Suasana tahun 2010 yang hangat begitu kental terasa di udara, di sebuah rumah kecil yang dipenuhi dengan riuh rendah keceriaan. Di sana, Ayah dan Ibu sibuk menyiapkan barang-barang untuk perjalanan liburan yang dinanti-nantikan. Damar dan Kalana, anak kecil yang penuh dengan kegembiraan, melompat-lompat di sekitar rumah, mengisi setiap sudut dengan tawa dan canda yang bersemangat.
Di tengah hiruk pikuk persiapan, terdengar musik dari radio lawas yang memainkan lagu-lagu hits tahun itu, mengiringi langkah-langkah mereka yang bersemangat. Bunyi gemerincing peralatan berlibur, campuran aroma makanan ringan dan minuman segar, semuanya menambahkan kehangatan pada momen ini.
Ayah, dengan senyum yang hangat, memanggil mereka semua untuk berkumpul. "Waktunya berangkat, anak-anak!" serunya dengan penuh semangat, membuat hati mereka berdebar-debar tak sabar. Mereka segera berhamburan ke mobil, membawa ransel penuh harapan dan impian.
Di dalam mobil, suasana tetap seru. Damar dan Kalana saling berbisik, bercanda dan tertawa, membagikan kegembiraan mereka atas liburan yang akan datang. Ayah dan Ibu, dengan mata berbinar penuh harapan, tersenyum melihat keceriaan anak-anak mereka yang tak terbendung.
"Ayah, orca di hotel dibawa gak?" tanya Damar, bocah berusia 10 tahun itu menatap ayahnya penuh harap.
"Maaf, sayang, ayah lupa" jawabnya sambil menatap Damar dari kaca spion, terlihat anak sulungnya itu cemberut mendengar jawaban ayahnya. Bibirnya ia majukan, sambil melipat kedua tangan diantara dadanya.
Kalana, yang saat itu berusia 4 tahun lebih muda dari kakaknya -Damar, meniru tingkah kakaknya tersey. Ia ikut cemberut, padahal tak paham kenapa kakaknya seperti itu.
"Anak kita gemas ya sayang," gumam ibu lembut, sambil mengusap tangan kiri ayah. Keduanya tersenyum.
Sesampainya di sebuah pantai, Bali. Mereka disambut langit biru yang jernih, terhias dengan awan putih yang lembut seperti kapas. Sinar matahari menyinari pantai-pantai berpasir putih, memantulkan kilauan yang memikat di permukaan air laut yang biru. Sepanjang pantai, terdapat hamparan hutan hijau yang rimbun, menambahkan kecantikan alami pulau ini. Aroma segar dari dedaunan dan bunga-bunga yang bermekaran menari di udara, menghanyutkan siapapun yang merasakannya ke dalam alam yang magis.
Keluarga kecil berbahagia itu melangkah di atas pasir putih pantai Bali. Ayah, Ibu, Damar, dan Kalana, masing-masing menikmati momen liburan mereka dengan caranya sendiri. Ayah dan Ibu tengah mengobrol asyik sambil berfoto.
"Damar, Kalana, sini, foto dulu!" seru Ibu, sambil memanggil anak-anak nya yang sangat aktif itu.
Damar, si sulung yang penuh semangat, berlarian ke sana ke mari di antara gundukan pasir, sambil mengejar burung camar yang melintas di langit biru.
Mendengar namanya dipanggil, Damar segera menghampiri kedua orangtuanya.
Sementara itu, Si bungsu -Kalana, dengan langkah yang tenang dan penuh pesona, berjalan ke tepi pantai yang sepi. Hati kecilnya dipenuhi oleh keindahan panorama laut yang luas, sementara ombak yang tenang berbisik lembut, memanggil namanya. Dengan rasa ingin tahu, ia berjalan mendekati garis pantai, mengamati dengan penuh kekaguman bagaimana ombak menari-nari di atas pasir, meninggalkan jejak-jejak yang indah.
Di antara gemerlap air dan aroma garam, Kalana, terpaku di hadapan gelombang laut dan bermain sendirian di tepi pantai yang berpasir putih. Gadis kecil berusia enam tahun itu, berdiri dengan penuh kekaguman, matanya terbelalak memandangi ombak yang menggulung-gulung di kejauhan. Pasir putih hangat di bawah kakinya, bergerak-gerak lembut seperti menyambutnya ke dunia yang penuh misteri.
Setiap kali ombak membentur pantai, dia merasakan getaran dalam dirinya yang menggetarkan, merasakan kekuatan alam yang menghadirkan kedamaian dan kebesaran yang tak tergantikan.
"Jangan jauh-jauh, sayang," ucap Ibu, sedikit berteriak. Damar yang aktifitasnya sempat terhenti tadi tak menggubris, dia kembali berlarian menyusuri pantai, sementara Kalana masih terpaku melihat lautan tanpa mendengar sahutan ibunya dari kejauhan sedari tadi.
Melihat samudera yang luas dan tak terbatas, Kalana merasakan dirinya menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri. Dia berdiri di tepi pantai, tak tergoyahkan oleh angin laut yang sepoi-sepoi, membiarkan dirinya tenggelam dalam keindahan yang begitu sederhana namun begitu mempesona.
Gelombang-gelombang bergulir dengan gemerlapan kebiruan di bawah cahaya matahari yang memudar saat senja tiba. Di tepi pantai, langit menyingsingkan kerudungnya dan melukis lautan dengan warna oranye yang lembut.
Namun, suatu ketika, kegembiraan itu terhenti ketika sebuah gelombang besar muncul, menggulung dan menyeret Kalana ke dalam lautan yang mendalam, mengejutkan Kalana yang bermain tak jauh dari tepi pantai. Teriakan kalut segera menggema, memecah keheningan pantai. Kalana berusaha keras meminta pertolongan kepada kedua orangtuanya yang berada di pinggiran pantai.
"Ibu.. Ayah.. Tolong," serunya, suaranya terbawa oleh angin dan terhanyut oleh deru ombak yang bergemuruh.
Teriakan panik mencuat dari bibirnya saat ia berjuang untuk menghadapi kekuatan air yang menguasainya.
Melihat kejadian itu, ibu Kalana segera melompat ke dalam ombak tanpa ragu, memburu untuk menyelamatkan anaknya. Teriakan panik memecah kesunyian saat ibu Kalana, yang tak pandai berenang, berjuang untuk menyelamatkannya. Tanpa ragu, dia melompat ke dalam air, berusaha keras menjangkau putrinya yang terseret oleh kekuatan air.
Namun, kenyataan pahit segera muncul saat ibu menyadari bahwa dia sendiri tak bisa menyelamatkan dirinya, apalagi anaknya. Dalam detik-detik genting itu, ibu mengerti bahwa dia harus membuat pilihan yang sulit.
Ayah segera menyusul menerjang ombak, mencoba menolong kedua orang tersayang yang tengah berjuang.
"Tolong, pegang Kalana, mas" ucap ibu lirih, tak bertenaga lagi.
Ayah, dengan hati yang berat, berusaha keras untuk menjangkau keduanya. Namun, ibu menggenggam tangannya dengan erat, matanya penuh dengan keputusasaan yang dalam.
"Selamatkan saja anak kita," serunya, suaranya terbawa oleh hembusan angin dan getaran ombak yang menyeramkan.
Dengan penuh keberanian, ayah Kalana berjuang melawan arus laut yang ganas, mencoba menjangkau Kalana yang terseret oleh gelombang. Sementara itu, ibu, dengan tangisan yang hancur, merelakan dirinya tenggelam di dalam lautan, membiarkan dirinya menyatu dengan alam yang mengambang.
Damar menyaksikan kejadian itu sendirian, dari kejauhan. Langkah kecilnya terhenti sejak ia mendengar teriakan dari ibu dan adiknya yang tergulung ombak. Dia terduduk, dengan hati yang hancur di pinggiran pantai. Matanya yang masih penuh dengan adegan tragis yang baru saja terjadi, mencerminkan kesedihan yang mendalam.
Ibunya, sosok yang selalu hadir dengan senyumannya yang lembut dan cinta yang tak terukur, kini telah tiada, menyatu dengan lautan yang luas. Damar merasa dirinya tenggelam dalam gelombang kehilangan yang dalam, terpukul oleh ketiadaan ibunya yang tiba-tiba.
Namun, di balik kesedihan itu, tersembunyi rasa amarah yang membara dalam dirinya. Damar merasa terhimpit oleh beban emosinya sendiri, dan tanpa sadar, pandangannya tertuju pada adiknya yang tak berdosa. Dia merasa marah dan kecewa, menyalahkan adiknya atas kepergian ibu mereka.
Dalam kegelapan hatinya yang kacau, Damar merasa seperti semua penderitaan ini adalah karena adiknya. Dalam keadaan penuh dengan amarah, dia mendekati adiknya yang tak bersalah, mendorongnya dengan keras, memaksa adiknya merasakan sebagian dari rasa sakit yang dirasakannya.
"KAMU NGEBUNUH IBU KITA!" ucapnya, dengan nada berteriak saat Kalana berhasil diselamatkan oleh ayah mereka, yang membuat gadis kecil itu tersungkur ke pasir.
Melihat itu, Ayah segera memeluk anak sulungnya tersebut. Mencoba menenangkannya dalam pelukan hangat, meskipun membutuhkan beberapa waktu.
Pasca kejadian itu, dalam pandangan Damar, Kalana adalah sosok yang telah merenggut nyawa ibu mereka, memporak-porandakan kehidupan mereka, dan menjadikan setiap hari sebagai cobaan yang tak kunjung usai. Damar merasa dendam yang membara memenuhi setiap serat jiwanya, membuatnya terjebak dalam belenggu kebencian yang tak terlukis dalam kata-kata.
Aku bukan pembunuh, kak. gumam Kalana dalam hatinya, sambil menangis sendiri melihat kakaknya bersedih di pelukan ayah mereka.
Gadis itu terus terisak, sambil memeluk kedua lututnya. Mencoba melihat ke arah lautan luas, berperangai kesedihan yang menenggelamkan dunianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWASTAMITA
FanfictionDalam perjalanan kisah "Kalana dan Jingga", kita dihadapkan pada dua jiwa yang saling berpaut, namun dipisahkan oleh luka masa lalu yang mendalam. Kalana, gadis yang terpukul oleh trauma yang tersembunyi di balik gemulai senyumnya, dan Jingga, lelak...