~Enjoy it guys~
Festival film Venesia sudah berlangsung tiga puluh menit yang lalu. Acara ini menampilkan berbagai produksi teater, budaya, sinematik, artistik, serta musik yang menarik banyak wisatawan.
Tama beserta istri dan ketiga anaknya berada dikursi VVIP. Mengocek sedikit euronya tak menjadi masalah.
Kaivan memortet pertunjukkan yang sedang berlangsung. Ia menoleh ke kanan karena merasa ada yang memperhatikan, menatap kearah Jessie.
"Kenapa kak?" Tanya Kaivan mengangkat sebelah alisnya.
Jessie menggeleng. Ia mengusap lembut surai adiknya. "Hari ini kau bahagia?" Tanya perempuan itu.
Mendengar pertanyaan itu, Kaivan terdiam. Ia menatap kearah kakak perempuannya dan pertunjukan yang ada didepan dengan bergantian.
Bahagia? Apa yang dimaksud bahagia? Apa arti definisi bahagia menurut kakaknya?
Beberapa pertanyaan memenuhi benaknya. Apa dirinya bahagia karena berlibur di Venesia? Apa dirinya bahagia karena liburan mereka dimajukan satu minggu? Atau apa dia bahagia karena melihat festival film malam ini?
"Ya." Kaivan mengangguk, menjawab pertanyaan itu dengan singkat.
✨️
Pagi ini, Kaivan sudah bersiap dengan hoodie dan celana jeans berwarna navy. Ia menyambar kamera yang terletak di atas laci sebelum meninggalkan kamar.
Ia mengetuk pintu di sebelah kiri kamarnya. Menunggu beberapa saat sebelum orang di dalam memberi jawaban.
"Masuk, Kai." Ucap Garvi. Laki-laki itu baru menyelesaikan acara mandinya, mengusak rambut yang masih basah.
"Kau ingin camilan atau makan? Akan kakak pesankan." Tanya Garvi.
"Aku sudah makan." Jawab kaivan.
"Oh ya?" Garvi bertanya lagi.
Kaivan mengangguk. "Pagi tadi aku makan bersama papa dan mama."
"Apa mereka sudah siap?" Garvi sibuk mencari pakaian yang cocok untuk tujuan berlibur mereka.
"Ya, hanya menunggu kau lalu kita bisa berangkat." Kaivan menunggu dengan mengelilingi kamar kakaknya.
"Aku mendengar kau membeli kapal pesiar." Kaivan membuka percakapan setelah kakaknya sudah berganti pakaian dan bergabung bersamanya.
"Mendengar dari siapa?" Tanya Garvi. Ia menoleh sejenak sebelum menata rambutnya lagi.
"Papa." Jawab Kaivan singkat.
"Untuk apa kau membelinya?" Tanya Kaivan, mencari jawaban langsung dari mulut kakaknya.
"Hanya ingin. Kau mau dibelikan juga?" Garvi memakai sepatu putih yang dibelinya bulan lalu.
"Aku tidak membutuhkan itu." Balas Kaivan menggeleng.
✨️
Palazzo Grassi menjadi salah satu tempat mewah yang populer dikalangan aktor, kritikus, selebritis, serta orang berpengaruh dari berbagai bidang. Bangunan museum seni yang super megah itu diresmikan tahun 2006. Menampilkan arsitektur yang luar biasa dengan menyajikan pameran kelas atas membuat banyak orang menjadikan tempat ini sebagai tempat yang wajib dikunjungi dalam daftar tour mereka.
Garvi memandang salah satu lukisan yang ada didepannya. Ia mengeluarkan ponsel lalu memotretnya. Kembali berjalan setelah memastikan hasil jepretannya sudah menangkap gambar dengan jelas. Kakinya melangkah kearah Jessie, adik perempuannya.
"Bagaimana pekerjaanmu selama berlibur disini?" Garvi bertanya pelan. Ia tak menatap adiknya, hanya sama-sama memandang kearah satu lukisan.
"Baik-baik saja. Aku sudah menyelesaikan semua syutingku sebelum kemari. Termasuk iklan produk dan beberapa pemotretan brand." Jawab Jessie. Setelah berucap ia mengangkat kameranya dan membidik ke sudut lukisan yang menarik perhatiannya.
"Kenapa? Pekerjaanmu ada masalah?" Jessie menoleh kearah kakaknya.
"Tidak, bukan begitu. Hanya saja, aku memiliki klien yang sedikit membuatku repot." Garvi mulai bercerita.
"Repot bagaimana maksudmu?" Tanya Jessie. Ia sudah tidak tertarik dengan lukisan di ruangan ini. Menurutnya, gosip dari kakaknya jauh lebih menarik.
"Dia wanita yang kutemui di salah satu bar saat aku berada di Las Vegas." Garvi memulai sesi curhatnya.
"Lalu?" Jessie mencoba mengulik gosip lebih dalam. Semakin pelan suara pembicaraan mereka, maka semakin valid gosipnya.
"Sebelumnya aku tak menyadari jika ia akan menjadi klienku dan beberapa hari lalu sekretarisku menjelaskan semuanya. Ia wanita yang agresif, aku tak suka."
"Maka kau harus menjauhinya." Jessie memberikan saran yang menurutnya paling sederhana.
"Aku sudah melakukannya sejak jauh hari, kau tak perlu mengajariku." Garvi membalas dengan sinis. Adiknya itu seperti meremehkan dirinya.
"Lalu, sekarang apa yang kau pikirkan? Kau hanya perlu memperingatkannya untuk tidak mendekatimu. Bilang saja, kau sudah punya pacar." Jessie mencoba memberikan saran lainnya.
"Dia lebih gila dari yang kau pikir, Jes." Sahut Garvi. Hanya membayangkan wanita itu saja, ia sudah mengacak-acak rambutnya. Frustasi.
"Maka kau bilang saja kau sudah punya istri dan anak tiga, begitu saja." Mendengar celetukan Jessie membuat Garvi menatap sinis. Inginnya ia mencekik kalau tidak ingat jika didepannya itu adiknya. Sabar.
Setelah itu tak ada pembicaraan lagi. Garvi dan Jessie kembali berjalan ke lorong selanjutnya yang memamerkan pameran seni lainnya.
"Kita pulang sekarang." Ucapan dengan intonasi datar itu membuat Garvi dan Jessie menoleh serempak.
Tama, Elisa, dan Kaivan berdiri dihadapan keduanya. Garvi menajamkan pandangan kearah adik bungsunya. Kaivan, menangis? Kenapa? Ada jejak air mata yang membasahi pipinya.
Selanjutnya, Garvi menoleh kearah Jessie. Mencoba mengirim sinyal waspada kearah adiknya.
"Ya, kita pulang sekarang." Jessie membuat keputusan.
✨️
Perjalanan dari Palazzo Grassi ke hotel sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya dua puluh menit. Tapi entah kenapa, atmosfir di dalam mobil yang mencekam membuat perjalanan itu terasa lebih lama.
Apalagi, Tama yang mengendarai mobil dengan gesit membuat semakin jantungan saja. Elisa bahkan tak menyuruh suaminya untuk mengurangi kecepatan. Jessie menoleh ke belakang, ada dua mobil bodyguard yang mengikuti mereka termasuk satu mobil lainnya yang berada didepan untuk membuka jalan. Selanjutnya Jessie menoleh kearah Garvi mencoba bertelepati dan memikirkan kemungkinan apa yang membuat papanya bisa semarah ini.
Garvi yang dituntut untuk berpikir pun semakin bingung. Ia hanya mengangkat bahu sebagai jawaban dari tuntutan pertanyaan adik perempuannya itu. Garvi hanya mencoba memenangkan Kaivan. Sejauh ini, hanya itu yang bisa ia lakukan.
BRAK!
Pintu kamar dibanting dengan keras. Jessie mengelus dadanya kaget. Ia menarik ujung jas kakaknya dengan kasar.
"Apa yang terjadi?" Bisiknya.
"Simpan pertanyaanmu itu dan dapatkan jawabannya saat sudah didalam, Jes." Balas Garvi. Sebagai anak sulung, ia harus sigap dalam segala situasi dan kondisi.
"Untuk sekarang jangan banyak bicara." Lanjutnya. Ia menyusul dengan cepat langkah papanya yang menarik Kaivan.
"Pa!" Seru Garvi. Mencoba meredakan amarah papanya.
"Kau tak perlu bertindak kasar pada adikku." Lanjutnya. Matanya menatap tajam kearah sang papa.
Tama terkekeh pelan, "Tutup mulutmu. Dia anakku, kau hanya kakaknya. Aku lebih berhak melakukan apapun."
-
Kalian penasaran kelanjutannya gimana? Sama, aku juga penasaran.
Next? Comment and Vote
Salam Rynd🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
KALOPSIA
Teen FictionBersembunyi dibalik puluhan bidikan kamera dan menjadi bayangan ditengah gemerlapnya kepamoran yang membuat banyak orang terkesima. Dia Kaivan, sosok yang disembunyikan. ❌Dilarang keras menjiplak dan meniru isi cerita dan alur. Karya ini memiliki ha...