Di pagi yang cerah, saat matahari baru saja menyelinap di balik cakrawala, Kalana terbangun dengan perlahan. Suara alarm dari ponselnya terdengar lembut, membangunkannya dari mimpi indah yang membawa ketenangan. Gadis itu menguap, masih setengah tertidur, membiarkan tubuhnya tetap terbalut dalam selimut hangat yang melindunginya dari udara pagi yang sejuk.
Namun, sayup-sayup terdengar suara dari dapur. Damar, kakaknya, terdengar sibuk menyiapkan sarapan, dan suaranya menggema di seluruh rumah, penuh semangat pagi.
"Kal, bangun!" teriak Damar, mencoba membangunkan adiknya dari dapur.
Kalana menggeliat malas di tempat tidurnya, menarik selimut lebih erat, berusaha menikmati beberapa menit terakhir dari kenyamanan tempat tidur. Tetapi, suara langkah kaki di luar pintu kamarnya membuatnya tersadar dari keengganannya untuk bangun. Ketukan lembut di pintu diiringi oleh suara ayahnya yang penuh kehangatan dan kelembutan.
"Kalana, ayo bangun. Bantu kakak di dapur," ucap ayahnya dengan suara lembut, namun cukup tegas untuk membuat Kalana segera bangkit.
Kalana menghela napas panjang, merasakan sisa-sisa kantuk masih menggantung di kelopak matanya. Ia perlahan bangkit dari tempat tidur, merapikan rambutnya yang kusut, dan menyingkap tirai jendela kamarnya.
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk, menerangi ruangan dengan sinarnya yang hangat dan lembut.
Sambil menggeliat dan mengumpulkan semangat, Kalana berjalan menuju dapur. Aroma sarapan yang menguar membuatnya merasa lebih terjaga dan lapar. Di dapur, Damar sibuk membuat beberapa porsi nasi goreng dengan telur.
"Butuh bantuan gak, kak?" ucap Kalana, jahil.
"Menurut lo?! Bantu beresin meja tuh," jawab Damar dengan nada sedikit kesal
Kalana terkekeh dan segera membantu kakaknya merapikan meja makan, menyiapkan piring dan gelas, serta menyusun hidangan dengan rapi. Ayah mereka ikut bergabung, duduk di meja makan dengan senyum kebanggaan melihat anak-anaknya bekerja sama.
ting.
Layar ponsel menyala, menampilkan notifikasi dari Jingga, kekasihnya. Hatinya berdebar lembut saat membaca pesan-pesan dari Jingga yang penuh kehangatan dan canda.
Di balasannya, Kalana berusaha mempertahankan aura pagi yang santai. Kalana tak bisa menahan senyumnya.
Saat notifikasi di ponsel Kalana kembali berbunyi, gadis itu merasakan gelombang emosi yang campur aduk. Dengan hati yang setengah kesal dan setengah tertawa, ia membuka pesan dari Jingga. Dalam sekejap, suasana hatinya berubah—dari salah tingkah, cemberut menjadi geli sendiri, dari kesal menjadi hangat.
Ayah dan Damar sampai heran melihat tingkah gadis itu.
"Sarapan dulu, jangan hp terus kamu itu kal," tegur Ayah.
Kalana segera menutup ponselnya. Meskipun ia mencoba menahan senyum, sikapnya tetap terlihat kaku untuk 'stay cool'.
Gadis itu segera menghabiskan sarapan di piringnya.
"Aku siap-siap ke kampus dulu ya," ucapnya, sebelum akhirnya Kalana meninggalkan Ayah dan Damar yang masih heran dengan tingkah laku si bungsu itu.
Kalana melangkah ringan menuju kamarnya, bayang-bayang percakapan pagi itu bersama Jingga masih menghiasi benaknya. Dengan senyum yang belum juga pudar, ia membuka pintu kamar, menyambut kedamaian ruang pribadinya. Gadis itu melangkah menuju lemari pakaian, membiarkan jari-jarinya menyusuri deretan baju yang tergantung rapi. Ia memilih pakaian kasual yang dipadukan dengan kacamata sebagai aksesoris tambahan.
Setelah meletakkan pakaian di atas tempat tidur, Kalana menuju kamar mandi. Suara gemericik air dari shower menemani saat ia membersihkan diri, menghapus sisa-sisa kantuk dan menggantinya dengan kesegaran baru. Sambil memandikan tubuhnya, ia bersenandung kecil, lagu-lagu ceria yang mencerminkan perasaannya.
Selesai mandi, Kalana mengeringkan rambutnya yang panjang dan lembut. Ia memutuskan untuk membiarkan rambutnya terurai. Kalana melanjutkan bersiap-siap, mengenakan pakaian yang telah dipilihnya dan memoles sedikit riasan di wajahnya. Ia menatap cermin, sesekali juga ia melenggak-lenggok di depan benda itu.
Sempurna, pikirnya.
"Long distance relationship gak seburuk itu ternyata," pikir Kalana, menguatkan hatinya. Meski terpisah jarak, ia merasa dekat dengan Jingga. Kehangatan dan kasih sayang yang diberikan oleh kekasihnya itu, meski melalui layar ponsel, mampu membuat hatinya hangat dan penuh.
Kalana meraih tasnya, bersiap untuk berangkat ke kampus.
Sementara itu, di tengah perjalanan menuju Malang, Jingga duduk di dalam kereta yang menderu dengan kecepatan yang konstan. Pemandangan luar jendela berubah-ubah, seolah menggambarkan perasaan hatinya yang tak menentu. Suara gesekan roda kereta dengan rel menjadi latar belakang yang monoton, seiring dengan lamunan Jingga yang tak kunjung usai.
Di dalam kereta yang sesak namun sepi, pikirannya terus berputar. Bukan tentang obrolannya dengan Kalana, bukan tentang percakapan ringan yang selalu bisa membuatnya tersenyum. Ada sesuatu yang lain, lebih dalam, lebih mendasar, yang membuat hatinya merasa berat.
Kereta melaju dengan cepat, namun perasaan Jingga seolah tertinggal di belakang. Rasa sepi menyelimuti hatinya, seakan-akan jarak fisik antara mereka berdua adalah cerminan dari jarak emosional yang ia rasakan saat ini. Sesekali ia menatap kosong ke luar jendela, mencoba mencari ketenangan di antara pemandangan yang melintas.
Suara lembut namun tegas dari ibunya membuyarkan lamunan Jingga. "Kenapa?" tanya sang ibu, nada suaranya menunjukkan kekhawatiran. "wis jarene ora usah duwe pacar, dadi beban kan sekarang? (sudah dibilang, nggak usah punya pacar, jadi beban kan sekarang?)"
Kata-kata itu menusuk hati Jingga. Dengan napas yang tercekat dan mata yang berkaca-kaca, Jingga mengangkat kepalanya, menatap ibunya dengan tatapan yang tegas dan penuh emosi yang tertahan.
"Justru mama papa beban aku," jawab Jingga dengan lantang, suaranya bergetar namun tegas. Kata-kata itu mengalir keluar dengan cepat, seolah-olah telah lama terpendam dan baru sekarang menemukan jalannya.
Keheningan melingkupi mereka sejenak, seolah-olah dunia ikut berhenti sejenak. Jingga merasa dadanya sesak, bukan hanya karena kata-kata yang baru saja ia ucapkan, tetapi juga karena kenyataan yang dihadapinya. Rasa bersalah dan ketegangan menciptakan gumpalan emosi yang sulit diungkapkan. Ia tahu, kata-katanya mungkin melukai ibunya, tapi ia juga tahu bahwa perasaan yang ia rasakan saat ini terlalu berat untuk diabaikan.
Kereta terus melaju, mengantarkan Jingga menuju Malang. Namun di dalam hatinya, ada perjalanan lain yang sedang ia tempuh—perjalanan untuk memahami dirinya, untuk menemukan kekuatan di tengah badai.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWASTAMITA
FanfictionDalam perjalanan kisah "Kalana dan Jingga", kita dihadapkan pada dua jiwa yang saling berpaut, namun dipisahkan oleh luka masa lalu yang mendalam. Kalana, gadis yang terpukul oleh trauma yang tersembunyi di balik gemulai senyumnya, dan Jingga, lelak...