Bab 7 : Ramalan badai

192 24 5
                                    

"Apa yang kalian lakukan di sini?" Karin berjalan mendekat. Surai merahnya yang tergerai, melambai tertiup angin.

Sakura bangkit berdiri. Menepuk bagian belakang celananya untuk membersihkan beberapa pasir yang menempel. "Bukankah aku yang seharusnya bertanya padamu?" ia berujar sinis. Tatapannya penuh ketidaksukaan.

"Marah padaku?" Karin mengangkat alis.

Sakura mendengus. Gadis itu melipat tangannya di depan dada. "Mengapa kau lari? Hamil? Menurutmu aku percaya pada alasan klasik yang kau buat? Teganya kau limpahkan bebanmu padaku!" Sakura menaikkan suaranya. Sungguh, ia merasa marah melihat wajah Karin yang tampak tak bersalah sedikit pun.

"Apa aku tak berhak memperjuangkan kebahagianku sendiri?" ujar Karin sedikit kesal. "Lalu, apa yang kau lakukan saat ini? Bukankah kau juga menikmatinya, hah?" ia menunjuk Sasuke dengan matanya.

Laki-laki yang masih duduk itu menyipitkan mata. Sasuke tak habis pikir, Haruno bersaudara ada di Ame dalam waktu bersamaan. Sama-sama di tengah pelarian. Dan sialnya, ia terjebak di antara mereka.

"Kurasa ia mengejarmu. Menikahlah dengannya sekarang juga atau aku akan membocorkan lokasimu pada yang lain," ancam Sakura.

"Bukankah itu sama saja dengan membocorkan lokasimu?" Karin tersenyum miring. "Bagaimana kalau mereka lebih menginginkanmu?"

"Bukankah namamu yang ada dalam perjanjian bodoh itu?" ucap Sakura berapi-api.

"Lantas?" Karin menarik sudut bibirnya. Ia senang mempermainkan Sakura sejak dulu. Hubungan mereka memang selalu aneh. Dipenuhi pertengkaran dan kasih sayang secara bergantian.

Kedua gadis itu saling mengirimkan tatapan tak suka. Hingga akhirnya Sakura mendesah.

"Karin," Sakura melepaskan lipatan tangannya. Membiarkannya bebas di samping tubuh. "Bisakah kita lemparkan saja Uchiha ini ke danau?" Ia menyisir poninya ke belakang. Merasa frustasi akan masalah yang menimpanya.

Celetuk Sakura membuat Sasuke menatapnya tajam. "Apa?" teriaknya tak terima. Laki-laki itu bangkit berdiri.

Karin tertawa lebar, "Boleh juga."

Sakura menendang pasir di depannya. "Bukankah waktu cutimu hampir habis?"

Karin mengernyit lalu mengiyakan, "Ya."

Sakura berjalan mendekat. Lantas membisikkan beberapa kalimat, "Aku tahu pikiran kita sama. Bukankah akan saling menguntungkan? Pendidikan spesialis dan denda pembatalan sepihak."

Karin menegang, "Sakura kecilku sudah dewasa rupanya," bisiknya tajam.

Sakura memutar bola matanya, "Meskipun telah menikah, bukankah kau masih bisa berhubungan dengan Kak Sui di belakangnya? Jangan memperumit keadaan karena sifat jual mahalmu."

"Benarkah selama di Kiri, kau pergi belajar?" sindir Karin. Ia sedikit terkejut mendengar kalimat Sakura.

"Aku tak butuh validasi dari orang yang terobsesi menjadi yang pertama," Sakura mendesis. Keduanya bertatapan sengit.

Sasuke merasakan aura permusuhan terpancar di antara keduanya. Begitu kuat dan pekat. Sejujurnya, ia sedikit penasaran akan apa yang Sakura ucapkan hingga membuat Karin marah.

Sakura menghela napas. Lalu berbicara agak keras, "Selesaikan masalah kalian berdua. Aku pergi."

"Mau kemana kau?" Sasuke berteriak. Langkahnya terburu untuk meraih lengan Sakura.

Begitu ia meraihnya, kilat menerangi sekeliling sekejap mata. Disusul suara gemuruh setelahnya. Permukaan danau yang semula tenang mulai beriak. Saat hembusan angin perlahan menguat, ombak menghantam pesisir dengan keras.

'Debum'

Sakura menatap langit kala bulir air hujan yang lebih besar jatuh mengenai kepalanya. Hangat tangan Sasuke yang mencekal lengannya terasa samar karena udara sekitar menjadi lebih dingin.

Suara gemericing lonceng menggema terbentur bebatuan. Iramanya mengandung kekuatan magis yang mampu menghipnotis jiwa.

"Jalan menuju Nirwana?" Sakura mendengus.

Mendung yang menyelimuti langit Amegakure semakin pekat. Mungkin badai memang benar-benar akan datang.

Sakura menatap datar pada lengannya yang dicekal lalu beralih ke wajah sang pelaku. Mereka bertatapan dalam diam.

Sakura melihat dirinya dalam pantulan onyx Sasuke. Dengan gerakan yang cepat, gadis itu berjinjit. Tangannya yang bebas menarik leher Sasuke untuk lebih menunduk. Sakura menciumnya tepat di bibir. Sasuke membulatkan mata. Tanpa emosi, gadis itu menggigit ujung bibir Sasuke. Membuat pemuda itu terkejut hingga melepaskan lengan sang gadis.

Sakura lalu berlari menjauh. Meninggalkan Sasuke yang meringis kesakitan. Karin mengepalkan tangannya kuat.

***

Yahiko merebahkan tubuhnya ke kasur. Ia memegangi dadanya yang berdebar. Ingatannya kembali pada sosok seorang gadis yang tengah berlari sambil menggenggam tangannya.

Laki-laki itu lalu menggelengkan kepala. Menepuk kepalanya beberapa kali. "Sadarlah!" ujarnya.

Ia menghembuskan napas panjang. Ia menutup tokonya malam ini, bukan hanya karena badai, tetapi agar gadis itu pergi. Perasaan ini membuatnya takut. Rasa hangat yang ia bagi membuatnya merasa tak pantas. Walau mereka hanyalah dua orang asing yang tak sengaja dipertemukan, ia merasa segalanya akan jauh lebih sulit.

Di depan gadis itu, ia hanya berpura-pura terlihat baik-baik saja. Semangatnya untuk hidup telah benar-benar hilang sebelumnya. Namun, entah mengapa seberkas cahaya mulai muncul dan ia membencinya.

"Bukankah memberi kesempatan lagi pada hidup akan jauh lebih menyakitkan?" gumamnya.

***

Ino menatap langit-langit kamarnya. Berulangkali mengecek aplikasi pesan di ponselnya. Sakura bahkan tak membacanya.

"Ten, bagaimana kalau kita mengunjungi Sakura setelah pertandingan?" katanya pada Tenten yang tengah mengetik di laptopnya. "Kurasa ada yang tak beres di sini."

"Huh," Tenten menghela napas, "Aku merasakannya sedari awal."

"Mungkinkah ia dipaksa menikah dengan pria tua yang kaya untuk melunasi hutang keluarganya?" Ino mulai meracau.

Tenten menghentikan aktivitas mengetiknya dan mendengus, "Astaga, Ino!" Ia melemparkan penghapus karet di depannya ke arah Ino.

"Aduh!" seru Ino ketika penghapus itu mengenai perutnya. "Mungkin saja, kan?" tanyanya tak bersalah.

Tenten memutar mata, "Kalau itu yang terjadi, menurutku Sakura bisa mengatasinya. Kau tahu, dia tak suka diatur, kan?"

"Yeah."

***

Sakura berjalan dengan payungnya di tengah hujan. Gadis itu berkali-kali memukul kepalanya.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" racauanya.

Sakura berdecak, "Mengapa aku terbawa suasana! Ya, Tuhan!"

Ia sangat kesal pada Karin. Api persaingan antarsepupu yang tak pernah padam kembali terpantik. Sejak kecil, ia selalu hidup di bawah bayang-bayang Karin. Mulai dari neneknya yang pilih kasih hingga mulut para tetangganya yang tak bisa dikendalikan.

Karin yang ramah dan pandai bergaul mempunyai nilai tambah ketika ia mengutarakan cita-citanya dengan lantang sedari kecil, yakni menjadi seorang dokter. Tekadnya ialah melanjutkan mimpi sang nenek yang tak tercapai.

Saat yang lain merasa bangga, Sakura hanya akan tertawa dalam hati. Ia tahu, Karin pandai mencari muka. Sakura kecil yang pendiam dan pemalu semakin lama semakin tersisihkan.

"Sial!" Ia mencium Sasuke di hadapan Karin hanya untuk membuatnya kesal. Hanya dengan melihat matanya, Sakura tahu bahwa Karin akan menyerah. Kakak sepupunya itu paling membenci barang bekas. Namun, bila dipikir-pikir lagi, ia merasa malu akan tindakannya, terlebih itu orang asing.

'Grep'

Sakura tersentak, ada seseorang yang memeluknya dari belakang.

***

- Bersambung -

AmegakureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang