[19] Di sini

43 11 2
                                    

Keesokan harinya, suasana kelas terasa hening meski riuh oleh suara-suara pelajar. Di antara keramaian itu, Jingga terus memperhatikan Kalana dari kejauhan. Matanya tak pernah lepas dari sosok gadis yang kemarin ia cari dengan penuh kecemasan. Kalana duduk di pojok kelas, memandang lurus ke depan, namun sesekali terlihat termenung, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Jingga meraih ponselnya dengan perlahan, mengetik satu pesan yang penuh harap, "Nanti kita ngobrol ya?"

"Jangan kemana-mana dulu abis kelas," lanjutnya. Ia menekan tombol kirim, berharap pesan itu bisa menyentuh hati Kalana yang tengah dirundung kesedihan.

Kalana membaca pesan itu, tetapi tak segera menjawab. Tatapannya beralih, mencari Jingga di antara wajah-wajah yang ada di kelas. Ketika akhirnya pandangan mereka bertemu, Kalana menatapnya dengan tatapan datar, tanpa ekspresi yang bisa terbaca. Jingga hanya bisa tersenyum, mencoba menyalurkan rasa kasih dan pengertiannya melalui senyuman itu.

Bel akhir kelas berbunyi, memecah kesunyian yang tadi menyelimuti ruangan. Jingga segera bangkit dari tempat duduknya dan melangkah cepat menuju Kalana. Tanpa berkata-kata, ia meraih tangan gadis itu dengan lembut namun penuh ketegasan. Kalana menatapnya sejenak, lalu mengikuti langkahnya yang mantap, meninggalkan kelas yang mulai ramai dengan obrolan teman-teman mereka.

Saat mereka berdua berjalan menuju pintu keluar, sekelompok orang dengan wajah penuh rasa ingin tahu mengelilingi mereka.

"Kala, kenapa? Kayak sedih gitu?" tanya Nesra, salah satu temannya dengan nada khawatir.

"Batin ya pacaran sama Jingga?" gurau Megumi, temannya yang lain, mencoba mencairkan suasana dengan candaan.

Kalana hanya tersenyum tipis, merasa berat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Jingga menarik Kalana perlahan. Langkah mereka semakin cepat menjauhi kelas.

Di luar gedung, angin sore menyambut dengan lembut, seolah memberikan pelukan hangat yang mereka butuhkan. Jingga memeluk kekasihnya sekejap.

"Kamu kenapa?" tanyanya penuh kehati-hatian, dengan nada yang sangat lembut.

Gadis itu bergeming, tak menjawab. Perlahan, buliran air mata yang tadinya ia tahan mulai berjatuhan, mengalir di pipinya.

"Jangan nangis, sayang..." bisik Jingga dengan lembut, sambil sedikit membungkukkan badannya menyamai Kalana.

Jingga terlihat panik saat melihat Kalana tiba-tiba menangis. Ia mengusap air mata gadis itu, kemudian membenamkan kepala Kalana dalam pelukannya, mencoba memberikan rasa aman yang ia butuhkan.

Namun, saat itu juga Jingga berpikir, tak biasanya Kalana hanya diam saja ketika ditanya olehnya. Biasanya, gadis itu akan selalu berisik dan terus terang, menceritakan segala isi hati dan pikirannya yang sedang kacau.

"Ada omongan mama yang bikin kamu tersinggung ya kemarin?" ucapnya perlahan, dengan perasaan bersalah.

"Sayang.."

Jingga mengangkat kepala Kalana, agar gadis itu menatap kedua manik matanya.

"Orang tua kamu sesayang itu sama kamu," ucap Kalana, masih tersedu, air mata mengalir perlahan di pipinya yang pucat.

"Aku gak mau ngambil kamu dari mereka, aku juga gak mau nambah beban hidup kamu..." lanjutnya dengan suara yang nyaris patah, penuh rasa bersalah yang mendalam.

Jingga menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya dengan gusar. Dia tak marah, hanya sedikit kesal mendengar jawaban itu keluar dari mulut kekasihnya.

"Sebelumnya, aku minta maaf ya sayang," Jingga memulai, suaranya lembut tapi penuh ketegasan.

"Harusnya kamu udah paham, kamu sama ortu aku tuh beda. Mereka mungkin mikir nanti aku bakal ninggalin mereka. Tapi pada akhirnya, semua orang bakal ditinggalkan, kan? Ntah itu karena maut ataupun karena keadaan." Ia menggeleng pelan, mencoba meredakan keresahan di hati Kalana.

"Dan, aku heran, kok bisa kamu mikir kamu ngebebanin aku? Justru, aku seneng kalau kamu bisa ngasih tau semua hal tentang kamu ke aku." Kalimat itu terucap dengan ketulusan, membawa harapan agar Kalana merasa lebih lega.

Jingga mendekatkan diri, menatap dalam mata Kalana, berharap kata-katanya bisa menghapus kegelisahan yang membayangi pikiran gadis itu.

Kalana terdiam, mencoba mencerna kalimat yang keluar dari bibir kekasihnya. Ada rasa hangat yang perlahan mengusir dingin di hatinya. Sejenak, ia menunduk, menatap tangan Jingga yang masih menggenggam erat jemarinya. Rasa bersalah dan ketakutan yang selama ini menghantuinya mulai memudar, digantikan oleh perasaan nyaman yang pelan-pelan merayap masuk.

Jingga, melihat respons Kalana, kembali tersenyum. Ia meraih tangan Kalana, menggenggamnya lebih erat.

"Jangan mikir gitu lagi ya, cantik? Aku gak bisa liat kamu cemberut, terus tiba-tiba ilang seharian," goda Jingga, sambil mencolek pipi chubby Kalana.

Mendengar itu, Kalana memukul pelan dada Jingga, membuat sang pemilik sedikit kesakitan. Namun bukan Jingga jika tidak 'modus', dia mendramatisir kesakitannya agar bisa dipeluk Kalana.

"ekhem," deham seseorang saat Kalana dan Jingga berpelukan.

"Kalau kalian lupa, ini masih area kampus ya, tolong jaga sikap."

Iya, salah satu dosen tak sengaja memergoki mereka.

"Kasih E aja, miss, apalagi Jingga tuh." ucap Gewa, yang ternyata ada di belakang dosen tersebut. Ia sedang membantu dosen tersebut membawakan berkas.

"Gak sopan sama jomblo," lanjutnya.

"Apa sih lo, penjilat-" cerca Jingga, yang untungnya berhasil dibekap oleh Kalana. Jika tidak, mungkin saja mereka sudah bertengkar di tempat dan benar-benar akan mendapatkan nilai E.

"Jangan diulang ya, Kalana, Jingga." pungkas dosen tersebut sebelum akhirnya berjalan pergi meninggalkan tempat, disusul dengan Gewa di belakangnya. Meskipun saat sebelum meninggalkan sepasang kekasih itu, Gewa sempat memukul bokong Jingga dengan tumpukan berkas di tangannya, yang dibalas oleh Jingga dengan tendangan pada kaki Gewa.

"Udah, sayang ih," ucap Kalana, sambil menarik tangan Jingga.

Kalana menatap Jingga dengan mata yang sedikit sembab, tetapi ada senyum tipis yang menghiasi wajahnya. Mereka berjalan perlahan, menikmati setiap langkah yang diiringi desiran angin dan gemerisik dedaunan.

"Jingga.."

"Iya, sayangku?"

"Makasih ya, karena selalu berusaha ada buat aku,"

Jingga berhenti sejenak, memegang kedua bahu Kalana, menatap dalam-dalam ke matanya.

"Even if tomorrow is the end of my day, I want to give that day to you, babe," ucapnya,

"I'm always here for you."

Kalana tersenyum, dia mengangguk pelan, merasakan kehangatan yang menenangkan mengalir dari tangan Jingga ke tubuhnya.

Mereka melanjutkan langkah.

Matahari perlahan tenggelam, menciptakan gradasi warna yang indah di langit. Jingga memandang langit, merasakan ketenangan yang jarang ia rasakan. Ia tahu, perjalanan mereka mungkin tidak selalu mudah, tetapi selama mereka bersama, tidak ada yang mustahil.

Dan di bawah langit senja itu, dengan angin yang menghembus lembut dan suara gemerisik dedaunan yang menenangkan, Jingga dan Kalana menemukan kekuatan baru untuk menghadapi segala tantangan yang ada di depan mereka.

Because the love they have, is a love that not only unites, but also strengthens.

SWASTAMITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang