CHAPTER 4

45 10 2
                                    

"SUSTER AMA?!"

Neena membulatkan matanya, terkejut oleh kehadiran tak terduga.

Tosia dan Alex, yang sedang asyik memeriksa dokumen di meja, juga terkejut mendengar Neena berteriak. Sorot mata mereka langsung tertuju pada sosok Suster Ama yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.

Suster Ama hanya memandang mereka dengan tidak percaya, "Apa yang kalian lakukan di sini malam-malam, nak?" ucapnya dengan nada kecewa, suara lembutnya memecah keheningan ruangan.

Tanpa sepatah kata, tiba-tiba, Neena mendorong Suster Ama untuk menjauh, lalu berlari dengan cepat melewati lorong.

" Minggir!!" serunya, suaranya penuh dengan kepanikan, diikuti oleh langkah kaki Tosia dan Alex yang berusaha menyusulnya.

Di tikungan lorong, mereka berpapasan dengan Suster Helena, seorang suster yang lain. Matanya terbuka lebar, melihat ketiganya berada di luar kamar mereka.

Tosia tanpa ragu mendorong Suster Helena hingga terjatuh, memberikan kesempatan bagi mereka untuk melarikan diri.

Berlari dengan cepat, diiringi suara alarm yang berbunyi di seluruh ruangan, mereka melewati lorong-lorong yang tak berujung, entah kemana tujuan mereka, bahkan sampai melewati kamar mereka sendiri.

Tak tahu arah, dengan naluri bertahan, mereka segera berlari menuju tangga ke bawah, mencari pelarian dari kebingungan yang menghantui.

Namun, di ujung tangga, mereka dihadang oleh dokter bersama beberapa suster lainnya, yang tampaknya telah mengetahui keberadaan mereka. Mereka ditangkap dengan paksa.

"Lepaskan aku, brengsek!!" teriak Tosia, amarahnya meluap.

"Heii.. bahasamu, nak!" seru salah satu suster dengan nada tegas.

Neena berusaha memberontak, tapi cengkraman suster lebih kuat darinya, membuatnya tak bisa berbuat apa-apa, begitu juga dengan Alex.

Dokter berdiam di hadapan mereka bertiga yang sudah tertangkap.

"Ini akan sedikit merepotkan," gumam dokter itu yang sedang berdiri dihadapan mereka.

Mereka bertiga hanya bisa menatap dokter dengan perasaan bingung dan ketakutan yang kian memuncak.

***

Tosia berada di dalam ruangan gelap dengan lampu redup, kursi dan meja menjadi satu-satunya perabotan di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tosia berada di dalam ruangan gelap dengan lampu redup, kursi dan meja menjadi satu-satunya perabotan di sana. Setelah beberapa saat, menyadari bahwa ini adalah ruang interogasi, dia mulai mengoceh sendiri dengan nada kesal.

Dokter tadi  adalah satu-satunya dokter yang ada sipanti asuhan ini, dia yang selalu mengecek kesehatan anak-anak.

Dokter itu sedang mengintrogasi mereka satu per satu di ruangan terpisah.

Saat giliran Tosia, pintu ruangan tempatnya terbuka dengan keras, dokter Matt memasuki ruangan dengan sebuah laptop di tangan.

Tosia hanya duduk di kursi dengan tatapan malas, sedangkan dokter Matt duduk berhadapan dengannya dengan tatapan yang berusaha terlihat ramah tapi tidak bisa menyembunyikan ekspresi kekesalannya.

"Hai, masih ingat denganku, dokter Matt? Yang selalu mengecek kesehatan kamu, Tosia?" Kata dokter itu, namanya ternyata dokter Matt, tersenyum manis.

"Terserah," kata Tosia dengan acuh tak acuh.

Dokter mengatup bibirnya, kemudian kembali tersenyum manis kepada Tosia. "Kau mau lihat apa yang kau lakukan bersama teman-temanmu tadi?" kata dokter Matt, sambil membuka laptopnya dan mengarahkannya kepada Tosia.

Tosia menatap dingin ke arah laptop tersebut.

Video diputar oleh dokter Matt, menampilkan adegan ketika mereka bertiga, Toisa, Neena, dan Alex sedang menggeledah dan menjelajahi setiap ruangan, membaca berkas-berkas, hingga akhirnya mereka ketahuan oleh Suster Ama.

Tosia, tanpa sadar, fokus menonton video tersebut dengan serius, tiba-tiba dokter Matt menutup laptopnya agak keras, membuat Tosia terlonjak.

"Jadi, bagaimana menurutmu?" tanya dokter Matt dengan tatapan mengintimidasi ,mencoba memancing reaksi dari Tosia.

"Terserah," kata Tosia lagi.

Dokter Matt tertawa pahit, lalu menatap Tosia dengan tajam, "Apa yang kalian lakukan malam tadi, hmm?. "

Tosia tetap diam, wajahnya masih mempertahankan ekspresi dingin.

"JAWAB!!" bentak dokter.

"KELUAR DARI SINI, BRENGSEK!!" teriak Tosia tidak mau kalah saat dokter membentaknya.

Dokter Matt memiringkan kepalanya, lalu  menyipitkan matanya, "uhuh... Bahasamu, nak..." ucap dokter Matt dengan tenang.

" Terserah!!, karena kau  psikopat!" sahut Tosia dengan nada tajam, mencondongkan dirinya ke wajah dokter Matt.

"Mengapa kau mengatakan seperti itu?" tanya dokter Matt pura-pura penasaran.

"Kau membunuh ayahku!! kau juga menculik ibuku! Dan kau membawaku ke sebuah tempat yang jauh, kepanti asuhan sialan ini!" geram Tosia, menyatakan kekesalannya.

"Apa?" gumam dokter Matt, terkejut mendengar tuduhan itu.

"Kau salah satu dari mereka! Aku tahu itu! Maka kau juga termasuk salah satu yang membunuh ayahku!" lanjut Tosia, semakin marah.

Dokter Matt menatap Tosia dengan serius, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

"Dan sekarang aku berhak atas kebebasan! Kau telah merampas semuanya! Kalian semua bukan orang-orang yang peduli terhadap kami!" seru Tosia, membela diri dan anak-anak lainnya.

Dokter Matt tertawa pahit, "Kau tahu... sikapmu mengingatkanku pada seorang bocah yang hampir menghancurkan tempat ini," katanya dengan nada dingin.

Tosia tidak mau terlihat takut padanya, menatapnya dengan tajam, seolah-olah dia bukanlah orang yang lemah.

"Dan aku khawatir kau akan menjadi seperti itu juga."

Meskipun Tosia tetap diam, namun penjelasan dokter Matt membuatnya penasaran.

Dokter Matt bangkit dari kursinya dengan malas, "Mungkin kalian bertiga akan ditempatkan di ruangan paling bawah, untuk sementara..." ucap dokter Matt, berjalan ke arah pintu. "...Mungkin. jika kalian tidak berulah lagi," ujarnya sebelum benar-benar pergi.

Tosia merasakan amarahnya yang memuncak, emosinya tak terkendali. Dia mengerang dan melemparkan meja yang berada di depannya.

"Dokter bodoh!" desis Tosia dengan geram.

***

THE MUTANT ( In the orphanage )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang