***
Tuk .. Tuk...Tuk
Kedua laki-laki ini saling menatap, terlihat senyuman tipis saling mereka lemparkan.
"Selamat, Bapak Direktur," Ravindra tersenyum menerima uluran tangan Lian.
"Terimakasih," keduanya kembali melemparkan pandangan kepada wanita yang berdiri di depan sana.
Tamu undangan terlihat menikmati rangkaian acara, perhatian tertuju pada sepasang manusia yang baru saja memasuki ruangan. Prosesi pernikahan yang dilengkapi upacara pedang pora berjalan lancar dan khidmat. Keduanya berhasil mencuri pehatian semua orang, berjalan bergandengan sangat terlihat serasi.
Pandangan yang lurus kedepan dengan mata yang fokus pada satu titik, wajahnya nampak ayu. Keadaan yang terlihat begitu ramai tidak ia hiraukan. Keduanya masih beradu pandang, langkahnya mendekat. Wanita itu begitu menawan dengan balutan gaun pengantin yang ia kenakan, hiasan tipis nan natural membuatnya nampak begitu mempesona, senyumannya tidak luntur. Langkah laki-laki ini terhenti saat seseorang menyentuh bahunya.
"Hai, bagaimana kabarmu? Eh Lian, Cecil tidak ikut? Aku mengira kau__" Ravindra segera menjulurkan tangan, senyumnya terlihat sangat tipis. Lian yang berdiri berdampingan dengan Ravindra membuang pandangannya sembarang.
"Selamat atas pernikahanmu," Alma mengangguk pelan seraya menghela nafasnya pelan, tangan nya bergerak meraih lengan kokoh seseorang di sampingnya.
"Terimakasih sudah datang, Bang kenalin teman-teman Alin," Laki-laki itu tersenyum ramah seraya menjulurkan tangan.
"Terimakasih sudah datang, saya Bagaskara Bimantara Maaz. Salam kenal," Ravindra tersenyum tipis seraya menjabat tangan Bagas, mata yang sedari tadi fokus pada wajah Alma seketika beralih pada tangan yang bertengger di lengan laki-laki tersebut. Alma terlihat berbisik pada Bagas, Laki-laki itu mengangguk_Alma menarik pelan tangan Ravindra.
Keduanya nampak menjauh dari keramaian meninggalkan Bagas dan Lian, Ravindra yang sedari tadi membisu menghentikan langkahnya.
"Ada apa?"
Suara itu terdengar dingin, air mata yang sedari tadi membendung di pelupuk mata seketika tumpah begitu saja. Alma melepaskan pegangannya, ia memberi jarak pada Ravindra. Keduanya nampak saling menatap.
"Vi, Terimakasih atas semuanya. Terimakasih atas semua yang pernah kita ukir, aku bahagia melihatmu sukses seperti sekarang. Selamat sudah menjadi direktur yayasan, aku bangga padamu." Ravindra tersenyum kecut, ia menatap Alma dengan mata yang memerah.
"Lalu? Jika aku membuatmu bangga lantas mengubah keadaan? Aku yang salah terlalu lama terjebak dalam denial tentang hubungan kita. Aku yang pengecut, tidak berani berjuang. Aku yang bodoh, membiarkanmu begitu saja selama ini. Aku yang bodoh tidak berani mengambil keputusan, setelah melihatmu bersanding dengan laki-laki lain membuatku tersadar bahwaa rasaku padamu lebih besar dibandingkan rasaku pada Arsy," Alma menundukkan kepala, air matanya sedari tumpah. Bahunya terlihat bergetar, tangannya meremas gaun yang ia kenakan.
"Terimakasih sempat mengisi ruang kosong dalam diriku, terimakasih sudah membersamaiku sejauh ini. Lakuna ini setidaknya pernah terisi, kini saatnya aku melepaskanmu. Semua ini menyadarkanku bahwa sesuatu yang berharga harus segera kau ambil dengan keberanian, bukan malah menyianyiakannya. Dan aku paham bahwa nilai seorang lak-laki ada pada keberaniannya membuktikan. Karena sebenarnya yang menemani dan selalu ada akan kalah dengan yang berani memberikan kejelasan. Lin, kamu sangat cantik hari ini berbahagialah. Aku akan mencoba ikhlas melepaskanmu. Bagas memang orang yang luar biasa, berhasil mendapatkan berlian berharga sepertimu. Doakan aku, agar aku dapat memiliki berlianku juga," Ravindra menyentuh bahu Alma, ia tersenyum hangat seraya melangkah mundur.
