[13] Dia Siapa?

50 10 4
                                    

Di pagi yang hangat, Jingga terbangun dengan perlahan dari dunia mimpi yang dalam. Cahaya mentari yang menyelinap masuk melalui celah-celah jendela kamar kosnya mengejutkan matanya yang masih setengah terpejam. Ia mengangkat tubuhnya perlahan, merasakan kenyamanan selimut yang masih melingkupinya.

Sambil menggosok-gosokkan mata, Jingga menatap jendela kamar dengan tatapan yang penuh harap. Di luar sana, dunia menunggu dengan segala kejutannya. Namun, sebelum ia bisa merenung lebih jauh, perhatiannya teralihkan oleh cahaya gemerlap di pojok meja kamarnya. Sebuah notifikasi muncul berkali-kali di sana, mengganggu paginya yang tentram. Dengan langkah yang ringan, Jingga mendekati meja belajarnya di sudut kamar yang teduh. Di atas meja tersebut, terletak ponsel Kalana yang menarik perhatiannya. Notifikasi itu berasal dari ponsel milik gadis itu.

Dengan hati yang penuh rasa ingin tahu, ia menggenggam ponsel Kalana tersebut. Layar ponsel itu menyala dengan lembut, menyambut tatapan Jingga dengan pesan singkat yang baru masuk.

"Dimana?"

"Mau pulang sendiri apa gua jemput?"

Namun, ketika matanya menangkap kata-kata yang tersusun rapi di layar, hatinya tercekat sejenak. Sebuah kebingungan melintas di benaknya, meracuni alirannya yang tenang. Jingga membaca pesan itu berulang kali, mencoba mencerna setiap kata dengan seksama, namun tetap saja, kebingungannya tak kunjung sirna.

Pesan tersebut dari Damar. Siapa?, benaknya.

Menyadari Jingga yang tak ada di sampingnya, Kalana ikut terbangun. Dia mencoba membuka kelopak matanya yang terasa berat. Dengan perlahan, matanya yang mulai terbuka memandang langit-langit kamar kos Jingga, kemudian membidik setiap sudut kamar, mencari keberadaan lelaki itu.

"Kamu ngapain di sana?" ucap Kalana, mengagetkan Jingga yang tengah terbengong sejenak.

Gadis itu menyibakkan selimut yang menyelimutinya semalaman, kemudian berjalan mendekat ke arah Jingga. Kalana berjalan sambil merapikan rambut panjangnya yang sedikit berantakan, sedangkan Jingga terlihat canggung sejak Kalana bertanya apa yang sedang dilakukannya.

"Nggak," jawabnya singkat. Gadis itu hanya mengangguk untuk merespon nya.

"Aku izin pake dapur kamu ya?"

"Pake aja"

"Mau sarapan apa?"

"Gak usah, kamu aja,"

Kalana menatap Jingga heran. Lelaki itu seperti menghindari nya saat ini. Kalana merasa seperti ada sesuatu yang tak terucap namun terasa menggelitik di balik sikap dan ucapan Jingga, sebuah kebingungan yang membingungkan hati Kalana.

Jingga bangun dari duduknya, berjalan ke arah kamar mandi, meninggalkan Kalana yang kebingungan oleh sikapnya.

"Tadi ada notifikasi tuh, kayaknya penting," ucapnya, sebelum akhirnya benar-benar menutup pintu kamar mandi.

Kalana menatap layar ponselnya. Benar, ada notifikasi yang bertengger di sana, dari kakaknya.

Damar.

"Kamu baca ya?" teriak Kalana, yang tak dijawab oleh Jingga.

Merasa diabaikan, Kalana berusaha tidak peduli. Dia berjalan ke arah dapur, berdiri tegap di hadapan benda mati itu. Dengan penuh antusiasme, Kalana meraih spatula dan panci, merangkai karya seni pagi ini dengan penuh keahlian. Aroma harum rempah-rempah memenuhi udara saat dia memasak dengan penuh konsentrasi, setiap gerakan tangannya dipenuhi oleh kelembutan dan kehati-hatian.

Sementara itu, Jingga, dengan rambut yang masih basah dan balutan handuk di pinggangnya, menyaksikan pemandangan yang terbentang di hadapannya dengan tatapan gemas dari depan pintu kamar mandi. Matanya terpesona oleh keahlian Kalana di dapur, di mana setiap gerakannya adalah nyanyian yang menyentuh jiwa.

"Orgil, lucu banget" gumamnya, sambil tersenyum lebar.

Jingga terhanyut dalam pesona Kalana yang memukau. Matanya terpesona oleh keanggunan gadis itu, seakan memandang ke dalam jiwanya yang penuh dengan kehangatan dan cahaya. Dari kejauhan, dia membiarkan dirinya tenggelam dalam pesona yang memikat, melamun dalam kecantikan yang memancar dari setiap gerakannya.

"Udah selesai? Ayoo sarapann," ucap Kalana dengan nada lembut, suaranya meluluhkan keheningan yang mengelilingi Jingga.

Lelaki itu menuruti apa yang dikatakan gadisnya, dia segera menjemur handuk basahnya, dan duduk di meja makan. Jingga dan Kalana duduk berdampingan di sudut kecil dapur. Aroma harum kopi yang segar menyelimuti udara, sementara cahaya matahari perlahan menyusup masuk melalui jendela, menerangi wajah-wajah mereka dengan kehangatan. Dengan gemetar, Jingga menggenggam cangkir kopi yang disuguhkan oleh Kalana, senyum lembut menghiasi bibirnya. Di sisi lain meja, Kalana dengan penuh kehati-hatian menyendokkan oatmeal yang dihias dengan potongan buah segar ke dalam mangkuk kecil, seolah menyusun karya seni dari sarapan pagi mereka.

"Kamu biasanya sarapan apa?"

"Apa aja, yang ada di meja"

Kalana hanya terdiam, dia kembali bingung kenapa Jingga begitu dingin pagi ini. Sikapnya jelas berbanding terbalik dengan sosok Jingga yang memeluknya semalam.

"Dia siapa?" gumam Jingga perlahan, suaranya sedikit berbisik.

"Hah??"

"Damar"

Mendengar itu, Kalana tersenyum. Kali ini, Jingga yang kebingungan dengan tingkah gadis itu.

"Udah aku duga, kamu pasti baca ya"

"Dia kaya ya? Ganteng ga?"

Tak ada jawaban dari Kalana. Gadis itu menahan tawanya sebisa mungkin.

"Langsung mandi aja abis ini, takutnya Damar jemput kamu," desis Jingga ketus.

Kalana hanya berdeham, sembari merapikan piring kosongnya.

"Kalau aku ngomong tuh dijawab, Kal,"

"Iyaaa, Jinggaa" senyum Kalana tak bisa ditahan, dalam hatinya dia berteriak melihat tingkah gemas Jingga saat ini. Gadis itu berbalik badan, menuju wastafel. Namun, sesuatu menahannya.

Lelaki itu memeluknya, jantungnya berdegup cukup kencang. Nafasnya terdengar tak karuan.

"Iya aku baca, jadi jangan pergi sama Damar ya," ucapnya perlahan. "Aku anter pulang aja."

Kalana tertawa pelan.

"Tapi kalau kamu mau pergi sama Damar, ya gapapa, pergi aja," Jingga melepaskan pelukannya, menatap Kalana. Gadis itu mengernyitkan dahinya.

"Kalau diajak makan, jangan lupa minta buat dibungkus," ucapnya. "Buat aku, aku juga mau soalnya."

Lelaki itu tertawa perlahan dengan candaannya sendiri. Entahlah, dia sudah bingung dengan dirinya.

"Kamu sakit ya?" tanya Kalana heran, sambil memegang dahi lelaki di hadapannya. Jingga menatap tangan lembut Kalana yang menyentuh dahinya. "Dia kakak aku."

Mata Jingga terbelalak, dia kaget mendengar pernyataan yang baru saja Kalana ucapkan. Damar adalah kakak Kalana, yang gadis itu ceritakan kepadanya semalam.

"Kamu gak ngasih tau nama kakak kamu Damar, ya, Kal." Jingga menyentil pelan dahi Kalana. Gadis itu hanya menertawakan tingkah Jingga yang sedari tadi aneh, bahkan sejak dirinya bangun tidur.

"Kenapa harus??"

"Aku cemburu"

Dengan suara yang lembut namun penuh makna, Jingga mengungkapkan perasaannya pada Kalana, mengatakan bahwa dia merasakan cemburu. Jingga menatap Kalana dengan lembut, matanya menyiratkan kehangatan dan kelembutan. Tidak butuh waktu lama bagi Kalana untuk merespon. Dengan gerakan yang lembut, dia mendekap Jingga dalam pelukannya, merangkul tubuh yang tak sebanding dengannya.

"Jadi, kalau kakak aku ngejemput, kamu tetep mau nitip makan?"

"Diem, Kal,"

Mereka tertawa bersama. Dalam dekapan hangat itu, Jingga merasa terlindungi. Dia merasakan kelembutan dari sentuhan Kalana, yang seolah menyapu jauh segala keraguan dan kecemasannya. Di dalam dekapan itu, mereka saling berbagi kehangatan dan kepercayaan, menguatkan ikatan yang mereka bagi bersama.

SWASTAMITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang