[3] Malam Akrab

67 11 0
                                    

Di bawah taburan bintang yang gemerlap, garis pantai yang lembut menjadi saksi bisu malam keakraban angkatan yang meriah. Suara deburan ombak yang lembut, semilir angin malam yang membawa kehangatan, dan sorak sorai teman-teman seangkatan membentuk simfoni alam yang menenangkan. Namun, di tengah keramaian itu, ada Kalana yang terlihat tenang, hampir terlalu diam, seolah-olah pikirannya melayang jauh menembus kegelapan langit malam.

"Kal, kenapa?", Nesra yang menyadari temannya termenung, menegurnya sedikit. Kalana hanya tersenyum tipis menanggapinya.

Dalam lipatan kenangan yang tersembunyi, pantai menyimpan cerita pahit bagi Kalana. Ombak yang menghempas pasir seakan membawa kembali bayang-bayang hari yang suram, saat ombak tak hanya merenggut kebahagiaan tapi juga meninggalkan luka yang mendalam dalam benaknya. Pantai, bagi sebagian orang mungkin adalah lukisan alam yang menenangkan, namun bagi Kalana, itu adalah kanvas yang menggambarkan trauma; suara ombak yang bagi orang lain merdu, bagi dirinya adalah gema kenangan yang menyakitkan.

"SEMUANYA KUMPUL DULU DI PINGGIR PANTAI ITU!", teriak salah satu kakak tingkat.

"Jadi, kalian bakal terbagi beberapa kelompok. Setiap kelompok harus saling gandeng tangan buat pertahanin anggotanya, kalau anggota kelompok lain berhasil melepas salah satu anggota kalian, maka kalian kalah"

Salah seorang kakak tingkat membawa selembar kertas, ia mulai memanggil satu per satu nama dalam daftar. "Jingga, Kalana, Nesra, dan Dito," ucapnya, memberi tanda bahwa mereka akan menjadi satu tim dalam permainan.

Nesra menatap Kalana cemas. Dia sudah mempunyai feeling kalau temannya tidak baik-baik saja.

Di tepian lautan yang luas, dimana ombak berbisik lembut pada pasir, Kalana berdiri ragu, memandangi jemari kakinya yang hampir menyentuh air. Hati kecilnya berkecamuk, terombang-ambing antara ketakutan dan keinginan untuk melampaui batas-batas yang telah lama membelenggunya.

Dinginnya tangan Kalana, bukan karena angin laut, melainkan karena gugup yang merajalela dalam dada. Setiap napas yang dihela, Kalana berusaha keras untuk menyingkirkan memori pahit yang terus berusaha menerkam. Ketika kakinya tenggelam dalam belaian air, perasaan takut berusaha memuncak, mengancam akan menenggelamkannya dalam lautan kesedihan.

Namun, bukan hanya Nesra yang sadar kalau Kalana tidak baik-baik saja. Jingga yang saat itu tepat berada di sisi Kalana, yang menggenggam tangan gadis itu menyadari bahwa genggaman gadis itu semakin erat padanya. Bukan hanya itu, tangannya pun semakin dingin. Jingga menoleh ke arah Kalana, membaca ekspresi gadis itu yang terlihat tidak nyaman.

"You okay, Kal?" ucapnya perlahan. Kalana bergeming dan semakin mengeratkan genggamannya.

"I can't do it." gumam gadis itu sedikit lirih.

Saat kelompok lain menyerang, pada saat itu juga Kalana melemah. Gadis itu tidak bisa mengontrol ketakutannya. Ketakutan itu bukan sekedar rasa takut yang dangkal; itu adalah terowongan gelap yang menelan cahaya, menelan keberanian yang mungkin sempat ia kumpulkan. Dalam detik-detik yang menentukan, saat air mata hendak menjadi saksi atas kekalahan dirinya terhadap luka-luka lama, Kalana merasakan dirinya terjebak di tepi jurang, di mana satu langkah ke belakang berarti kekalahan.

Kenyataannya, Kalana membiarkan dirinya terjatuh ke dalam jurang itu lagi, dan merasakan kekalahannya berulang kali.

"WOYYY DIVISI KESEHATAN! BAWA DIA KE TENDA!"

SWASTAMITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang