Pinjem aja. Aku nunggu di sini. Takut ada yang nempatin."

"Oke."

"Ehhh pesen dulu Lin!"

Aylin tersenyum lalu duduk di samping Lea sambil melihat menu yang ada. Lea memesan ice cream sandwich rasa matcha. Sedangkan Aylin memesan spaghetti sama mint tea.

Sembari menunggu pesanan dan menunggu Aylin mencari buku, Lea mengabadikan estetika cafe dengan kamera ponselnya. Ia tidak melewatkan setiap sudut yang aesthetic dari tempat duduknya.

"Ini kak pesanannya. Ice cream Sandwich rasa matcha, spaghetti sama mint tea."

"Terima kasih kak."

"Baik. Silakan. Selamat menikmati."

Setelah itu Aylin datang membawa sebuah buku. Buku yang sangat menarik. How to Respect Myself. Buku yang ditulis oleh seseorang dari Korea Selatan. Entah apa yang dipikiran Aylin mengapa membawa buku seperti itu. Apakah ia ada masalah? Lea hanya menerka-nerka.

"Kamu gak ada masalah kan Lin?" tanya Lea.

"Masalah pasti ada. Tapi aku emang pengen baca buku ini. Biar tau gimana caranya menghargai diri."

"Ahh gitu. Bentar ya aku mau cari buku. Jangan di makan dulu! Mau difoto."

Tanpa sadar karena Lea buru-buru, ia menabrak seseorang. Ia berbalik badan sambil meminta maaf sekaligus ingin tahu wajah orang yang ditabraknya.

"Lohh mas Reon? Ngapain di sini?"

"Ini cafe temennya mas Reon. Kamu belum pulang le?"

"Baru selesai bimbingan."

"Cepet le! Nanti es krim kamu keburu cair," ucap Aylin.

Lea baru ingat. Ia harus mengambil buku untuk memotretnya. Melihat laki-laki di depannya membawa buku, Lea menariknya. Ia mengambil bukunya kemudian langsung memotretnya.

"Pinjem bentar ya mas."

Sat-set. Sat-set. Lea selesai meminjam buku milik Reon. Ia mengembalikannya lalu mengajak Reon duduk bersamanya dan Aylin. Lea juga mengenalkan Reon pada Aylin.

"Lin ini mas Reon, kakaknya Leo."

"Saya Aylin."

"Reon."

"Kamu pulang sama temen kamu le?" tanya Reon.

"Enggak mas. Gak searah."

"Yaudah sama mas aja. Tapi mas mau ke temen mas dulu! Kalian enjoy aja!"

Sejak tadi Aylin tak berhenti memperhatikan Reon. Ia memberitahu Lea bahwa orang yang dilihatnya benar-benar sangat mirip dengan Leo bukan karena terpesona ketampanannya. Mereka memang sama-sama laki-laki tampan. Cuma beda massa otot saja.

"Enak yaa?" tanya Aylin.

"Iya. Bisa nih sering-sering ke sini. Worth it. Kamu kalo mau pulang duluan gapapa. Aku kan nunggu mas Reon."

"Gapapa. Tak temenin aja. Aku kan udah dibayarin sama kamu."

"Ihh gapapa kok. Biar aku nyamperin mereka aja."

"Mmmm.. yaudah makasih ya le."

"Iya."

Lea tidak benar-benar menghampiri Reon. Ia membaca buku yang tadi dibaca oleh Aylin. Lea kemudian melihat Reon dan temannya berjalan ke arah meja Lea. Ia pun menutup bukunya.

"Ini yang punya cafe le," ucap Reon.

"Oh ini cafe kakak?" tanya Lea.

"Iya. Kamu gak pulang sama Leo?" tanya teman Reon.

"Sebenernya mau minta jemput. Tapi ketemu mas Reon. Gak jadi deh. Kasian dia," senyum Lea.

Laki-laki itu juga menanyakan pendapat Lea tentang menu yang dipesannya. Menu di Cafe Book Coffee itu memang enak. Lea tidak berbohong. Kemudian Lea langsung membayar pada owner-nya. Tapi ia menolak karena kenal dengan Lea.

"Jadi gak enak kak."

"Gapapa kok. Sering-sering mampir ya! Kan Deket. Di depan sekolah. Ajak Leo sama temen-temennya yang lain juga."

"Iya kak."

Lea mengoceh pada Reon. Ia memuji interior hingga menu cafe-nya yang enak itu. Reon senang melihat Lea senang. Sudah lama mereka tidak sedekat itu. Reon sibuk dengan skripsinya, sedangkan Lea sibuk dengan sekolahnya.

💐

TBC

AzaleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang