Lian jahat?

4.1K 376 256
                                    

Melekat sekali dalam ingatan tentang siapa yang dulu paling gagah untuk menyampaikan perasaan. Lalu tanpa mau menyia-nyiakan, akhirnya disambut dengan antusias dalam menjemput cinta yang terucap. Kesetaraan yang kiranya akan berjalan sampai di keabadian. Namun nyatanya tidak;

Lelaki itu menjatuhkan diri pada permasalahan yang sebenarnya bisa dihindari atau kalau pun sudah terjadi, pasti bisa untuk diselesaikan saat itu juga. Seolah sengaja bak mengambil pisau lalu ia hunuskan pada jantung perempuannya. Saat itu dengan tega ia membiarkan masalah itu berlarut-larut sampai membakar kedamaian.

Tapi biarlah itu menjadi kenangan yang akan tersimpan. Meskipun sesekali berputar dalam ingatan, namun pemilik memori kelam itu berusaha untuk memaafkan agar tak sekalipun menyimpan dendam. Maka, di balik tenangnya, selalu ada alarm untuk tidak membenci manusianya.

Seperti saat ini, Lian tiba-tiba sampai di Surabaya dan menemui anak-anaknya. Salsa tentu senang karena sedari hari pertama, keluhan Bilva dan Birva adalah perihal rindu pada Ayahnya. Ia luruhkan egonya demi anak-anak. Menyambut Lian dengan senyum lebar lalu mempersilahkan masuk. Meskipun yang ia dapati ialah wajah Lian yang datar.

“Aku panggil anak-anak dulu.” Ucap Salsa.

Lian hanya mengangguk sebagia jawaban. Duduk di sofa sembari menunggu Salsa memberi tahu anak-anak kalau ia sudah datang. Beruntungnya Lian karena Bunda Salsa sedang tidak berada di rumah. Mungkin kalau ada, ia sudah terkenal sindiran atau permintaan untuk Lian mengembalikan Salsa pada Bundanya.

“Ayah!!” Bilva dengan antusias berlari dan memeluk Lian.

Begitu juga dengan Birva, melakukan hal yang sama, “Ayah, Adik kangen sudah lima hari tidak bertemu. Ayah baik-baik saja kan?”

“Ayah baik-baik aja kok, kalian gimana? Nurut nggak sama Mbah Uti?”

“Nurut kok. Tanya saja sama Ibu. Iya kan, Bu?” Bilva menegur Salsa yang hampir tenggelam dalam lamunannya. Perempuan itu berdiri tepat di pintu pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga.

“Ah? Oh, Iya. Anak-anak nurut semua kok. Paling ngeluh karena pengin ketemu kamu.”

Lian tak mempedulikan jawaban itu lalu menawarkan pada Bilva dan Birva untuk pergi jalan-jalan. Anak-anaknya tentu dengan senang mengiyakan. Meminta waktu sebentar untuk mengambil tas kecil yang terbiasa mereka bawa.

Di ruang tamu yang tidak terlalu besar itu, menyisakan Salsa dan Lian yang saling diam. Posisi Salsa benar-benar tidak berubah sama sekali. Sementara Lian memilih bersandar di sofa dan membuka ponsel tanpa niat untuk menegur atau berbincang layaknya suami istri.

"Kamu mau minum apa?" Salsa mengalah untuk bertanya lebih dulu.

"Nggak usah." Jawab Lian tanpa mengalihkan fokusnya.

"Boleh nggak kamu kasih tau salahku di mana? Biar aku bisa minta maaf atas kesalahan itu."

"Kamu pikir sendiri. Terakhir kali kamu ngomong apa di depan anak-anak? Itu yang bikin aku sakit hati."

Selagi Salsa mengingat apa yang terjadi, perempuan itu merasakan tangannya digenggam,

“Ibu kenapa belum siap-siap?” Tanya Bilva.

“Ibu diajak?” Salsa menatap Bilva lalu beralih ke Lian yang masih diam.

“Tanpa diajak pun memang sudah seharusnya Ibu ikut.”

“Betul.” Birva yang baru saja keluar segera menimpali perkataan Bilva.

“Ibu harus ikut.” Lanjutnya.

Namun, ajakan dari kedua anaknya terhenti saat Lian mengeluarkan suaranya, “Kita bertiga aja yang pergi. Ibu nggak usah ikut. Takut kecapean nanti malah kita yang repot.”

Sedekat Detak dan Detik 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang