*Terapi

5.3K 529 94
                                    

"Tadi Sekala ketemu sama Mamica." Ucap Sekala.

Lian dan Sekala berada di halaman belakang. Hanya ruangan terbuka yang tidak terlalu luas. Tidak ada kolam renang seperti di rumah yang biasa mereka tinggali.

Laki-laki dengan empat anak itu menempati rumah milik Adhira yang beberapa tahun lalu sempat menjadi pelindung dari panas dan hujan untuk keluarga kecil Lian dan Adhira.

"Oh iya? Di mana?" Lian menghentikan kegiatannya yang sedang membantu Sekala mengerjakan tugasnya membuat wayang

"Di tempat ayah jemput Sekala sama adik-adik. Makanya kalian nunggu lama soalnya Sekala ngobrol sama Mamica dulu." Ucap Sekala yang fokus pada kerajinan miliknya.

"Kenapa waktu ditanya Sekala jawabnya habis dari kamar mandi? Berarti Sekala bohong dong ke papi?"

Dengan cepat Sekala menggeleng, "Sekala nggak bohong kok, tadi memang habis dari kamar mandi. Waktu keluar ada mami yang jalan buru-buru terus nabrak Sekala."

"Oh gitu." Jeda, seolah Lian tidak perduli lagi padahal hatinya tidak pernah bisa bersikap tak acuh pada Salsa. Hingga akhirnya ia kembali bertanya,

"Emang ngobrol apa sama Mamica?"

"Sekala nggak mau sedih, jadi lebih baik Sekala simpan pembicaraan tadi siang. Ayah dan adik-adik nggak boleh tau."

Flashback On

"Ibu pamit ya sayang, nggak usah bilang ke ayah kalo dari tadi ibu nemenin kalian." Salsa mengusap kepala Bilva dan Alin lalu mencium dahi mereka bergantian. "Ibu tunggu sampai kalian siap buat pulang dan nemenin ibu lagi."

Salsa segera pergi sebelum Lian mendekat dan melihatnya. Jalannya yang terburu-buru, matanya yang buram karena air mata yang menggenang di pelupuknya, hingga membuatnya tidak sadar kalau di depannya ada anak laki-laki yang ia sayang.

Tubuh anak itu terjengkang sebab dorongan tubuh Salsa yang kuat.

"Sekala? Sorry Mamica nggak liat." Salsa segera membantu Sekala untuk kembali berdiri.

"Sakit Nak? Mana yang sakit?"

Sekala menggeleng, menepuk-nepuk bagian belakang celananya yang pasti kotor, "Nggak apa-apa Mamica, lebih sakit adik yang didorong Mamica ke kamar mandi."

Salsa menyejajarkan tingginya dengan tinggi Sekala. Berlutut, lalu menangkup kedua pipi anak sulungnya. Air mata Salsa turun dengan deras, bibirnya tidak mampu mengucapkan apa-apa selain isak tangisnya.

"Mamica sakit? Kenapa tangannya ada bekas suntikan?" Tanya Sekala. Wajahnya begitu khawatir saat melihat punggung tangan Salsa dan terdapat plester bekas infus.

"Mami udah sembuh, hidup Mami yang kembali berantakan Kal." Salsa menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya pada bahu Sekala.

"Jangan nangis Mami, kita semua sayang Mamica."

Sekala mengusap kepala Salsa lalu mengalungkan tangannya pada leher Salsa. Saling memeluk untuk menenangkan satu sama lain. Meskipun tidak menangis, Sekala pasti tahu bagaimana perasaan ibunya.

"Kal, pasti adik-adik benci ya sama Mami? Atau bahkan Sekala sendiri juga ikut benci karena kejadian itu. Mami cuma mau bilang, bukan kah selama ini Mami selalu memberikan cinta yang sedemikian besarnya Kal? Kenapa cuma satu kesalahan itu bikin kalian jadi benci mami sedalam-dalamnya?"

Barangkali Salsa salah mengajukan pertanyaan itu. Meskipun pemikiran Sekala lebih dewasa dari adik-adiknya, tetap saja Sekala tidak memiliki kapasitas untuk menjawab.

Sedekat Detak dan Detik 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang