CHAPTER 11

28 10 1
                                    

Tosia merasa seperti terjebak dalam sebuah mimpi yang tak berujung. Dia terbangun dari pingsannya, hanya untuk menemukan dirinya terperangkap dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan. Tatapannya kosong memandang langit-langit ruangan, mencoba untuk menemukan sedikit pun kelegaan dalam pikirannya yang kacau.

" Syukurlah, ini hanya mimpi..."

"Ini bukan mimpi!" seru Neena dengan suara yang tegas, mengganggu lamunan Tosia.

Tosia menoleh ke arah Neena yang duduk di sampingnya dengan wajah pucat. Matanya mulai terfokus pada Neena yang sibuk menulis sesuatu di notebooknya.

Tosia merasakan frustrasi memenuhi dirinya. "Aarghh!" dia meremas rambutnya dalam keputusasaan.

Neena mengangkat kepalanya, matanya penuh perhatian saat dia memandang temannya yang tampak begitu terpukul.

"Berapa lama aku pingsan?" bisik Tosia dengan suara lemah.

"Seharian, kurasa," jawab Neena dengan suara rendah, matanya masih tetap terfokus pada notebooknya.

Tosia akhirnya bangkit dari ranjangnya dengan tubuh yang gemetar. Dia melangkah menuju pintu kamarnya, menatap keluar melalui jendela kecil di pintu.

"Ooh..., Suster Ama..." gumam Tosia dengan nada sedih, melihat suster Ama yang terpotong setengah tubuhnya tergeletak di luar kamar. Mutant-mutant liar masih berkeliaran tanpa tujuan di sekitar panti asuhan yang sunyi dan mencekam. Terdengar juga suara tangisan anak-anak dari kamar sebelah, memohon pertolongan yang tidak kunjung datang, tapi suara mereka kini terdengar lemah.

Sementara itu, Neena terus sibuk menulis di notebooknya, tanpa peduli akan keadaan sekitarnya.

Tosia kembali duduk dipinggiran ranjangnya, merenung, menatap lantai dengan pandangan kosong.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanyanya dengan nada lemas, rasa ketakutan dan keputusasaan terpancar jelas dari suaranya.

Neena menghentikan aktivitasnya, matanya bertemu dengan mata Tosia yang penuh kekhawatiran.
"Aku tidak tahu, kita bahkan tidak tahu apakah kita akan bertahan di sini untuk beberapa hari," jawab Neena dengan suara rapuh.

Keduanya terjebak dalam situasi yang mencekam dan tanpa harapan. Mereka terjebak di dalam kamar yang tidak bisa mereka keluar, dikepung oleh mutant-mutant ganas yang terus mengintai setiap gerakan mereka. Dan dengan tiada harapan untuk mencari bantuan atau pelarian, mereka terpaksa merelakan diri mereka tenggelam dalam ketakutan dan ketidakpastian yang mengancam nyawa mereka setiap detiknya.

Hari terus berlalu,  namun suasana mencekam tak pernah reda. Suara-suara menyeramkan terus menghantui ruangan gelap panti asuhan yang sunyi. Di antara rasa lapar yang tak tertahankan, mereka berusaha bertahan, berharap bahwa mungkin, esok akan membawa kelegaan yang mereka tunggu-tunggu.

Disaat kehausan, mereka biasanya menjilat embun yang mengumpul didinding kamarnya yang lembab, mencoba menahan rasa haus mereka yang tak terobati.

Meski begitu, mereka belum makan apapun selama berhari hari. Tubuh mereka semakin melemah, energi mereka semakin menipis.

Maka dari itu, ketika rasa lapar menghantui, mereka memutuskan untuk tidur, mencoba untuk melupakan rasa lapar yang terus menggerogoti.

***

Suasana kamar mereka begitu senyap, hanya dipecah oleh gemuruh para mutant yang masih tersisa di dalam panti asuhan ini.  Dinginnya ruangan membuat napas mereka terlihat seperti asap di udara lembab. Sudah sekitar 4 hari mereka terjebak di sana, tanpa makanan, tanpa air, tanpa harapan.

Tosia bangun dari tidurnya, membuka matanya perlahan, dan tatapan paniknya segera tertuju pada Neena yang duduk di atas ranjangnya dengan senyum yang begitu lebar, menyeringai seperti hantu yang menghantui malam.

THE MUTANT ( In the orphanage )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang