Purnama Dua

6.3K 488 68
                                    

Seringkali kita kesulitan untuk memaknai apa-apa yang ada di sekitar kita. Sulit mengerti dengan jelas bagaimana maksud dari hadirnya sebuah bahagia maupun lara. Keliru memaknai semua itu, sampai akhirnya tinggal penyesalannya saja yang tersisa. Purnama dua, waktu di mana penyesalan dari kedua insan itu mulai terasa.

Yang perempuan, menyesal atas tindakannya yang tertekan dengan kepura-puraan lalu melampiaskan pada orang-orang di sekitar. Lalu yang laki-laki, menyesal mengapa selama ini memaksa perempuannya untuk terus bersama padahal rasa dari sang puan sudah melebur tanpa sisa. Dan keputusan awal dari penyesalan ini adalah saling menjauh, entah untuk sama-sama memperbaiki diri atau memang sudah waktunya untuk berpisah lagi.

Terlihat Salsa yang terkapar di brankar rumah sakit. Suhu tubuhnya naik dan wajahnya pucat, sebab dari hari Rabu sampai hari Minggu ini ia terus kepikiran dengan suami dan anak-anaknya. Sekalipun tidak pernah Salsa bayangkan kalau Lian akan semarah itu.

"Anak-anak aku pergi ke mana? Capek banget hidup tanpa mereka." Lirih Salsa.

Ia ditemani oleh Nabila di ruangannya. Semalam Nabila dihubungi oleh Erna kalau Salsa dirawat di rumah sakit.

"Mau apa cari mereka? Mau dipukulin lagi?" Tanya Nabila dengan ketusnya.

"Dek, aku nggak bermaksud buat lakuin itu, kemarin kelepasan. Aku sayang sama mereka."

"Udah terlambat kak buat menyesali semuanya. Kamu harusnya nggak usah pake acara sandiwara baik-baik aja di depan semua orang padahal aslinya nggak pernah sepenuhnya ikhlas buat rujuk sama kak Lian."

"Kak, dunia itu bukan cuma tentang kamu. Sakitnya kamu itu udah hampir lima tahun yang lalu. Kalau saat ini Kak Lian coba buat memperbaiki diri harusnya kamu jangan tutup mata. Dulu emang sesakit itu, tapi apa pantes kamu lampiaskan masa lalu di masa sekarang? Make sense?"

Mata Salsa memanas, teringat kejadian hari Rabu kemarin. Menelisik setiap inci dari tubuh anaknya lalu memejamkan mata saat membayangkan sakitnya.

"Temuin aku sama mereka. Aku mau minta maaf selama tiga bulan terakhir udah menyia-nyiakan kehadiran Lian dan anak-anak." Ucap Salsa yang mulai terisak.

"Nggak ada yang tau mereka di mana kak. Kayaknya Kak Lian marah banget sampe pergi jauh biar nggak ada yang tau keberadaannya." Jelas Nabila. Ia menghapus air mata Salsa yang membasahi wajah. Mau bagaimana pun, Salsa tetap kakaknya dan Nabila tidak akan tega melihat ia menangis.

"Terus gimana caranya aku minta maaf?" Nabila menggeleng.

"Nanti kita cari jalan keluarnya, kakak harus sembuh dulu biar bisa cari mereka."

Nabila yang duduk di samping brankar, memajukan posisi lalu memeluk Salsa dengan eratnya. Tubuh perempuan itu masih terasa hangat, pasti kepalanya juga sangat pusing kalau melihat dari seberapa banyak air mata yang sudah Salsa keluarkan. Beruntung kandungannya baik-baik saja.

***

"Adik, makan dulu ya nak."

Lian terkejut melihat respon Birva yang menghindar saat tangan Lian hendak mengusap rambutnya. Minggu ini kondisi Birva sudah membaik secara fisik. Lebamnya sudah sembuh dan demamnya juga sudah hilang. Tugas Lian sekarang ialah menata mental Birva agar tidak takut lagi pada orang-orang yang mendekatinya.

"Hari ini adik udah sembuh sakitnya. Harusnya lidah adik udah nggak pait buat makan. Ayo sini ayah suapin."

"Jangan ayah." Teriak Birva. Tangan Birva berusaha menutupi kepalanya, takut kalau nanti Lian melakukan seperti apa yang ia bayangkan.

"Nak? Ayah cuma mau usap kepala adik. Ayah nggak bakal apa-apain adik."

Birva mendongakkan wajahnya pelan-pelan menghadap ke arah Lian. Saat matanya bertatapan, Birva menggelengkan kepalanya dengan keras,

Sedekat Detak dan Detik 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang