[12] 03:00

47 8 1
                                    

Kalana terbaring di atas kasur dengan wajah yang terasa panas oleh air mata yang terus mengalir. Dalam tidurnya, dia terbawa kembali ke kenangan yang menyakitkan empat belas tahun lalu, ketika deburan ombak membawa ibunya pergi untuk selamanya.

Dalam mimpinya, Kalana merasa seperti terjebak di hamparan lautan yang berombak, dia tenggelam dan melihat ibunya dikepung oleh gemuruh laut yang ganas. Tangisannya tercekat di tenggorokan, saat ibunya mempertaruhkan nyawa untuk menolongnya. Ombak menghempas dengan kekuatan yang tak terkendali, merenggut ibunya pergi ke dalam gelombang yang gelap.

Gelisah dalam mimpi itu membawanya ke permukaan kenyataan, mengganggu tidurnya. Di sampingnya, Jingga terbangun dari tidurnya yang nyenyak oleh gemetar tubuh Kalana di sampingnya. Dengan lembut, Jingga menepuk tangan Kalana, mencoba membangunkan gadis itu dari mimpi buruk yang meresap ke dalam alam tidurnya.

"Kala.. Kalana, kenapa?" Tanya Jingga dengan suara lembut, mencoba menenangkan gadis itu.

Kalana terbangun dengan napas yang terengah-engah, matanya masih dipenuhi dengan bayangan mimpi yang menakutkan. Dengan suara gemetar, dia mulai menceritakan kembali adegan-adegan yang menyayat hati dari mimpi buruknya, menceritakan betapa dia merasa terjebak di lautan yang berombak, merasakan ketidakberdayaannya melihat ibunya dikepung oleh gemuruh laut yang ganas.

Dia merasakan bagaimana tubuhnya gemetar, terkunci dalam kenangan yang menyakitkan.

Jingga bisa melihat raut kepedihan yang dalam di matanya. Hatinya berdesir mendengar cerita gadis itu, merasakan bagaimana mimpi buruknya merasuk ke dalam kehidupan Kalana.

Jingga mendekap Kalana erat, mencoba mentransfer segenap ketenangannya ke dalam pelukannya. "hey, it's okay," bisiknya dengan lembut, mencoba menyapu jauh kegelisahannya dengan kata-katanya. "..i'm here." lanjutnya.

Wajah Kalana sedikit mereda, tetapi bayangan mimpi buruk masih terpantul di matanya. Jingga menghapus air mata yang mengalir di pipinya dengan lembut, mencoba memberikan kehangatan dan dukungan yang dia butuhkan.

Di malam yang sunyi itu, ketika dunia terlelap dalam tidurnya, Kalana dan Jingga masih terjaga, merangkul satu sama lain di dalam kehangatan ruangan kecil. Cahaya remang bulan menyelinap masuk melalui jendela, menyoroti wajah mereka yang damai.

Waktu telah berlalu hingga pukul 3 dini hari, namun Kalana masih terjaga, terombang-ambing dalam khayalannya yang gelap. Jingga, yang sadar akan ketidaknyamanan yang dirasakan Kalana, memeluknya dengan erat, menenggelamkannya dalam pelukan hangatnya.

Saat mereka terpeluk erat, Kalana merasakan kehangatan yang mengalir ke dalam dirinya, meredakan gelisah yang melanda hatinya. Jingga memeluknya dengan penuh kasih, merasakan getaran dari tubuh Kalana yang menunjukkan betapa dalamnya rasa takut dan kecemasan yang dia alami.

Dengan lembut, Jingga mengelus punggung Kalana, mencoba memberikan kehangatan dan ketenangan yang dibutuhkan. Sentuhan lembutnya melintasi kulit Kalana seperti angin malam yang menyejukkan, membawa ketenangan dalam kegelapan yang menghantui.

Gadis itu menyelusupkan wajahnya ke dalam dada Jingga, mencoba menemukan kedamaian dalam dekapan hangat itu.

Seketika, dengan perasaan yang masih layu oleh kantuk, ia memejamkan matanya lebih erat, berharap bisa kembali ke alam mimpi yang damai. Namun, tanpa sadar, ia merasa seperti ada sesuatu yang menatapnya, sesuatu yang membuatnya merasakan kehangatan yang memenuhi ruang di antara mereka.

Lambat laun, Kalana membuka matanya, dan dengan lembutnya, ia merasakan tatapan penuh kasih dari Jingga yang mengamatinya.

Dengan tatapan yang lembut itu, Jingga memperhatikan setiap gerakan dan ekspresi wajah Kalana, seolah ingin menghafal setiap detailnya. Ia merasakan kelembutan pada setiap tarikan nafas Kalana.

"Kayaknya bulan sama bintang iri deh sama gue," ucapnya lembut. Kalana menatap lelaki itu bingung.

"Soalnya gak bisa meluk lo, kayak gini" katanya, sambil tersenyum jahil.

Gadis itu sedikit tersipu. Kalana tersenyum malu-malu, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat oleh kata-kata manis Jingga. Lelaki itu berhasil mengalihkan rasa sedihnya lagi.

"Oh iya, Jingga,"

"Kayaknya bukan mereka aja yang iri deh, bumi juga lagi iri sekarang," sahutnya sambil memalingkan wajahnya, namun senyumnya masih mengembang di bibirnya.

Jingga menatapnya dengan rasa penasaran. "Kenapa gitu?"

"Because i'm embracing my world, right now,"

Jingga tertawa geli, dia tak menyangka bahwa Kalana bisa juga menggombalinya. Tapi di sisi lain, ia juga merasa bahagia, dengan seperti itu, bukankah berarti bahwa Kalana sudah merasa lebih baik?

Mereka berdua saling bertatapan dalam kebahagiaan, merasakan kehadiran satu sama lain dalam ruang yang damai dan membiarkan waktu berlalu tanpa terasa di dalam momen yang mereka bagi bersama.

Detik berikutnya, hanya deru napas yang terdengar diantara keduanya. Hening dan damai.

"Besok mau sarapan apa?" gumam Jingga, sambil tetap memeluk Kalana, menahan kantuknya. Suara itu memecahkan keheningan dini hari yang dingin.

Tak ada jawaban dari Kalana, dia sudah terlelap dalam tidurnya. Jingga tersenyum lega, garis bibirnya tak bisa berbohong.

"Jangan mimpi lagi ya, tidur yang nyenyak, cantik." ucapnya perlahan, sembari mengecup puncak kepala Kalana, sebelum akhirnya ia pun turut terlelap bersama gadis itu.

SWASTAMITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang