Purnama Tujuh

3.7K 398 88
                                    

Semburat senja memancar indah mengenai benda-benda di kamar. Melukiskan bayangan sebagai pantulannya. Dalam waktu yang sebentar lagi malam, sungguh sangat menyenangkan untuk membawa diri pada sebuah khayal yang begitu jauh dari kekecewaan.

Tatapan itu terus menelisik pada dedaunan di luar jendela kamar. Pikirannya lebih jauh lagi, selalu menjurus pada lelaki yang sudah satu minggu ini tidak mau bicara padanya.

Kadang kala Salsa dihantui rasa kebingungan. Bingung mengapa usahanya terus saja disalahartikan. Satu minggu semenjak kepulangan mereka dari Finlandia, Lian sama sekali enggan untuk bicara bahkan menemuinya. Sebab itu, kini Salsa tengah menuliskan surat yang barang kali nanti bisa Lian baca.

Namun, pena yang digenggam segera ia letakkan saat terdengar satu teriakan.

“Ibu?!”

“Kenapa, Nak?”

Salsa melangkah keluar kamar, mendapati Bilva yang begitu panik sampai lidahnya kelu untuk bicara.

“Itu, kebakaran.” Bilva menunjuk jalan yang mengarah ke dapur. “Dapur, Ibu. Adik lagi masak.”

“Kebakaran?”

Satu anggukkan dari Bilva, membuat Salsa mempercepat langkahnya. Beruntung kamarnya sekarang di lantai bawah, tidak perlu menuruni tangga yang mengkhawatirkan bagi kandungannya. Bau gosong menyeruak bahkan sebelum Salsa sampai di dapur.

“Adik?!” teriak Salsa.

Birva tengah mengguyur wajan penuh api di atas kompor. Itu yang membuat apinya semakin menyulut dan berkobar.

“Ibu, tolong panggilkan pemadam kebakaran.” ucapnya. Menatap Salsa dengan mata yang berkaca-kaca.

“Mundur kamu jangan deket-deket sama api.” Satu tarikan berhasil membuat Birva menjauh.

Salsa mengambil lap ukuran sedang yang sekiranya bisa menutupi seluruh wajan. Membasahinya di kamar mandi lalu segera mendekati kompor. Ia perhatikan arah apinya dengan seksama, kemudian meletakkan perlahan kain lembab yang ia bawa di atas wajan agar apinya padam. Dan benar, dalam satu gerakan, api yang menyala seketika meredup. Menyisakan asap saat kain tadi di buka.

“Apinya sudah mati? Kita tidak perlu memanggil pemadam kebakaran?” Birva mendekat dan melihat sendiri wajan yang sudah berubah warna menjadi hitam.

“Kita lebih perlu memanggil tante Nindy buat nasihatin Adik supaya tidak banyak tingkah.” Bilva menabok pelan bokong Birva. Tapi setelah itu, ia usap dahi Birva yang meneteskan keringat. “Kita belum cukup umur untuk memasak, Adik. Jangan bertingkah seperti orang dewasa.”

“Adik cuma mau bikin gulali, Kakak.”

“Kan bisa minta tolong Ibu.”

“Ya sudah iya. Adik minta maaf.” ucapnya.

Birva sempat melirik sebentar ke arah Salsa. Melihat tubuh yang terduduk dengan lemasnya di kursi. Menatap lurus ke bekas kebakaran kecil yang sempat membuat jantungnya berdegup tak karuan. Pembawaannya memang sangat santai, tapi tidak bisa dipungkiri kalau banyak ketakutan yang setiap hari menyelimuti. Apapun. Ketakutan apapun itu.

“Ibu, Adik minta maaf.” Birva duduk di lantai dengan posisi kakinya yang menyilang. Tangannya memeluk kaki Salsa.

“Maaf, Ibu. Adik sudah bikin Ibu panik.” Birva mendongak, melihat Salsa yang masih larut dalam lamunannya. Ia menunduk lagi dan mulai menjelaskan. “Tadi Adik buat gulali seperti yang Adik lihat di tiktok. Cuma pakai tiga bahan saja Bu. Ada gula, air sama jeruk nipis. Adik sempat khawatir kalau di kulkas tidak ada jeruk nipis tapi ternyata ada. Soalnya itu perlu sekali biar nanti gulanya tidak balik menjadi kristal setelah dingin. Tapi, mungkin Adik yang tidak pandai mengatur api jadi apinya kebesaran dan merambat ke bagian atas. Sekali lagi Adik minta maaf.”

Sedekat Detak dan Detik 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang