CHAPTER 2

57 10 0
                                    

Tosia memulai aksinya dengan tekad yang kuat, mencoba dengan keras untuk meloloskan diri dari kamar kecil yang menjadi penjara bagi dirinya. Dengan penuh upaya, dia mencongkel lubang kunci pintu besi itu. Namun, usahanya sia-sia. Selama berjam-jam, dia terus berjuang, hanya untuk dihadapkan dengan kegagalan yang terus-menerus.

Akhirnya, rasa putus asa menyelimuti Tosia. Dengan mengerang, dia menyerah, melempar jepit rambut neena dengan frustasi yang tak tertahankan. Neena, yang menyaksikan perjuangan Tosia dengan kantuk yang menghantui, duduk di ranjangnya.

"Menyerah..?" tanya Neena dengan suara mengantuk.

Tosia menghela nafas panjang, menaiki ranjangnya yang terpisah beberapa jarak dengan ranjang milik neena. Matanya menatap langit-langit kamar kecil yang menyimpan begitu banyak pikiran yang berkecamuk di dalamnya.

"Coba tebak!, berapa kali aku terus mencoba untuk keluar dari sini?" ucap Tosia dengan nada yang terdengar penuh keputusasaan.

"Eumm.. sejak pertama kali kau datang kesini. Mungkin sekitar 4 tahun yang lalu," jawab Neena.

Tosia menatap Neena, ingin mencari pengetahuan di balik raut wajahnya yang kusut oleh kelelahan. "Menurutmu, apakah aku terlihat menyerah sekarang?" tanya Tosia lagi, mencari konfirmasi dalam kata-kata Neena.

"Sedikit, tapi aku bisa menebak. Besok kau pasti akan berulah lagi," kata Neena dengan nada yang penuh pengertian, meskipun didominasi oleh kantuk yang merayap.

Tosia tersenyum getir, namun kesedihan masih terpancar jelas dari matanya yang lelah.

"Kau masih ingat apa itu pohon?" tanya Tosia, mencoba memecah keheningan yang menyelimuti kamar kecil mereka.

"Sebuah benda menjulang tinggi dengan dihiasi selembar yang berwarna hijau?" jawab Neena dengan candaan, mencoba membawa sedikit keceriaan ke dalam suasana.

Tosia tertawa kecil. " Rumit sekali penjelasanmu. Jawab saja sebuah tumbuhan dengan daun yang berwarna hijau," ucap Tosia sambil terkekeh sendiri.

Neena mengangguk, tersenyum pahit. "Ya, aku tau."

"Aku kira kau akan lupa dengan benda itu," kata Tosia dengan nada sedikit menyindir.

"Tidak.. aku tidak lupa."

Tiba-tiba, sebuah kertas dengan pulpen meluncur masuk dari celah bawah  pintu kamar mereka, memecah keheningan yang menggelayuti mereka.

"Apa itu?" tanya Neena dengan keheranan, mendekati selembar kertas yang muncul tiba-tiba.

Tosia diam, mengambil kertas itu dan membacanya dengan cermat. Tulisan jelek di atasnya membuatnya merasa terheran-heran.

"Kau bisa baca, Tosia?" tanya Neena, matanya melihat ke arah kertas yang dipegang Tosia.

"Tentu.. memangnya aku bodoh," geram Tosia, muak dengan pertanyaan konyol neena.

Tosia duduk di tepi tempat tidurnya, menggenggam selembar kertas itu. Neena berdiri di sebelahnya, juga memperhatikan isi surat tersebut dengan perasaan penasaran yang sama.

"Hai.. namaku Alex," Tosia membacakan dengan jelas.
"Aku berada di kamar tepat di seberang kamar kalian. Aku selalu mendengar kegaduhan kalian berusaha untuk pergi dari sini, bukan?"

Neena mengangguk setuju, menunjukkan ketertarikannya pada tulisan yang diucapkan temannya.

"Aku pikir hanya aku yang begitu.
Karena kita memiliki tujuan yang sama, maukah kita bekerja sama untuk keluar dari sini?,
Aku sudah siapkan pulpen dan kertas kosong untuk kalian balas. Jangan lupa untuk berikan lagi kepadaku! ," Lanjut Tosia, matanya bergerak dari baris ke baris, mencerna setiap kata dengan hati-hati.

Tosia mengernyitkan dahinya, mencoba memahami maksud dari tulisan Alex. Sementara Neena, menoleh ke arah jendela kamar sebelah dengan rasa penasaran yang tak terbendung.

"Apakah dia seorang laki-laki?" Tanya Neena, suaranya penuh dengan kekaguman akan misteri yang ada di balik tulisan itu.

"Tentu, terlihat dari namanya 'alex' , sepertinya laki-laki." jawab Tosia, menatap surat sekali lagi untuk memastikan informasi yang tertera di sana.

Neena mengangguk, membenarkan dugaannya. "Jadi, apa yang harus kita lakukan? Membalas suratnya?" lanjutnya.

"Iya," sahut Tosia dengan mantap. "Dia menyuruh kita untuk membalas suratnya."

Tanpa menunda lebih lama, Tosia mulai menulis tanggapan mereka di selembar kertas kosong yang tersedia. Neena memperhatikan dengan penuh antusiasme, membaca setiap kata yang ditulis oleh Tosia dengan teliti.

--Lalu, bagaimana caranya? --

Itulah yang ditulis oleh tosia.

Tosia melipat kertas tersebut dengan hati-hati dan menyelipkan pulpennya disana, lalu melemparkannya ke celah  bawah pintu dengan harapan surat tersebut akan sampai ke tujuan dengan baik. Namun, ketika kertas itu terhenti di tengah-tengah, kepanikan mulai menyelimuti mereka.

"Ouhh sial!!" geram Neena, mencerminkan kekecewaannya atas kegagalan tersebut.

Namun, kekhawatiran mereka tidak berlangsung lama karena tak lama kemudian, Alex berhasil meraih surat tersebut dengan alat penggaruk punggung melalui celah pintunya.

Tosia dan Neena merasa lega melihat surat mereka berhasil sampai ke tujuan. Namun, keheranan mereka tak berhenti di situ.

"Tunggu!!, bagaimana dia mempunyai barang-barang seperti itu?" heran Tosia, matanya masih terpaku ke arah kamar seberang.

"Benar, bahkan kita juga tidak memiliki sebuah kertas, apalagi penggaruk punggung," jawab Neena, memperjelas ketidakmengertian mereka atas kemampuan Alex untuk memiliki barang-barang tersebut.

"Terserahlah.. kita bisa tanyakan itu, jika dia membalas surat kita lagi," kata Tosia dengan raut wajah yang mencerminkan ketegangan. Mereka berdua mengharapkan jawaban atas pertanyaan mereka yang tak terjawab.

Tak butuh waktu lama, selembar kertas diluncurkan oleh Alex lagi melalui celah pintu kepada Tosia dan Neena.

Dengan sigap, Tosia membuka lipatan kertas itu dan membaca tulisan jelek dari Alex.

" Aku selalu meminta barang-barang kepada suster untuk mempermudah rencana keluarku dari sini. Aku tidak bilang kepada mereka tujuanku, tapi alasan yang masuk akal.

Aku sarankan kalian untuk meminta barang kepada suster jika mereka datang ke kamar kalian. Tanyakan kepada suster Ama. Dia baik dan tidak bertanya banyak kepadaku untuk apa barang yang aku minta, atau mungkin bisa dibilang bodoh...

Ciri cirinya adalah dia memakai kacamata dan lipstik berwarna ungu."

Tosia dan Neena membulatkan mata mereka, seakan Alex tau bahwa mereka mempertanyakan hal itu sebelumnya.

"Sudah jelas!" seru Neena, penuh semangat.

Tosia tetap diam, namun ekspresinya menunjukkan bahwa ia mengerti tulisan Alex.

"Kau mau membalas lagi?" tanya Neena.

"Tidak usah, dia pasti mengerti kalau kita sudah paham. " jawab Tosia tegas.
" kita akan mencoba sarannya."

Mereka berdua menatap pintu kamar di seberangnya, meyakinkan bahwa Alex juga sedang memperhatikan mereka melalui jendela dipintu besinya.

***

Don't forget to vote, and thanks for reading ~

THE MUTANT ( In the orphanage )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang