Di bawah warna langit yang temaram, menjanjikan kedatangan dinginnya malam, Jingga menggenggam tangan Kalana dengan lembut, menawarkan kehangatan dan perlindungan.
"Ayo, gue antar pulang," ucapnya dengan nada yang menenangkan, seolah mampu mengusir segala kegelisahan.
Namun, dalam diam, Kalana merasa jantungnya berdesir, bukan karena ajakan itu, melainkan kata 'pulang' yang baginya telah lama hilang maknanya. Bagi Kalana, 'rumah' bukan lagi tempat yang menjanjikan kedamaian atau pelukan hangat yang selalu dinantikan setiap orang saat kembali. Sebaliknya, ia adalah arena bisu tempat keluh kesah dan kepedihan bersarang.
Dengan mata yang menerawang, Kalana menghela napas, kepalanya sedikit menunduk. "Aku... aku gak mau pulang," suaranya nyaris tidak terdengar, tersembunyi di balik desir angin malam yang lembut.
Jingga, yang merasakan getaran halus pada tangan Kalana, memahami.
"Boleh gak, buat kali ini aja, aku pulang ke tempat kamu?" ucap Kalana. Mendengar itu, Jingga terdiam. Dalam keheningan, ia bisa merasakan beratnya dunia di pundak gadis itu. Dengan hati yang berat, ia mengerti bahwa bagi sebagian orang, 'rumah' bukanlah tempat kembali, melainkan sebuah pertempuran tanpa henti yang harus dihadapi.
"Ke rumah Megumi aja ya?" ucapnya lembut, sambil mengusap pucuk kepala gadis itu.
Kalana menggelengkan kepalanya, tanda tak mau.
"Kan besok masih ada kelas, Kalana,"
"Kelas sore, kok"
"Yaudah, kalau gitu ke kosan gue," gumam Jingga, pasrah. Gadis itu tersenyum.
Jingga memandu Kalana melalui lorong-lorong kota yang masih asing baginya, setiap tikungan dan belokan seolah menceritakan kisah tersendiri. Suara lembut mereka berdua mengisi kesunyian, menambah keintiman momen tersebut. Ada rasa kebersamaan yang tumbuh di antara mereka, sebuah ikatan yang diperkuat oleh malam dan rahasia yang mereka bagi.
Pukul 1 malam, ketika kebanyakan orang telah terlelap dalam mimpi mereka, suasana di kosan itu berubah menjadi tenang, hampir sakral. Lampu-lampu kota yang jauh di luar sana masih berkedip, bagaikan bintang-bintang yang tersesat, menciptakan mozaik cahaya yang memukau.
Angin malam berhembus lembut, membawa kesejukan yang menenangkan hati. Dari sebuah jendela terbuka di lantai dua, terdengar suara musik instrumental pelan yang mengalun syahdu, menemani pemikiran-pemikiran yang tengah melayang jauh. Seseorang, mungkin, sedang menuliskan cerita hidupnya, atau tengah terbenam dalam buku yang belum juga selesai dibaca.
Suasana di dalam kosan itu penuh dengan nuansa yang berbeda-beda. Ada kamar yang masih terang, dihuni oleh mereka yang tengah berjuang melawan deadline atau terjaga oleh film yang belum berakhir. Ada pula kamar yang gelap dan sunyi, penghuninya telah terlelap, menyerahkan diri pada lelah setelah seharian beraktivitas.
Sesampainya di depan pintu kosan Jingga, mereka berhenti sejenak, menatap ke arah bangunan itu seolah hendak mengukir kenangan tentang malam ini dalam benak mereka. Lampu-lampu kota di kejauhan berkelip-kelip, seakan menjadi saksi atas perasaan yang mulai bertaut di antara keduanya.Mereka berdua, terbungkus oleh keheningan malam, berdiri di ambang pintu sebelum akhirnya memasuki kosan. Ruangan itu menyambut mereka dengan hawa yang hangat, seolah-olah rumah itu sendiri merasa senang karena kedatangan mereka.
"Silahkan masuk, tuan putri," ucap Jingga, sembari membuka pintu. Diikuti oleh Kalana, gadis itu membuka sepatu yang membalut kakinya seharian ini.
Mereka memasuki ruangan. Kalana duduk di bangku dekat meja belajar milik Jingga. Melihat-lihat barang-barang lelaki itu. Terdapat foto Jingga, bersama keluarganya di sana.
Sementara itu, Sang pemilik kamar sedang menyalakan lampu, menerangi ruangan dengan cahaya yang lembut, mengusir kegelapan dan menyuguhkan suasana yang nyaman dan mengundang. Lelaki itu berjalan ke dapur, menyeduh secangkir teh hangat.
"Mau teh?" tawarnya pada Kalana, sambil membawa secangkir teh hangat di tangannya.
Kalana menerima teh hangat buatan Jingga.
Lelaki itu duduk di samping Kalana, menatap luka kecil yang terbuka di jarinya. Dengan lembut, ia menggenggam tangan Kalana, seolah hendak menenangkan tidak hanya luka fisiknya, tetapi juga luka batin yang mungkin tersembunyi di dalamnya. Kalana menghentikan tegukannya, dia membalas tatapan lelaki itu.
Jingga melihat setiap jari manis yang terbalut plester di sana, dan melepasnya satu per satu, memperlihatkan luka Kalana yang masih basah.
"Kalau luka, harus diobatin yang bener ya, cantik," ucap Jingga perlahan, sambil mengambil kotak P3K di atas meja belajarnya. Diobatinya luka di tangan Kalana secara telaten, dia takut menyakiti gadisnya.
Kalana menatap Jingga dengan tatapan hangat, merasakan kelembutan dalam sentuhan lelaki di hadapannya.
"Udah deh, kuat banget, anak siapa sih?" ucap Jingga saat selesai merapikan luka di jemari Kalana. Dia mengusap lembut rambut gadis itu, mengacaknya perlahan.
"Kalau ada luka, jangan disembunyiin ya sakitnya, at least, you can share the pain with me." lanjutnya.
Keduanya beradu tatapan, dan saling tersenyum.
Suara Jingga terdengar seperti melodi yang menenangkan hati Kalana, membuatnya merasa lebih kuat dalam menghadapi rasa sakit. Dalam keheningan malam, dari tangan Jingga, Kalana merasakan kehangatan yang mampu menyembuhkan lebih dari sekadar luka fisik.
"Thank you," ucap Kalana perlahan, "for everything you've done for me, it means a lot to me."
Maka, di tengah keramaian kota yang mulai mereda, Jingga hanya bisa memberikan apa yang ia punya: kebersamaan dalam kesunyian, mendengarkan tanpa menghakimi, dan sebuah janji bahwa ia akan selalu menjadi suaka bagi Kalana, sebuah 'rumah' dalam definisi yang paling tulus dan hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWASTAMITA
FanfictionDalam perjalanan kisah "Kalana dan Jingga", kita dihadapkan pada dua jiwa yang saling berpaut, namun dipisahkan oleh luka masa lalu yang mendalam. Kalana, gadis yang terpukul oleh trauma yang tersembunyi di balik gemulai senyumnya, dan Jingga, lelak...