Pulang

3.8K 481 205
                                    

Dari banyaknya kosa kata, mungkin yang paling susah terucap ialah kata maaf. Bisa jadi karena tidak merasa berbuat salah lalu membela diri, bisa jadi karena gengsi, atau bisa jadi pula karena seseorang itu tidak tahu diri.

Macam-macam opsi itu terus dipikirkan Salsa. Sebab sudah lima hari semenjak Birva bercerita, Lian tidak memperjelas apa-apa atau bahkan meminta maaf kalau pun memang semua hanya kesalahpahaman saja.

Tentu Salsa percaya penuh pada anaknya. Diyakinkan lagi dengan diamnya Lian. Hal-hal demikian yang akhirnya membuat perempuan itu kini merapikan pakaian. Memasukkannya ke dalam koper berukuran sedang. Tidak hanyak miliknya saja namun juga sekaligus milik anak-anaknya.

Ini hari Sabtu, tentu Lian libur dari sibuknya pekerjaan di kantor. Hingga ia dapat menyaksikan bagaimana Salsa mengemasi apa yang sudah diambil dari lemari. Laki-laki itu tetap saja masih santai di atas kasur, duduk bersandar pada headboard dengan posisi kaki lurus, sembari membaca buku tebal bertuliskan “Hukum Internasional.”

Sesekali Lian melirik Salsa yang sudah selesai berkemas. Nafas perempuan itu tersengal karena perutnya yang semakin membesar. Jadi, pergerakan sekecil apapun tentu akan berkali lipat lelah yang dirasa. Begitu Salsa menyeret koper untuk dibawa keluar, suara Lian terdengar hingga membuat Salsa menghentikan langkahnya.

“Mau ke mana?”

Salsa tidak merubah posisinya sama sekali. Tetap membelakangi Lian, “Mau pulang ke rumah Bunda. Mau ngadu kalo anaknya dikhianati untuk kedua kali.”

“Sama anak-anak? Naik apa?”

“Jelas sama anak-anak. Aku nggak mungkin tega membiarkan mereka tinggal sama Ayahnya yang cuma bisa memenuhi nafsunya doang.” Salsa meremas pegangan koper, memejamkan matanya. Takut kalau Lian akan membentak habis-habisan karena ucapannya barusan.

“Oh yaudah. Aku nggak bisa nganterin kalian ke bandara. Bentar lagi mau ketemu klien. Aku telfon Pak Janu ya biar ke sini terus nganterin kalian? Atau mau naik taksi aja?”

Kecemasan yang Salsa rasakan ternyata salah. Lian menanggapinya dengan santai namun justru lebih menyakitkan dari apa yang ia bayangkan. Kalau saja tidak ada larangan membunuh orang, mungkin ia sudah menghujamkan benda tajam untuk membungkam suaminya agar bisa diam. Benar, diam untuk selamanya hingga tidak akan ada lagi rasa sakit yang bisa Lian torehkan.

Lebih memilih diam tanpa niat untuk memberi jawaban, Salsa segera keluar dari kamar. Begitu menuruni tangga, Salsa bisa melihat kalau Bilva dan Birva sudah siap karena Salsa memberitahu kepergian hari ini dari semalam.

“Kalian udah siap?”

“Sudah.” Jawab Bilva dan Birva bersamaan.

“Ayo berangkat, kita liburan di Surabaya.”

Baru tiga kali melangkah, Salsa berhenti karena tidak mendapati pergerakan dari kedua anaknya. Bilva dan Birva masih berdiri dengan menggendong tasnya masing-masing.

“Ayo, nanti ketinggalan pesawat.”

“Ayah tidak ikut?” Tanya Bilva.

Lima hari ini mungkin terasa berat bagi Salsa. Namun bagi anak-anaknya sama saja seperti hal biasa. Terlebih Lian juga tetap berinteraksi dengan Bilva dan Birva. Hal itu yang membuat anak-anaknya merasa kalau tidak ada masalah apa-apa.

Pernah suatu hari, tepatnya dua hari lalu, mereka berada di ruang tv. Lian mengajak bicara Bilva dan Birva namun tetap mendiamkan Salsa. Begitu juga saat sarapan, tidak ada interaksi sama sekali.

“Ayah sibuk, mau sidang.”

“Ini kan hari Sabtu, memangnya hakim di pengadilan tidak liburan bersama keluarganya?” Birva menatap heran ke arah Salsa.

Sedekat Detak dan Detik 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang