"Kau menyedihkan, Yahiko!"
"Kau menyedihkan!"
Suara sang bibi berputar bak kaset rusak dalam kepalanya. Tadi malam, ia sama sekali tak bisa tidur. Hati kecilnya terus bertanya-tanya tentang apa salahnya sebenarnya. Langkahnya kian berat. Di tengah kesibukan Ame, ia seperti domba yang hilang. Tak ada yang repot-repot untuk memperhatikan wajah suramnya. Ia merasa bersyukur akan hal itu.
Yahiko menatap bangunan sekeliling. Alam bawah sadarnya membawanya ke toko bakpaunya. Ia akan kembali ke danau malam ini. Tapi sebelum itu, ia perlu baju putihnya yang tertinggal di toko.
Ia melebarkan matanya ketika mendapati Sakura di depan tokonya. Sungguh, ia tak menyangka kalau gadis itu akan kembali. Hari ini, surai merah mudanya disanggul tinggi. Poninya terbelah membingkai wajah. Hidungnya terkubur pada syal putih gading. Sakura berdiri dengan kedua tangan di saku jaket kremnya, tengah menatap Patung Iblis Gedou Mazou di seberang jalan.
Yahiko mematung. Gadis itu tampak tengah menunggu seseorang, menunggunya. "Benarkah?" Ia tak habis pikir, mengapa ada orang yang repot-repot menunggu orang yang tak berguna seperti dirinya.
Ketika gadis itu memutar tumitnya untuk mengamati sisi jalan yang lain, Yahiko menahan napas. Mata emeraldnya melebar. Yahiko bisa melihat senyum yang mulai mengembang. Sakura melambaikan tangan ke arahnya. Tampak meminta perhatian.
Yahiko berjalan mendekat dengan kecepatan normal. Ia berusaha tenang. Perasaan bersalah tiba-tiba menggelayuti hatinya. Terutama saat keinginan bunuh dirinya bersanding dengan wajah cantik malaikat penyelamatnya dalam satu momen. Yahiko tak tahu tentang bagaimana reaksi gadis itu nanti saat ia tahu kalau laki-laki yang diselamatkannya dengan susah payah ternyata lebih memilih untuk menyia-nyiakan kesempatan keduanya. Saat ini, Yahiko seharusnya sudah mati.
"Hai!" sapa Sakura.
Yahiko mengangguk singkat. Sama sekali tak berani menatap gadis itu. Ia mengeluarkan kunci dan membuka pintu tokonya. Lalu duduk di salah satu kursi.
"Apakah semuanya baik-baik saja?" Sakura bertanya dengan nada khawatir. Wajah pucat Yahiko yang memilih tetap diam tak membantu apa pun.
"Yahiko!" Sakura mengguncangkan lengan laki-laki itu. Membuyarkan lamunannya.
"Maaf, tapi aku tak tahan lagi," katanya putus asa. "Aku tak seharusnya ada di sini. Semua ritualnya telah selesai, dunia tak lagi mengikatku. Aku harus segera menyerahkan diri."
"Apa maksudmu?" Sakura menatapnya tak percaya. Mungkin laki-laki itu mabuk atau semacamnya. Ia hanya berbicara tentang kepahitan. "Mengapa kau begitu mudah menyerah? Tolong katakan padaku apa yang telah terjadi? Aku akan membantumu."
Kata-kata Sakura terdengar tulus. Namun, Yahiko terlalu takut untuk percaya. Terlalu takut untuk bergantung pada orang lain lagi. "Tidak ada yang bisa kau lakukan. Ini masalahku. Aku akan mengatasinya dengan caraku."
"Dan pergi ke Nirwana? Itukah maumu?" Sakura menaikkan suaranya. "Siapa yang dapat menjaminnya? Pernahkah seseorang kembali dan menceritakan pengalaman aslinya? Kurasa tak ada dan tak akan pernah ada. Pernahkah kau berpikir kalau dongeng hanya sekadar dongeng? Sebuah cerita pengantar tidur yang tak layak dipercaya. Saat kau telah kehilangan semuanya, bagaimana jika yang muncul hanyalah kehampaan? Tidakkah kau akan semakin menderita bila realita tak sesuai ekspektasi? Percayalah padaku, kau akan semakin menyesal bila membuang kendali atas nasibmu. Aku akan membantumu."
Yahiko mengusap wajahnya kasar. Semua kata-kata Sakura terdengar masuk akal. Tawaran bantuannya begitu menggoda. Namun, bisakah ia keluar dari kubangan kegelapan yang selama ini menyelimutinya? Yahiko tak bisa berpikir jernih. "Bagiamana kau akan membantuku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Amegakure
FanfictionHaruno Sakura melarikan diri di hari pernikahannya. Itulah alasannya terdampar di Amegakure, sebuah kota hujan yang terpencil. Dalam pelariannya ia berhasil menyelamatkan hidup seseorang. Sakura tak menyukai hujan, tapi ia terjebak di Ame. Sebagaima...