[6] Dekap

59 11 1
                                    

Sinar matahari mulai berlabuh ke peraduannya, mengirimkan hamparan cahaya keemasan yang melukis dinding-dinding kelas dengan nuansa senja yang hangat dan menawan. Sebuah tanda bahwa waktu telah bergerak, melangkah ke sore hari, saat kegiatan akademis satu per satu menemui titik akhirnya. Mahasiswa-mahasiswa tampak bersemangat, merapikan buku dan tas mereka, meninggalkan jejak keceriaan di udara yang sebelumnya dipenuhi dengan suara diskusi dan tanya jawab. Suasana ruangan yang biasa dikuasai hawa dingin kini terasa lebih hangat, mengundang sentuhan matahari sore yang malu-malu menerobos masuk.

Dalam keriuhan yang menyenangkan itu, Dito, dengan raut muka penuh minat, mengalihkan perhatian kepada teman-temannya, bertanya akan rencana mereka selanjutnya. "Kalian mau ke mana abis ini?" suaranya tercampur dengan kegembiraan hari yang telah mereka lalui.

Rama, dengan semangat yang masih terjaga, menjawab seolah sudah memikirkannya, "Ayam gepuk, yuk? Abis itu kita cari-cari keperluan kelompok, dikit." Meski di bibirnya terucap kata-kata itu, semua tahu bahwa kegiatan makan bersama seringkali menjadi agenda utama mereka.

Gewa yang seringkali melontarkan kalimat asbun turut menimpali tanpa menunggu lama, "Ah, pasti ujung-ujungnya cuma makan doang." Sambil tertawa, matanya mencuri pandang ke arah Jingga, penasaran dengan rencana pria itu. "Lo gimana, Jingga? Ikut nggak?"

Jingga, yang saat itu tengah asyik dengan pemikirannya sendiri, tersadar dan menjawab dengan nada yang berbeda, "Skip dulu deh, mau jalan sama Kala" jawabnya.

Mendengar itu, teman-temannya hanya menghela napas

Saat teman-teman sekelas lainnya mulai meninggalkan ruangan, berbincang tentang rencana masing-masing setelah ini, Jingga menghampiri Kalana yang masih berkemas dengan perlahan. Dengan senyum yang cerah bagai mentari pagi, Jingga bertanya, "Kal, temenin gue yuk? temenin gue jalan-jalan, sebentar,"

Kalana, yang tadinya terlihat lelah karena pembelajaran di kelas, tiba-tiba bersemangat mendengar tawaran Jingga. "Ayo!" jawabnya, semangatnya terpancar dari matanya yang berbinar.

Jingga terkekeh pelan melihat reaksi Kalana saat ia tawari untuk menemaninya.

Mereka pun beranjak, meninggalkan kampus dengan langkah gembira. Kota yang biasanya mereka lalui setiap hari tampak berbeda kali ini, lebih hidup, lebih cerah, seolah-olah dunia mendukung rencana mereka. Jalan-jalan kota yang ramai, dipadati oleh kendaraan dan pejalan kaki, menjadi saksi bisu perjalanan dua hati yang ingin mengenal lebih dalam satu sama lain.

Time Zone. Di tengah gemerlap lampu neon yang menari, Time Zone menjadi saksi bisu akan kegembiraan yang tak terhingga dari dua hati, Jingga dan Kalana. Mereka terhanyut dalam rentetan permainan yang memerlukan kecerdikan dan kecepatan tangan. Setiap permainan seolah menjadi medan baru bagi mereka untuk mengeksplorasi dan menikmati momen bersama, melupakan sejenak dunia luar yang sibuk dan penuh tuntutan.

"Yaahh menang lagi, padahal Kala udah usaha yaa," ledek Jingga sambil tertawa melihat Kalana yang sedang memajukan sedikit bibirnya saat kalah dalam permainan. Diusapnya pucuk kepala gadis itu, harap-harap agar gadis itu tidak bete karena kalah.

"Abis ini aku yang kalahin kamu," gumam Kalana. Mendengar itu, anggapan Jingga ternyata salah, justru Kalana dengan semangat kompetitif, kembali menantang Jingga pada setiap game, dari balapan mobil hingga pertempuran virtual, masing-masing kemenangan dan kekalahan mereka rayakan dengan tawa dan sorai kegembiraan. Jingga, dengan ketenangannya, selalu memberi respon yang membuat hati Kalana berdebar, entah itu dengan senyuman kemenangan atau candaan saat mengalah.

Saat mereka memutuskan untuk mengakhiri permainan, suasana Time Zone sudah jauh lebih sepi. Mereka berdua keluar dari arena permainan, menyadari bahwa lampu-lampu mall telah dimatikan, meninggalkan hanya cahaya remang dari lampu darurat yang memandu jalan mereka keluar. Kedekapan malam yang tenang menyambut mereka, sebuah kontras yang nyata dibandingkan dengan keramaian dan keceriaan yang baru saja mereka tinggalkan.

Jingga mulai merogoh sakunya, ia mencari kunci motor dan segera meninggalkan tempat penuh tawa itu.

"Ayo, naik," katanya

Kalana menurut, ia menaiki kendaraan milik Jingga. Berpegang erat pada ransel yang menjadi pembatas diantara mereka.

"Kalau kedinginan bilang ya, pegangan," ucap Jingga lembut. Gadis itu hanya menjawab dengan dehaman, pertanda ia paham akan instruksi dari Jingga.

Di bawah taburan bintang yang gemintang, malam itu Jingga dan Kalana memulai perjalanan pulang yang terasa lain dari biasanya. Udara malam yang sejuk menyelimuti mereka berdua saat motor melaju pelan, membelah keheningan malam dengan suara mesinnya yang halus. Jalanan yang mereka lalui sepi, hanya terdengar suara mesin kendaraan dan sesekali terlihat cahaya lampu dari rumah-rumah yang mereka lewati. Itu adalah momen yang sempurna, dimana dunia seakan memberi ruang hanya untuk mereka berdua.

Di atas motor itu, di antara deru angin malam dan kehangatan yang mereka ciptakan bersama, Jingga mulai bersenandung lagu 'Tolong' milik Budi Doremi. Melodi yang lembut dan lirik yang menyentuh itu segera mengisi ruang di antara mereka, menciptakan atmosfer yang lebih intim. Kalana, yang merasakan kedekatan itu, secara spontan mulai ikut bernyanyi, suaranya melengkapi senandung Jingga, menyatu dalam harmoni yang manis.

Lagu itu, menggambarkan perasaan ingin berada di dekat orang yang dicintai sepanjang waktu. Tentang rasa yang mendalam dan permintaan untuk tidak ditinggalkan, seolah menjadi cerminan dari apa yang mereka rasakan saat itu; sebuah permintaan hati yang tak terucap untuk terus bersama, melalui suka dan duka.

Di saat itu juga, tanpa disadari, tangan Kalana mulai gemetar. Dia kedinginan.

"Jingga, dingin banget." ucapnya, tepat di belakang telinga Jingga.

Jingga merespons dengan menggapai tangan Kalana, memasukkan jemari cantik gadis itu ke dalam saku miliknya. Diusapnya punggung tangan gadis itu secara lembut dan penuh perhatian, ia menggenggamnya erat. Kalana pun refleks mengencangkan genggamannya, menarik diri dan mengubah pegangan itu menjadi sebuah pelukan hangat.

Perjalanan mereka kembali ke rumah masing-masing di bawah langit malam yang terhampar luas, bintang-bintang berkelip bagai taburan permata, menyegel kenangan indah hari itu dalam hati mereka. Hari itu, tanpa mereka sadari, sebuah benih telah ditanam, benih yang dengan lembut akan tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam di antara mereka berdua.

SWASTAMITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang