[16] Vanellope

43 12 4
                                    

Sore itu, udara Kota Bandung masih segar dan langit terlihat cerah. Jingga memarkir motornya di depan rumah Kalana, hatinya dipenuhi dengan kegembiraan untuk bertemu dengan gadis yang selama ini mengisi hari-harinya. Sebelum dia sempat menekan bel, pintu gerbang sudah terbuka, dan bukannya Kalana yang menyambut, melainkan Damar, kakak Kalana, yang berdiri tegap di ambang pintu.

Tatapan Damar menusuk langsung ke arah Jingga, penuh dengan keraguan dan kesan sinis. Sosoknya yang tegap dan ekspresi yang keras memberikan kesan otoritas yang tidak bisa diabaikan.

Jingga menelan ludah, berusaha keras untuk tidak terlihat gugup di depan Damar. Dia mengulurkan tangan, berusaha untuk memberikan salam yang hangat, namun Damar hanya memandang tangan itu sebelum akhirnya, dengan enggan, menerima jabat tangan tersebut.

"Nyari siapa?," ujar Damar dengan suara yang rendah dan tegas, seolah setiap kata yang diucapkan mengandung berat.

"Kalana," jawabnya. "Ada, kak?"

"Ada, tunggu aja,"

Jingga hanya mengangguk, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk meredakan ketegangan yang mulai terasa. Damar memperhatikan Jingga dari atas ke bawah, seakan ingin memastikan bahwa pemuda di depannya benar-benar teman adiknya atau bukan.

gua ikan kah? biasa aja lah liatinnya, bantinnya mendengus.

Namun, sebelum kecanggungan itu meresap lebih dalam, sosok yang lebih tua muncul di belakang Damar, yaitu Antoni ㅡayah Kalana dan Damar, yang tersenyum lebar memecah kebekuan udara.

"Temannya Kala, ya? masuklah, masuk!" serunya dengan suara yang ramah dan tangan terbuka, menghadirkan kehangatan yang seperti cahaya mentari pagi.

Damar, masih dengan wajah yang keras, menggeser badannya, memberi ruang bagi Ayahnya yang bersemangat menyambut tamu. Jingga menangkap perbedaan mencolok antara tatapan sinis Damar dan sambutan hangat dari Ayah Kalana dan Damar itu.

Dengan hati yang sedikit lega tapi masih waspada, Jingga melangkah melewati gerbang, menyapa Ayah Kalana dengan hormat dan mencoba untuk tidak terlalu memikirkan tatapan tajam Damar.

"Damar emang gitu, tapi dia anak baik kok," bisik Ayah ketika mereka berjalan menuju pintu. "Kala nya masih siap-siap, nanti Ayah panggilkan. Ditunggu ya,"

Sementara momen itu berlalu, Jingga menempati dirinya di sofa yang empuk, matahari sore menari lewat jendela, membingkai suasana rumah Kalana dengan cahaya yang lembut. Ruangan itu dipenuhi dengan foto-foto keluarga yang menghangatkan dinding, memberi Jingga kesan akan kedekatan dan keharmonisan yang terjaga di antara anggota keluarga itu. Dengan pikiran yang berkelana mengagumi dekorasi sederhana namun elegan, dia terlelap dalam ketenangan yang jarang ditemukan di kosannya yang selalu ramai.

Tiba-tiba, keheningan pecah oleh suara langkah kaki yang mendekat, dan sekilas bayangan di pintu membuat Jingga mengangkat pandangannya. Kalana, yang jelas tidak menyangka akan mendapati Jingga sudah berada di ruang tamu, terhenti di ambang pintu dengan ekspresi terkejut dan senyum yang segera merekah di wajahnya. Rambutnya telihat sedikit berantakan, menandakan ia belum sepenuhnya siap untuk pergi saat itu.

"Lho? Kapan nyampenya?"

"Barusan,"

"Bentar yaaa, aku rapihin rambut dulu,"

Dengan gerakan cepat dan terampil, Kalana menarik rambutnya yang berantakan ke belakang, mengikatnya dengan karet gelang yang selalu terlilit di pergelangan tangannya. Dengan beberapa kali putaran cepat, rambutnya kini tersusun dalam gaya yang mengingatkan pada karakter Vanellope dari cerita Wreck-It Ralph karya Disney, kesukaan Jingga.

SWASTAMITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang