[4] Tenda Putih

61 15 0
                                    

Dibawah naungan tenda kesehatan, di mana udara malam mengalir lembut dan bintang-bintang berkedip di langit, ruangan itu berubah menjadi santuari kecil bagi Nesra, Megumi, dan Kalana. Nesra, dengan sikapnya yang lembut dan penuh pengertian, menggenggam tangan Kalana, menawarkan kekuatan tanpa mengucap banyak kata. Megumi, sumber kebahagiaan yang tak pernah kering, berusaha mencerahkan suasana dengan semangatnya yang tak terpadamkan.

Kalana bangun dari tempatnya, mencoba bangun dari papan datar yang entah sejak kapan ia tiduri.

“Mau kemana, Kal? Lo baru siuman,” tanya Nesra dengan penuh kekhawatiran, sambil membantu gadis itu.

“Siapa yang bawa aku ke sini?” tanyanya perlahan.

“Jingga,” sahut Megumi, yang dari kejauhan telah mengawasi kedua temannya dengan penuh perhatian. Dia mendekat, “Dia tadi teriak-teriak nyari divisi kesehatan buat bawa lo, tapi gak ada yang nyamperin. Akhirnya dia yang bawa lo sendiri ke sini.”

“Terus dia di mana sekarang? Game nya?”

“Gak usah dipikirin ya, yang penting lo udah lebih baik sekarang.”

Pada momen tersebut, tirai tenda perlahan terbuka, mengungkapkan sosok lelaki dengan tatapan tajam, seakan sedang menhan luapan dalam dadanya. Dia, Damar Kalingga, kakak dari Kalana.

“Lo selalu begini, dek. Mau sampe kapan sih? Kalau mau jemput ajal, gak usah ngerepotin gua segala.”

Nesra dan Megumi terdiam, merasakan berat kata-kata yang terucap dari bibir Damar, serasa luka yang ditaburkan garam.

Kalana mulai beranjak dan menuruti perkataan kakaknya. “Gak usah izin, gua udah bilang ke kating lo. Lagian gua buru-buru, ada meeting nanti pagi”

Tanpa banyak kata, Kalana mengikuti, meninggalkan ruangan itu dengan langkah yang berat.

Dari luar, langkah seorang pria mendekat, hatinya berat ingin melihat kondisi gadis yang semalam menggenggam tangannya dengan erat. Jingga, dengan hati-hati membuka tenda, namun tidak menemukan sosok yang dicarinya.

“Kalana mana?” tanya Jingga pada Nesra dan Megumi.

Cabut, tadi dijemput kakaknya,” jawab Nesra, sebelum kedua gadis itu meninggalkan Jingga yang terdiam sendirian.

“Gila ya, gua kalau punya kakak kayak kakaknya Kala bakal stress tiap hari di rumah. Bisa-bisanya adiknya baru siuman malah dimarahin,” gumam Megumi, yang masih didengar oleh Jingga.

Kala dimarahin? Kenapa?, Jingga bertanya dalam hati, namun ia memilih untuk tidak terlalu mencampuri.

ting.

Sebuah notifikasi dari handphone miliknya muncul, berisi pesan dari seseorang.

Dari Kala, gadis yang saat ini menghuni pikirannya, pesan itu berisi kata-kata yang teranyam apik berisi permintaan maaf karena belum bisa menyampaikan terima kasih secara langsung atas segala bantuan yang telah Jingga berikan.

Di situ, di antara baris-baris pesan yang sedang ia baca, ia merasakan berat dalam setiap kata nya.

SWASTAMITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang