[5] Into You

70 13 1
                                    

Setelah insiden di pantai beberapa hari yang lalu, Kalana pelan-pelan kembali ke rutinitasnya, menapak ke kampus dengan semangat yang baru. Meski fisiknya terlihat pulih, bayang-bayang kenangan itu masih melekat erat di benaknya, sebuah bayang yang tak pernah benar-benar hilang, menyisakan bekas yang mendalam.

Pada suatu pagi, di sudut yang tersembunyi di balik dinding gedung tua kampus, gelak tawa meriah terdengar memecah kesunyian. Itu adalah suara dari Jingga dan teman-temannya, yang tengah menikmati simpul persahabatan dalam tawa dan lelucon yang mereka ciptakan. Di antara kegembiraan itu, sosok Kalana muncul, menarik perhatian mereka.

“Eh, Kalana gak sih itu?” Dito, dengan rasa ingin tahu, menyapa pertama kali.

Hey, Kal. Nyari siapa?” tanya Dito, penasaran.

Dengan nada bercanda, Kalana menjawab, “Cowok ganteng,” membuat semua orang di situ bingung, namun sebenarnya mereka merasa salah tingkah.

“Waduh, pasti gue, kan?” Rama, dengan penuh percaya diri, mendekat ke arah Kalana, merespons dengan percaya diri saat mendengar kata ‘ganteng’.

Namun, Kalana segera berkata, “Rama ganteng sih, tapi aku nyari Jingga,” yang membuat seluruh kelompok tersebut bersorak, dan Jingga, yang namanya disebut, merona karena malu.

Meninggalkan keriuhan teman-temannya, Jingga berjalan mendekati Kalana. Mereka berdua mulai menjauh dari kerumunan, menuju ke tempat yang lebih tenang untuk bisa berbicara.

Dari kejauhan, teman-teman mereka masih bisa terdengar, “Jadian aja gak sih?” Gewa berteriak, membuat Jingga menghentikan langkahnya sejenak, memberikan tatapan kesal pada Gewa.

“Diem, Gewa anjir,”

Ya, seperti biasa. Seperti itulah Jingga dan Gewa. Kalana hanya menengok ke belakang, menahan senyumannya.

“Kenapa?” tanya Jingga singkat, membuka obrolan diantara keduanya.

“Makasih banget soal beberapa hari lalu. Aku denger dari Megumi, katanya kamu yang bawa aku ke tenda.”

“Oh, iya, emang gak becus aja itu divisi kesehatan.” jawabnya, nada suaranya terdengar agak sedikit kesal.

Kalana menahan tawanya. Jujur, baru kali ini dia merasa aneh, pertama kali baginya merasa lucu ketika melihat seseorang kesal.

“Kal, gue denger katanya lo dimarahin kakak lo pas itu,” ucap Jingga. “Boleh tau gak kenapa?”

Kalana, merasa berat untuk menjawab, memilih untuk terdiam, membuat Jingga merasa mungkin telah menyinggung perasaannya.

Sorry ya kalau pertanyaan gue tadi sensitif.” ucapnya.

“Gak usah dijawab, gapapa, I just wanna make sure you're okay.” lanjutnya, sambil mengusap pundak Kala dan memberikan senyuman teduh padanya.

Kalana membalas senyuman itu, merasakan kehangatan dari Jingga. Hatinya berdebar, sebuah perasaan nyaman yang baru ia rasakan.

“Apa sih, kenapa liatin gue gitu?” tanya Jingga sambil memukul pelan pipi Kalana, mencairkan suasana yang sejenak menjadi serius.

Mereka tertawa bersama, menikmati kehangatan dan keceriaan yang kembali mengalir di antara mereka.

Lelaki itu salah tingkah lagi.

Lucu banget, gumam Kalana dalam hati.

“Makasih ya,”

“Iyaa, Kalana Azura. Yuk, ke kelas,”

Di bawah langit yang tersenyum cerah, seakan memberi restu pada setiap langkah yang diambil, Kalana dan Jingga melangkah menuju kelas setelah momen hangat mereka di belakang gedung. Sinar matahari pagi yang lembut menerpa wajah mereka, menambah kilau pada mata yang telah banyak berbagi tawa. Langkah mereka tidak terburu, seolah setiap detik bersama adalah kenangan yang ingin disimpan rapat-rapat dalam memori.

Sesekali, angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma bumi yang telah dipanaskan hangatnya mentari, menggugah indra dan menambah kedamaian di hati. Di sela percakapan ringan, tawa mereka sesekali terdengar, melodi indah yang menyatu dengan harmoni pagi.

Perjalanan menuju kelas menjadi lebih dari sekedar berpindah dari satu tempat ke tempat lain; itu adalah perjalanan menelusuri jalan-jalan keintiman yang baru saja mereka temukan. Setiap langkah yang mereka ambil bersama, di bawah langit yang hangat dan matahari yang bersinar, adalah penanda akan awal dari sesuatu yang indah dan tak terlupakan dalam lembaran hidup mereka.

SWASTAMITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang