Bab 10 : Pengertian

128 15 5
                                    

Sakura meringis kala menatap bekas luka yang telah mengering di sudut bibir Sasuke. "Maaf, itu hanya untuk memanas-manasi Karin. Tak seharusnya aku melibatkanmu." Ia kembali merasa bersalah.

"Hn." Sasuke mengangguk. Binar matanya menyusut. Ia tak tahu mengapa ia merasa sedikit kecewa atas pengakuan Sakura. "Lagi pula gadis ini sudah punya pacar!"

"Jadi, apa yang kakekmu inginkan kali ini?" Sakura tak ingin berbasa-basi.

Sasuke mendesah, "Berbicara denganmu."

Sakura mendengus, bukan itu maksudnya. Yang ia inginkan adalah mengetahui apa tujuannya, tetapi ia terlalu malas untuk berdebat. "Baiklah." Sakura hanya ingin pengganggunya segera pergi karena sejujurnya ia merasa kesal karena ketenangannya terusik.

Sasuke mengetuk simbol telepon pada kontak Madara di ponselnya lalu menyalakan pengeras suara.

"Apa kau sudah menemukannya?" Madara berujar cepat.

"Ya, Sakura bersamaku," jawab Sasuke datar.

"Sakura," sang kakek mulai memanggil.

"Aku di sini," balasnya. Sakura melihat lebih lama pada foto profil Madara yang menampilkan sekelompok bunga dengan kelopak putih berbentuk hati. Itu bunga primrose. Bunga gurun kesukaan neneknya.

"Sakura cucuku, apa kau memang benar-benar tak menginginkan Sasuke untuk menjadi suamimu? Tidak bisakah kau melihat satu pun kelebihan yang ada pada dirinya? Tampan, mapan, dan murah hati," Madara mendesah, "Kebahagiaanmu akan terjamin, Sayangku."

Sakura tersedak air liurnya, sedangkan Sasuke meringis malu. Laki-laki itu merasa sedang dijajakan seperti ikan di pasar. "Kakek!" tegurnya. Namun, Madara merasa tak perlu repot-repot untuk menanggapi teguran Sasuke.

"Sakura, aku tahu kau merasa tak nyaman dengan caraku ini. Namun, dapat kupastikan kalau itu akan membawa kebaikan untukmu, Nak." Madara memelankan suaranya, "Kau tahu, aku sangat ingin melihat pernikahan di antara kedua keluarga ini sebelum aku bertemu dengan Chiyo lagi."

"Tapi kurasa aku bukan kandidat yang sesuai, Pak." Sakura menyelesaikan kalimatnya dalam satu tarikan napas. Ia gugup. Suara Madara terdengar sangat berkelas. Seperti telenovela berlatar zaman kerajaan, sedangkan ia hanya upik abu.

Sasuke memperhatikan bagaimana gadis itu menggigit bibirnya dengan hati-hati. Jelas merasa takut bila salah bicara. Saat ini, Sakura berdiri sangat dekat dengannya. Gadis itu lebih pendek beberapa jengkal. Membuatnya berhadapan dengan surai merah muda yang menguarkan aroma manis.

"Tidak. Kau lebih dari sesuai, Sakura," sanggah Madara. Suaranya terdengar putus asa sekarang, "Atau kau bisa memilih siapa pun dari keluargaku. Itachi, kakak Sasuke, seorang pemain baseball terkenal. Shisui, sepupu Sasuke, seorang sersan di korps marinir."

"Kakek!" Sasuke menegurnya lebih keras. Rahangnya mengeras. Genggaman pada ponselnya menguat. "Apa kau seorang makelar? Kita bukan benda mati yang bisa diperdagangkan!"

"Diamlah, Sasuke! Aku hanya ingin mendengar jawaban Sakura." Lagi-lagi Madara hanya menganggap komentar Sasuke sebagai angin lalu.

Sakura memijit pelipisnya, "Uh, tidak. Bukan itu yang kuinginkan." Ia merasa perlu untuk mengungkapkan keinginanya, "Aku ingin kendali penuh atas hidupku. Aku ingin menemukan jalanku sendiri sealami mungkin. Meski itu berarti harus menginjak beberapa duri lebih dulu." Ia mengakhiri kalimatnya dengan menyetujui pendapat laki-laki di sampingnya, "Sasuke benar, kami bukan benda mati, Pak."

"Apakah ini final?"

"Ya," Sakura menjaga suaranya sesopan mungkin.

Dari seberang telepon terdengar suara gebrakan meja disusul suara desahan setelahnya. "Baiklah."

AmegakureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang