Bab 3 : Pelarian yang Sempurna

161 25 6
                                    

Ruang tamu kediaman Haruno Sakura dipenuhi para kerabat. Haruno Chiyo memiliki dua orang anak laki-laki, Haruno Kizashi dan Haruno Ao. Kizashi menikah dengan Mebuki melahirkan Sakura. Ao menikah dengan Mei melahirkan Karin. Ebizo, adik Chiyo memiliki anak bernama Haha. Ia menikah dengan Chichi melahirkan Sasori. Setelah menikah, Chiyo tinggal di Konoha. Sedangkan Ebizo menetap di kampung halamannya, Suna.

Kizashi, Ao, Mei, Ebizo, Haha, Chichi, dan Sasori menatap lelah pada Mebuki yang sedari tadi berjalan mengitari ruang tamu.

"Apa Sasuke akan berhasil menemukan Sakura?" Mebuki meremas jarinya. "Seharusnya kita tak memaksanya. Sakura baru saja menyelesaikan masa studinya di Kirigakure. Tak sepantasnya menikah begitu cepat. Aku tahu ia belum siap."

"Sudahlah Mebuki, percayalah dia akan baik-baik saja. Sakura bukan pertama kali keluar dari Konoha. Ia tahu lebih banyak daerah lain dari pada kita," Kizashi berusaha menenangkan sang istri.

"Semua ini karena Karin. Dimana kau sembunyikan gadis itu, Mei?" Mebuki menatap Mei tajam.

"Oh ayolah, Kakak Ipar!" Mei menyandarkan tubuhnya ke sofa, "Tak hanya Sakura yang hilang di sini, Karin juga. Kau tahu benar bahwa semuanya salah Uchiha."

"Setidaknya Karin pergi bersama kekasihnya, sedangkan Sakura sendirian di luar sana," Mebuki meninggikan suaranya. Mei menatapnya tak suka.

Ebizo sebagai yang tertua menengahi, "Jangan saling menyalahkan."

"Karena pernikahannya batal, apa kita akan kembali secepatnya?" tanya Sasori. Sungguh, ia tak suka meninggalkan pekerjaannya terlalu lama. Menjadi polisi Sunagakure ialah mimpinya yang telah menjadi nyata.

"Heh, seharusnya kau ikut mencari Sakura dan Karin, Anak Bodoh!" Chichi memukul kepala putranya.

"Aduh!" Sasori mengelus kepalanya. "Untuk apa dicari? Nanti kalau sudah bosan, pasti kembali sendiri," gumamnya kesal. Ia sangat tahu sifat kedua sepupunya yang sangat suka bermain kejar-kejaran sedari kecil.

***

Sasuke melempar payungnya ke sembarang arah. Ia mendudukkan dirinya pada kursi halte. "Hah... hah...," napasnya terengah-engah. Jujur saja ia telah berjalan jauh. Tak ada satu pun kendaraan yang berhasil ia hentikan. Laki-laki itu menatap tajam pada asistennya yang berjalan santai menyusulnya.

"Sasuke, kurasa sebaiknya kita beristirahat sebentar di sini. Hujan deras ini mungkin akan segera berakhir beberapa jam lagi."

Sasuke melirik jam tangannya, pukul setengah tujuh pagi. Ia sudah menghabiskan waktunya selama satu jam di jalanan seperti orang gila. Laki-laki itu melepas sepatu kulitnya. Membaliknya guna membuang air di dalamnya.

"Kau mau kita kehilangan dia lagi?" tanyanya dingin.

"Lebih baik dari pada mati tersambar petir," jawab Naruto saat kilat datang. Ciptakan suara gemuruh setelahnya. Naruto mengambil posisi duduk di samping Sasuke.

"Wanita gila ini membuatku kesal," gerutu Sasuke. "Dari sekian tempat, mengapa ia memilih lari ke tempat terkutuk ini."

"Tentu saja untuk menyulitkanmu," Naruto mengusap wajahnya yang penuh titik air.

"Si tua bangka itu jauh lebih gila karena memintaku bersujud di kaki wanita gila ini," Sasuke menatap tajam jalanan yang mulai tergenang air.

"Kau tahu Sasuke, kurasa Uchiha Madara memang sudah kehilangan akal. Bagaimana bisa ia menganggap kalian sebagai reinkarnasinya dengan sang cinta pertama. Bahkah, di saat pria tua itu belum mati," Naruto mengusap hidungnya yang mulai gatal.

'Hachu'

"Bisa-bisanya kau mau-mau saja menuruti perintahnya," sindir Naruto.

"Apa boleh buat? Ia mengancam akan memecatku di rapat umum pemegang saham," Sasuke mendesah. "Entah mengapa aku merasa hidupku akan jauh lebih sial setelah ini."

Satu bulan yang lalu, Madara berkata bahwa ia akan menikahkannya dengan Haruno Karin, seorang dokter umum di Rumah Sakit Konoha. Ia sempat bertemu tiga kali dengan gadis itu. Karin selalu menatapnya sinis dan berbicara dengan kasar.

Dua hari yang lalu, Madara mengabarkan bahwa ia tidak akan menikah dengan si dokter, melainkan dengan sepupunya, Haruno Sakura. Hal ini dikarenakan Karin melarikan diri bersama kekasihnya. Parahnya lagi, ia mengaku tengah mengandung.

Awalnya Sasuke merasa lega tak jadi menikah dengan dokter barbar itu. Namun, ternyata Haruno Sakura ialah pilihan yang lebih buruk.

Saat Sasuke ingin menyerah pada pengejaran ini, tiba-tiba sebuah bus berhenti di halte itu. Membuat kedua laki-laki itu mematung. Rasanya Naruto begitu bahagia sampai-sampai ingin memeluk bus itu. Kedua kakinya sungguh pegal.

"Apa kalian akan melewati Rumah Sakit Ame?" teriak Naruto pada si sopir bus.

"Ya, kami ke sana."

Naruto tersenyum begitu lebar, "Bagus!" serunya senang.

"Ayo," ia menarik lengan Sasuke yang masih mematung.

Mereka pergi meninggalkan dua payung hitam yang tergeletak acak.

***

Di sebuah apartemen, Haruno Karin tengah menatap derasnya hujan dari jendelanya. Hozuki Suigetsu, sang kekasih membawakannya susu hangat.

"Terima kasih," ucap Karin.

"Kau memikirkan adik sepupumu?"

"Ya," ujar Karin lemah.

"Ia pasti baik-baik saja," Suigetsu berujar lembut.

Karin menatap kosong ke depan, "Semoga."

***

Uchiha Itachi meneguk sebotol air mineralnya. Saat ini, ia tengah berlari di treadmill dengan kecepatan sedang. Kisame melemparkan handuk ke arahnya yang berhasil ia tangkap.

"Suasana hatimu terlihat buruk!" cibir Kisame.

"Masalah keluarga," jawab Itachi. Anggota klub baseball Konoha Giants itu menghela napas kasar. Ia tahu, keluarganya tengah memaksakan kehendak pada adik kesayangannya saat ini.

***

"Dimana kamar gadis pingsan yang datang sekitar satu jam yang lalu?" tanya Sasuke tak sabaran. Sang resepsionis tampak kebingungan.

Naruto menjelaskan secara rinci, "Gadis bersurai merah muda di gendongan pria bersurai oranye yang basah kuyup."

Resepsionis itu melihat data di komputernya. "Ah, Pain Yahiko?"

"Mungkin," jawab Sasuke tak yakin.

"Maaf, tapi mereka sudah pergi sepuluh menit yang lalu."

"Apa?" Sasuke dan Naruto saling menatap terkejut.

***

- bersambung -

AmegakureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang