[20] Sampai Jumpa.

37 8 0
                                    

Malam telah menjelang dengan langit yang bertabur bintang, gemerlapnya menyapa mata dan membawa keheningan yang mendalam. Jingga mengantar Kalana pulang ke rumah sepulang dari kampus. Gadis itu berdiri di samping kekasihnya yang masih duduk di atas jok motor.

"Mau masuk dulu gak?" tanya Kalana dengan lembut.

Jingga hanya tersenyum, mengacak rambut Kalana dengan penuh kasih sayang, mengisyaratkan bahwa ia tak ingin mampir saat itu.

"Masuk gih, aku liatin dari sini," katanya dengan nada lembut yang membuat hati Kalana hangat.

Kalana mengerti, perlahan dia beranjak pergi, melambaikan tangan ke arah kekasihnya. Jingga mengawasi dengan tatapan penuh cinta hingga gadis itu menghilang di balik pintu rumahnya.

Sementara itu, saat Kalana membuka pintu, ia melihat kakaknya duduk sendirian di ruang tamu yang sunyi. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, seolah menghitung setiap detik yang berlalu. Damar duduk di sofa dengan tatapan kosong, menatap jendela yang memperlihatkan pemandangan malam. Kalana menoleh ke arah kakaknya, perlahan berjalan dan duduk di sampingnya. Angin malam yang masuk melalui jendela menyisir rambutnya yang hitam legam.

"Kak?" sapa Kalana dengan suara lirih, nyaris tenggelam dalam keheningan malam.

Damar berdeham, kemudian memalingkan wajahnya ke arah adiknya itu.

"Are you okay?" tanyanya perlahan, takut memancing amarah dalam hati kakaknya yang terlihat tenang saat ini.

"Pernah mikir gak sih, Kal? Kenapa ya ibu cepet banget pulangnya?"

Kalana terdiam. Bukannya menjawab pertanyaan gadis itu, kakaknya malah balik bertanya padanya. Pertanyaan itu telah menghantuinya selama bertahun-tahun. Damar menarik napas dalam-dalam, merasakan udara malam masuk ke paru-parunya. Pandangannya tak lepas dari jendela, seolah mencari jawaban di antara bintang-bintang yang berkerlip di kejauhan.

"Sorry ya, gue selalu nyalahin lo, Kal," ucap Damar akhirnya, suaranya bergetar.

Kalana menoleh, menatap wajah kakaknya. Ada kesedihan dan penyesalan yang dalam terpancar dari mata Damar. Kalana merasa hatinya sesak, tapi juga ada harapan yang timbul.

"Kak, mau tau gak kenapa aku selalu balik ke pantai padahal aku takut banget sama lautan?" ucap Kalana, sambil menggenggam punggung tangan kakaknya.

"Karena di sana, aku selalu ngerasa deket sama ibu," lanjutnya, suaranya serak oleh emosi yang tertahan. "Di sana juga, aku bisa merenungkan semuanya sendirian."

"Tapi aku bukan pembunuh ibu.."

Damar terdiam, kata-kata adiknya menusuk dalam relung hatinya. Selama bertahun-tahun, ia membiarkan kesedihan dan rasa bersalah menguasai dirinya. Ia merasa marah, tidak hanya pada Kalana, tetapi juga pada dirinya sendiri dan bahkan pada takdir.

"Kalana," Damar akhirnya berbicara, suaranya lembut namun penuh dengan ketulusan, "Kakak baru sadar. Selama ini, kakak terlalu fokus pada kehilangan dan kemarahan, sampai kakak lupa bahwa kakak masih punya kamu. Ibu udah mengorbankan dirinya buat menyelamatkan kamu. Dia pasti mau kita saling jaga, bukan saling menyalahkan."

Damar mengulurkan tangannya, meraih pundak Kalana dan menariknya dalam pelukan yang erat.

Dalam pelukan itu, mereka merasakan kehangatan yang telah lama hilang. Keheningan malam yang mulai turun terasa lebih damai.

"Kal, inget ya,"

"Mulai sekarang, tangan kakak terbuka untuk memberikan pelukan paling hangat kapanpun kamu butuh," ucap Damar dengan suara serak.

Kalana memeluk kakaknya dengan erat, merasakan kehangatan yang telah lama hilang dari kehidupannya. Dalam pelukan itu, ia menemukan kedamaian yang selama ini ia cari. Air mata mereka bercampur, namun ada senyum yang tersungging di bibir keduanya.

Di antara keheningan malam dan momen indah antara sepasang kakak beradik, Jingga masih terdiam di tempatnya. Sebenarnya, sejak mengantarkan gadis itu pulang, Jingga masih diam di depan rumah Kalana, dan memikirkan beberapa hal di dalam kepalanya.

Lelaki itu melangkah perlahan di atas tanah, sambil berjongkok, berusaha menguping percakapan di dalam rumah. Jingga mendengar suara Damar yang cukup emosional, membuatnya penasaran. Dia berjongkok di bawah jendela, mendekatkan telinganya untuk mendengar lebih jelas.

Namun, apa yang dilakukannya justru membawa masalah. Ayah Kalana yang baru saja pulang, melihat sosok Jingga yang mengendap-ngendap di bawah jendela. Mengira ada maling, ia dengan refleks melemparkan sepatunya ke arah Jingga.

"Aduh!" Jingga terkejut, menahan sakit sambil berusaha berdiri.

"Maling! Maling!" teriak Ayah dari luar.

"Om, ini Jingga,"

Damar dan Kalana yang mendengar keributan di luar segera berlari keluar. Mereka melihat Jingga yang mengusap kepalanya, sementara ayah Kalana masih dengan ekspresi marah, karena prasangka nya terhadap Jingga.

"Ayah, stop, ya ampun,"

Ayah Kalana memperhatikan Jingga dengan lebih seksama, dan wajahnya yang semula penuh kecurigaan berubah menjadi penuh pengertian dan sedikit rasa bersalah. "Kamu ngapain sih, nak? Kenapa mengendap-ngendap begitu?"

Jingga merasa malu, tapi ia mencoba menjelaskan. "Maaf, om, Jingga cuma-"

"Lo bisa gak sih bersikap normal sehari aja?" ucap Damar sedikit sarkas, memotong ucapan Jingga.

Kalana membantu Jingga berdiri dan mengusap bekas timpukan sepatu di kepalanya.

"Aku kira kamu udah pulang," tanya Kalana lembut.

Jingga menoleh ke arah Kalana, gadis itu merasa kasihan tetapi juga menertawakan kekasihnya.

"Maaf ya nak, Ayah kira kamu penjahat tadi. Makanya langsung Ayah timpuk aja," sesal Ayah, turut mengusap kepala kekasih anaknya itu. "Masuk aja yuk, "

Jingga tersenyum, namun menolak tawaran tersebut dengan sopan. "Terima kasih, om. Tapi besok pagi saya harus kembali ke Malang. Mama saya perlu diantar pulang."

Kalana yang mendengar penjelasan Jingga, terkejut. "Kamu mau pulang ke Malang?"

Jingga menatap Kalana dengan penuh rasa bersalah. "Maaf, aku nggak sempat bilang."

Wajah Kalana berubah, dalam hatinya ia merasa sedikit kecewa.

"Mama tiba-tiba minta aku ikut pulang ke Malang," jelasnya. Jingga meraih tangan Kalana dan menggenggamnya erat. "Aku janji, abis urusan di Malang selesai, aku langsung ke sini lagi."

Ayah Kalana tersenyum bijak melihat kedekatan mereka. "Jingga, kalau begitu kamu harus segera pulang dan temani Mama kamu. Berangkat jam berapa?"

"Terima kasih, om. Sekitar jam 8 pagi,"

Kalana melepaskan genggaman tangan Jingga.

"Yaudah, terserah kamu,"

"Kan, cemberut lagi, baru juga baikan tadi" goda Jingga saat melihat raut wajah Kalana yang terlihat bete, dia mencubit pipi Kalana perlahan.

"Kalana, jangan gitu sayang. Jingga mau nganter Mama nya pulang, gapapa lho."

"Iya nih, Om. Anak bungsunya sekarang sensi mulu. Takut banget kalau ditinggal sama saya,"

"Sok tau," ucap Kalana, ketus. Dia mencubit gemas perut Jingga.

Jingga terkekeh, dia juga gemas melihat tingkah Kalana yang seperti ini. Clingy.

"Pamit ya, Om, Dam," ucap Jingga, berpamitan dengan Ayah Kalana, juga Damar.

"Hati-hati,"

Jingga mengangguk, dan setelah berpamitan dengan Damar dan ayah Kalana, ia melangkah kembali ke motornya. Kalana mengikutinya hingga depan rumah, mengawasi Jingga yang bersiap untuk pergi.

Mesin menyala, kemudian ia tekan klakson sebagai tanda pamit.

"Bye! See you, sayang!" ucap Jingga, di balik helm yang menutupi seluruh kepalanya.

Setelah itu, Kalana menatap Jingga yang menghilang di balik tikungan jalan, dengan harap penepatan janjinya untuk segera kembali bertemu dengannya.

SWASTAMITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang