Bab 1 : Hujan yang Tak Pernah Reda

372 33 5
                                    

Bandar Udara Amegakure tampak sepi di malam hari. Rintik hujan turun membasahi jalanan. Seorang gadis dengan topi baseball termenung di ujung pintu keluar. Ekspresinya datar. Gadis itu menarik koper merah mudanya menembus hujan.

Ia mengetatkan rahangnya saat tetesan air hujan jatuh mengenai tubuhnya. Dingin perlahan merambat melalui ujung saraf di kulitnya. Haruno Sakura benar-benar membenci hujan. Namun, nasib sial membawanya ke kota ini. Amegakure, sang kota hujan dengan danau besar yang mengelilingi kota.

Ia lari dari pernikahan yang dijanjikan, yang bahkan bukan atas namanya. Semua ini gara-gara sang sepupu yang kabur dengan kekasihnya. Menjatuhkan beban bernama tanggung jawab ke arahnya.

Gadis itu melambai pada taksi yang melaju dari kejauhan. Taksi itu berhenti di sampingnya. Sakura membuka pintu mobil dan masuk.

Suara lonceng terdengar nyaring ketika mereka melewati jalan besar di pinggir danau. Sakura melihat ke luar jendela. Tampak orang-orang berpakaian putih yang tengah duduk melingkar.

Sang sopir taksi mengintip dari kaca spion dalam mobil. Berinisiatif menjelaskan pemandangan yang membuat dahi penumpangnya mengernyit heran. "Orang-orang itu sedang melakukan pembersihan jiwa sebelum menenggelamkan diri di danau. Banyak orang percaya kalau Danau Ame adalah pintu menuju Nirwana."

Sakura mengangkat alis, "Orang bodoh mana yang masih percaya pada dongeng seperti itu di zaman modern ini?" sindirnya.

Sang sopir terkekeh, "Setiap orang punya lukanya sendiri hingga membutuhkan sebuah pelampiasan, Nona. Keyakinan akan adanya jalan lain yang lebih baik sangat diperlukan." Sakura mengangguk dalam diam. 

Taksi itu berhenti di sebuah gang. Sakura membayar dan turun dari mobil. Menyeret kopernya memasuki gang yang lebih sempit. Ia melangkahkan kakinya memasuki sebuah motel yang sudah ia pesan lewat aplikasi di ponselnya.

'Motel Teratai'

"Selamat datang, aku Shizune," seorang resepsionis menyambutnya dengan ramah. "Ini kuncimu," ia menyerahkan sebuah kunci dengan gantungan berbentuk kelopak teratai bernomor 21. "Lantai 3 di pojok kanan. Lewat sini," perempuan itu menunjuk tangga di samping meja resepsionis.

Sakura mengangguk, "Terima kasih."

Shizune tersenyum, "Sama-sama. Beri tahu aku kalau butuh sesuatu. Selamat menikmati liburanmu!"

"Ya," Sakura mengangguk canggung. "Liburan? Lebih tepat disebut sebuah pelarian," ucapnya dalam hati. Sakura menaiki tangga kayu menuju kamarnya.

***

"Apa dia melarikan diri?"

Laki-laki berjas hitam itu mengangguk. Menyesap kopinya dan melihat ke arah jendela.

"Kau tak mengejarnya?"

"Apa yang harus kukejar? Kami bahkan tak saling kenal. Tradisi bodoh ini seharusnya dihapus sedari dulu," ia menyilangkan kakinya.

"Makanya, carilah pacar agar si tua bangka itu tak memaksakan perjodohan. Aku yakin tak ada yang bisa menolak pesonamu," sang sahabat menasihatinya.

Laki-laki itu mendesah.

***

Sakura merebahkan tubuhnya di kasur. Menatap langit-langit kamar barunya. Gadis itu menghidupkan ponsel lalu mematikannya. Berulang kali melakukan hal yang sama. Ia merasa ragu untuk membuka pesan atau tidak.

Berbagai kemungkinan buruk menyerang pikirannya. Ia tak yakin apakah semua orang yang dikenalnya tengah panik dan berusaha mencarinya. Ataukah mereka membiarkannya pergi tanpa kekhawatiran. Kedua kemungkinan itu sama-sama menyakitkan. Jika mereka menemukannya, ia akan kembali dipaksa untuk mengenakan gaun pengantin. Namun, jika mereka mengabaikannya, ia akan menjadi sebatang kara. Dan ia belum siap untuk itu.

Sakura melemparkan ponselnya ke kasur. Pikirannya kacau. Satu bulan yang lalu, sebuah keluarga kaya mendatangi keluarganya. Menagih pernikahan yang dijanjikan oleh neneknya yang telah meninggal. Haruno Karinlah yang dijodohkan. 

Dua hari sebelum pernikahan, Karin mengumumkan pada semua orang kalau ia tengah mengandung dan akhirnya ia melarikan diri dengan kekasihnya. Sakura dipilih untuk menggantikannya di detik-detik terakhir. Tentu saja mereka tak bisa membatalkan pernikahan yang telah disiapkan dengan matang. Reputasi kedua keluarga dipertaruhkan di sini. Namun, apa boleh buat. Sakura benci dikendalikan. Keputusannya sudah bulat, jika Karin bisa melarikan diri lantas ia juga bisa.

Sore tadi seharusnya ada pernikahan yang dilangsungkan di Gereja Konoha. Malamnya sebuah resepsi mewah menanti. Seluruh keluarganya akan senang. Ia bisa membayangkan senyum palsunya yang menjijikkan dengan lengannya yang mengapit lengan seorang pria asing. Sakura memejamkan mata, mencoba tertidur meski ia tak mengantuk.

"Kau sudah melakukan hal yang benar, Sakura."

***

Pain Yahiko menengadahkan kepalanya menghadap arah datangnya hujan. Pakaian putihnya berkibar tertiup angin. Pemimpin upacara terus membunyikan lonceng dan membacakan mantra.

"Aku menyukai hujan," batinnya.

Hidupnya tak pernah terasa menyenangkan. Semua orang yang ia sayangi, meninggalkannya dengan tragis. Kedua orang tuanya mati dalam kecelakaan lima belas tahun silam. Lalu ia diadopsi oleh pamannya yang kaya sebagai anak pancingan. Setelah bibinya mengandung, mereka bangkrut. Pamannya ketahuan berselingkuh dan ia selalu menjadi pihak yang disalahkan atas kemalangan yang menimpa keluarga itu. Suatu malam, sang bibi membakar rumah mereka. Hanya ia yang selamat. Tumpukan hutang pun terwariskan kepadanya.

"Dasar, anak pembawa sial!" makian sang bibi masih terngiang hingga kini.

Ia benar-benar sudah lelah. Menyerah dengan hidupnya di dunia yang menyedihkan. Yahiko tersenyum miris kala mengingat tatapan tak suka dari orang-orang di sekitarnya. Penampilan lusuhnya memang tak sedap dipandang. Namun, apa? Seberapa keras ia bekerja, ia tak pernah menikmati hasilnya. Lembaran uang kertas itu sekejap menghilang. Kini, semua hutangnya telah terlunasi. Membuatnya siap meninggalkan dunia tanpa beban.

***

Uchiha Madara tak pernah menyesali keputusannya untuk menjodohkan cucunya. Ia menyadari kematiannya semakin dekat. Semakin hari, napasnya semakin berat. Hanya satu yang ia inginkan, menepati janjinya pada sang cinta pertama. Menyatukan keluarga mereka dalam ikatan suci pernikahan.

"Calon istrimu ada di Ame," ia berbicara melalui telepon.

Orang di seberang telepon itu mendesah, "Lantas?"

"Menikahlah dengannya," nadanya tegas.

"Oh ayolah, Kakek! Apa aku harus memohon agar ia mau menikah denganku? Apa tak cukup melihatku dipermalukan di atas altar?"

"Bila perlu bersujudlah di kakinya," Madara menutup teleponnya sepihak.

"Brengsek!"

***

Semburat jingga yang samar terlihat semakin terang. Fajar akan segera terbit. Hujan masih tetap turun. Sakura mengeratkan pegangannya pada gagang payungnya saat angin bertiup agak kencang. Saat ini, ia berada di tepi danau. Danau ini terletak hanya beberapa meter dari motelnya.

Sakura menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Udara di sini masih sangat segar. Melihat gelombang air yang bergerak membuat hatinya sedikit tenang.

'Byur'

Sakura mencari sumber suara. Ia membelalakkan matanya saat melihat sekilas kaki seseorang yang telah melompat ke danau. Setahunya danau alami Amegakure memiliki dasar yang sangat dalam. Ia tak bisa membiarkan seseorang mati di depannya. Sakura melempar payungnya. Segera berlari untuk menyelamatkan orang itu. Gadis itu berenang hingga ke tengah, menggapai seorang pria bersurai jingga dengan pakaian putih.

Yahiko melihat samar sosok perempuan yang tengah menyelam mendekat ke arahnya sebelum kehilangan kesadaran karena kehabisan napas, "Malaikatnya cantik sekali."

***

- bersambung -

AmegakureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang