~ Enjoy it guys~
Pintu kamar Kaivan diketuk dua kali, Jessie masuk setelah mendengar sahutan dari dalam.
Kaivan sedang duduk di kursi dengan tangan yang sibuk memegang kamera. Sepertinya, anak itu sedang melihat-lihat hasil jepretannya. Jessie mengambil duduk dihadapan adiknya. Beberapa detik, keduanya diam. Jessie berusaha mengambil topik yang menarik untuk membuka obrolan.
"Kak, apa mama masih marah?" Tanya Kaivan. Ia meletakkan kameranya diatas meja.
"Mama tak akan pernah marah. Ia hanya kecewa, menurutku itu wajar. Besok cobalah berbicara dengannya, minta maaflah." Jawab Jessie yang dibalas anggukan oleh Kaivan.
"Kau tak perlu lagi menyembunyikan luka itu. Tak perlu menutupinya dengan apapun. Bagaimanapun juga, kau sudah tertangkap basah." Ucap Jessie.
"Ya." Kaivan menyahut dengan singkat.
Cklek
Suara pintu membuat atensi Jessie dan Kaivan menoleh kearah sumber suara.
"Malam ini kau pergi menemui Dokter Julius denganku. Tak ada bantahan. Tak ada Garvi maupun Jessie." Tama masuk dengan memberikan ultimatum. Ia duduk diujung ranjang menatap kedua anaknya.
"Tapi, aku baik-baik saja." Balas Kaivan. Ia merasa dirinya tak perlu pergi ke rumah sakit. Tubuhnya baik-baik saja, dalam artian tidak merasa sakit atau merasakan gejala apapun.
"Kau bukan dokter." Sahut Tama memfinalkan perdebatan.
"Bersiaplah sekarang. Papa tunggu sepuluh menit." Lanjut Tama. Kaivan beranjak berdiri menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Tak punya alasan lagi untuk menyanggah ucapan papanya.
✨️
Mobil hitam berkilau membelah jalanan kota Venesia. Sepasang ayah dan anak duduk di kursi penumpang bagian belakang. Sopir menyetir dengan lihai, beberapa kali menyalip satu dua mobil lainnya.
Bangunan rumah sakit berlantai sepuluh terlihat ramai. Beberapa orang nampak keluar masuk pintu utama bagian depan. Tama menggandeng tangan anaknya untuk pergi ke lantai enam, ruangan dokter yang akan mereka tuju.
Setelah sampai di depan ruangan dan sedikit berbicara pada perawat, Tama dan Kaivan masuk ke dalam.
"Hai, apa kabar?" Dokter dengan muka khas pria eropa menyambut mereka. Ia menjabat tangan Tama dengan senyum lebar yang terbit di bibir.
"Aku baik. Bagaimana denganmu?" Tama menjawab sahutan itu dengan ramah.
"Ya, aku baik. Selebihnya hanya mengurusi beberapa pekerjaan seperti sekarang." Jawab Dokter Julius.
"Wah, ini anakmu? Sudah sebesar ini." Netra dokter itu beralih menatap Kaivan.
"Halo, selamat malam." Salam Kaivan. Ia sedikit menundukkan badannya sebagai gestur sopan santun.
Dokter Julis tersenyum, ia menepuk dua kali pundak Kaivan. "Selamat malam."
"Aku sudah menerima semua rekam medis milik anakmu. Kita bisa melakukan pemeriksaan sekarang untuk menghemat waktu." Dokter Julius menatap Tama, adik tingkatnya saat kuliah tahun pertama dulu. Sebenarnya mereka kenal satu sama lain karena berada di asrama yang sama, bukan karena satu jurusan. Ia memilih kedokteran dan Tama memilih bisnis.
"Ya, itu lebih baik." Tama menyahut.
Tama menatap kearah Kaivan. "Ikuti Dokter Julius, papa akan menemanimu."
Kaivan mengangguk, ia melangkah untuk menyusul pria berjas putih itu menuju ranjang. Setelah diperintah untuk membuka jaket, Kaivan disuruh berbaring.
"Mungkin dokter sebelumnya sudah memberikan nasihat untuk tidak melakukan banyak aktivitas yang melibatkan fisik. Hanya berenang atau bersepeda itu sudah cukup." Dokter Julius menerangkan.
"Jaga pernapasanmu agar tetap stabil, jangan berlari. Istirahat yang cukup." Lanjut pria itu.
Dokter Julius bersiap membawa jarum suntik menembus kulit Kaivan. Ia melihat beberapa bekas memanjang di kedua pergelangan tangan anak itu tetapi memilih diam.
"Untuk sekarang, jantungnya tak ada masalah. Hanya saja sendinya lebih lentur dari penjelasan rekam medis yang kau berikan padaku. Kulitnya pun rapuh, mudah memar dan terluka. Harap berhati-hati dalam melakukan apapun. Jangan sampai cedera dan menyebabkan diskolasi."
Mendengar penuturan dari Dokter Julius sekaligus kakak tingkatnya, membuat Tama memasang telinganya baik-baik.
"Aku beri suntikan suplemen dan vitamin D untuk memperkuat tulangnya." Lanjut pria itu.
Tama mengangguk paham, tak memberi banyak komentar.
Dokter Julius menaikkan selimut milik Kaivan hingga sebatas dada. Membiarkan anak dari adik tingkatnya untuk beristirahat sebentar akibat efek obat yang ia diberikan.
"Berapa lama kau akan tinggal disini?" Pria itu melepas jas putihnya, meletakkan di sandaran sofa lalu duduk di samping Tama.
"Sampai pergantian tahun nanti. Kenapa?" Tama membalikkan pertanyaan.
"Datanglah ke rumahku di akhir pekan, aku mengundangmu untuk makan malam. Bagaimanapun juga beberapa tahun lalu, kami adalah teman."
Tama mengangguk menyetujui.
"Mengenai penyakit anakmu, itu sedikit sulit. Sudah banyak penelitian yang dilakukan. Tapi tak banyak membuahkan hasil."
"Aku tahu." Balas Tama singkat.
"Bagaimana kau menjelaskannya selama ini?" Tanya Dokter Julius. Ia melirik kearah Kaivan yang terlelap.
"Tak perlu dijelaskan, hanya berikan ia alasan yang cukup masuk akal mengenai penyakitnya." Tama menjawab pertanyaan dengan sederhana.
"Kau jelas paham jika penyakit anakmu itu tidak bisa disembuhkan. Ia bukan sakit demam jika diberi obat, lalu akan sembuh keesokan harinya."
Tama mengangguk. "Ya, aku tahu jelas seperti apa penyakit anakku."
-
Next? Comment and Vote
Salam Rynd🖤

KAMU SEDANG MEMBACA
KALOPSIA
Teen FictionBersembunyi dibalik puluhan bidikan kamera dan menjadi bayangan ditengah gemerlapnya kepamoran yang membuat banyak orang terkesima. Dia Kaivan, sosok yang disembunyikan. ❌Dilarang keras menjiplak dan meniru isi cerita dan alur. Karya ini memiliki ha...