8

1.7K 215 23
                                    

~ Enjoy it guys~

Suasana semakin mencekam. Bahkan suara jam dinding yang terpasang ditengah ruangan terdengar dengan jelas.

"Ya, kau lebih berhak. Tapi aku juga berhak untuk mengetahui alasan kau memarahi Kaivan." Garvi masih dengan pendiriannya. Ia melirik Jessie yang berdiri tidak jauh dari Elisa.

"Buka jaketmu." Tama berbicara dengan tegas pada Kaivan. Sedangkan yang diperintah hanya menunduk, tak berani melakukan apapun.

"Apa papa harus mengulanginya sebanyak dua kali, tiga kali, lima kali, atau lima puluh kali Kaivan?" Tama kembali berbicara. Semakin membuat Kaivan takut. Ia melirik kedua kakaknya dengan sekilas.

Pandangan Garvi berganti menatap kearah adiknya. Ia menangkap pergerakan kedua tangan adiknya yang bergerak gelisah. Otaknya berpikir apa kesalahan yang dilakukan adiknya itu.

Tak mendapat pergerakan dari anaknya, Tama bergerak maju. Melepas jaket yang dikenakan Kaivan dengan paksa lalu melemparnya kasar. Di sudut ruangan Jessie melihat semua pergerakan itu dengan detail.

Tama menarik tangan kiri Kaivan. Menekan pergelangan tangan anaknya dengan keras.

Akhh

Ringisan itu keluar dari mulut Kaivan. Garvi dengan cepat melangkah mendekat begitu juga dengan Jessie.

Sesaat Garvi mencoba memahami situasi, di waktu bersamaan Jessie mengambil tangan kiri Kaivan dari pegangan papanya. Ia membawa tangan itu lebih dekat, matanya memperhatikan dengan lebih jelas. Tiga detik kemudian, Jessie menatap kearah Kaivan. Selanjutnya ia melepaskan tangan itu tanpa berucap apapun.

Garvi menoleh kearah Jessie mencoba mencari jawaban dari temuan adiknya.

"Dia menyayat lengannya sendiri." Ucap Jessie dengan nada lirih. Untuk beberapa alasan ia paham kenapa papanya bisa semarah ini.

Mendengar ucapan Jessie membuat Garvi membulatkan mata tak percaya. Sekarang giliran ia yang menarik tangan adiknya, memperhatikan dengan detail.

"Kenapa kau melakukan itu?" Garvi bertanya. Menatap lurus kearah Kaivan yang terus menuduk. Ia sedang tersudut, semua kemarahan tertuju padanya.

"Kakak sedang bertanya denganmu, Kai. Kau tak punya mulut?" Garvi menuntut jawaban dan tak menerima alasan apapun.

"Ma-af." Ucap Kaivan terbata. Ia semakin menundukkan kepalanya serendah mungkin.

Garvi menghela napas berat, kepalanya mengadah keatas.

"Apa yang kau pikirkan hingga melakukan hal semacam ini?" Tanya Garvi.

"Tidak. Bukan apa-apa." Kaivan mencoba mencari jawaban apapun.

"Feri, hubungi dokter, suruh cepat kemari. Termasuk psikolog. Aku harus mengetahui kejiwaan anak ini." Tama memerintahkan asisten pribadinya yang sedari tadi berdiri di dekat pintu. Tanpa diperintah dua kali, Feri melaksanakan titah tersebut.

"Aku tidak gila pa!" Seru Kaivan. Suaranya tiba-tiba meninggi.

Tama menoleh kearah Kaivan. Baru pertama kali anak bungsunya itu berani melawan.

"Jika tidak gila, kenapa kau menyayat tanganmu sendiri hm?" Tama bertanya dengan santai. Kedua tangannya masuk di saku celana. Intonasi bicaranya memang santai, tapi kedua mata pria itu menatap tajam kearah lawan bicaranya.

"Kau depresi? Frustasi? Ingin bunuh diri?" Tama kembali mencerca banyak pertanyaan.

"Jika saja papa tak memegang tanganmu hari ini, mungkin kau akan terus menyembunyikannya. Atau bahkan karena kau terlalu lihai menutupi, papa akan baru mengetahui saat kau telah mati."

"Kau tak lihat mamamu sedari tadi hanya diam saja melihat kelakuanmu? Ia memang diam, tak marah seperti papa dengan amarah yang menggebu. Tapi coba tanya, apa hatinya tidak sedih?" Tama kembali bicara. Suaranya mengisi ruangan yang lenggang itu.

"Bagaimana perasaannya saat mengetahui ternyata anak yang dulu susah payah ia lahir dan besarkan ternyata diam-diam menyakiti dirinya sendiri."

Ucapan Tama tak ada satupun yang ingin menyanggah. Garvi dan Jessie memilih diam. Elisa hanya menatap lurus kearah Kaivan. Netranya memang memancarkan kekecewaan. Selebihnya, wanita itu banyak diam.

"Tidak, bukan itu maksudku." Kaivan mencoba meluruskan permasalahan.

"Ma." Panggil Kaivan. Ia melangkah mendekati sang mama.

"Pergi ke kamar. Mama tak ingin melihatmu." Elisa berucap untuk pertama kali setelah sejak tadi diam.

Kaivan mematung. Ia ingin menjelaskan tapi mamanya tidak mau mendengarkan.

"Pergi ke kamar, Kai. Jangan melawan." Garvi angkat bicara. Itu solusi untuk tidak memperpanjang masalah.

"Maaf, ma." Kata Kaivan. Ia melangkah kearah kamarnya dengan lesu.

"Anak itu benar-benar berandal." Ucap Tama. Ia melepas kancing jasnya dengan kasar, lalu melemparnya ke sofa.

"Memang apa yang kurang kuberikan untuknya? Apapun yang ia inginkan selalu aku wujudkan." Tama tak habis pikir dengan kelakuan anak bungsunya itu.

"Mungkin saja ia memang frustasi." Celetuk Jessie. Akhirnya ia bisa duduk di sofa setelah kejadian menegangkan yang baru saja terjadi.

"Banyak orang frustasi di dunia ini, bukan hanya dia. Banyak orang susah di dunia ini, bukan hanya dia." Tama menjawab dengan memberi alasan yang rasional.

"Bunuh diri bukan solusi untuk menyelesaikan masalah. Hidup memang untuk menghadapi serangkaian masalah."

"Hari ini, ia menyayat tangannya. Besok, bisa jadi ia meminum racun. Besok lusa, bisa jadi ia lompat dari gedung. Jika semua sudah dilakukan, tapi ia tak kunjung mati yang ada malah menyusahkan orang lain."

"Manusia memang membutuhkan orang lain. Tapi, dalam menjalani hidup jangan menyusahkan orang lain."

"Aku, kau, semua orang punya masalah dengan porsinya masing-masing. Tak perlu berlomba masalah siapa yang paling berat dan rumit. Tapi berlombalah untuk menyelesaikan masalah dan menjadi manusia sebenar-benarnya. Sebaik-baiknya."

Garvi terdiam mendengar ucapan papanya yang memang kelewat benar. Jessie menutup mulutnya rapat.

"Setelah ini, aku akan mencoba berbicara dengan Kai." Garvi memutuskan jalan tengah.

"Jika dokter sudah datang, suruh segera periksa Kai. Nanti malam, ia harus pergi ke rumah sakit menemui Dokter Julius." Kata Tama lalu pergi meninggalkan ruangan bersama istrinya menuju kamar. Meninggalkan Garvi dan Jessie dalam keheningan di ruangan lenggang itu.

-

Syudahh yaaa. Kapan-kapan lagi

Next? Comment and Vote

Salam Rynd🖤

KALOPSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang