Kadang Liliana masih tidak menyangka, bahwa jebakan yang dibuat malam itu berakhir dengan indah. Liliana sempat mengira bahwa semua akan berakhir begitu saja. Layaknya sebuah cerita cinta satu malam dengan orang asing dan kemudian melupakannya. Dia mengira Dason sama seperti lelaki yang sering dijumpainya. Mereka bersenang-senang dalam semalam, lalu esoknya bersikap tak saling kenal ketika berjumpa.
Namun ... Dason Stifler ternyata sangatlah berbeda. Lelaki itu akhirnya mengakui bahwa sejak awal dia memang sudah memiliki perasaan pada Liliana. Dason mengaku bahwa perasaan yang dia punya bukan hanya sekedar nafsu semata, tapi dia memiliki perasaan tulus kepada Liliana.
Dason mencintai Liliana.
Sungguh sebuah kenyataan yang indah bagi Liliana. Dia tentu menyambut hadir Dason dalam hidupnya dengan tangan terbuka. Tapi kemudian sebuah ketakutan juga mengiringi segalanya. Liliana ingat dengan statusnya. Dia adalah seorang janda yang sudah memiliki anak yang menginjak usia dewasa. Sementara Dason masihlah seorang bujangan yang belum pernah menikah. Usia mereka juga terpaut cukup jauh. Dason lebih muda tujuh tahun dari Liliana.
Liliana jelas sadar bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah. Berkali-kali keraguan menelusup ke dalam hatinya. Liliana berkali-kali juga mempertanyakan kesungguhan Dason. Terkadang Liliana malah terkesan ingin menjauh dari lelaki itu, tapi Dason tidak melepaskannya lagi. Dason mengatakan bahwa dia menerima semua kelebihan dan kekurangan Liliana. Dia tidak menuntut apa pun. Dia hanya ingin Liliana terus berada di sisinya sebagai seorang pendamping.
Akhirnya Liliana mencoba untuk percaya. Dia melabuhkan perasaannya pada lelaki itu. Bak pasangan kekasih yang dilanda asmara, keduanya sering menghabiskan waktu bersama untuk berkencan di sela-sela kesibukan masing-masing. Sejak malam itu mereka tidak pernah lagi melakukan hal tidak senonoh. Dason tidak mau lagi melakukannya, walau dia juga ingin dan hasrat itu terus menggoda. Dason ingin menikahi Liliana terlebih dahulu. Dia ingin memperlakukan wanita itu sebagai seorang wanita yang bermartabat. Perlakuan Dason itu jelas membuat Liliana semakin dilamun rasa cinta.
Pada akhirnya Dason melamar Liliana. Di malam yang indah dengan taburan bintang di langit. Dason duduk bersimpuh di depannya. Membuka sebuah kotak perhiasan berisi cincin dengan permata yang berkilau dan kemudian berkata.
"Maukah kau menikah denganku?"
Liliana pun langsung mengangguk dengan air mata berderai. Dia tidak bersedihh. Itu adalah air mata bahagia. Tidak ada sedikit pun keraguan lagi di hati Liliana. Kehidupan baru sudah terbentang untuk diarungi. Rasanya memang sudah cukup bagi Liliana untuk terpaut dengan masa lalu. Dengan semua luka yang menyesakkan dada.
Liliana juga ingin merasakan bahagia. Tapi rupanya sang putri tidak bisa memahami hal itu.
Riani masuk ke dalam rumah dengan wajah masam. Sejak hari kelulusan itu, dia tidak pulang ke rumah selama berhari-hari. Nomor ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Liliana sempat mencari keberadaan Riani dengan menghubungi temna-teman anaknya itu. Tapi jawaban mereka semua seragam. Mereka tidak tahu di mana keberadaan Riani. Setelah itu Liliana pun menyerah dan tidak mencari Riani lagi.
Tapi hari ini ... Riani pulang ke rumah.
Liliana yang sedang duduk di sofa sambil membaca koran pun sedikit terkejut dan langsung bangun dari duduknya.
"Dari mana saja kamu? ke mana kamu beberapa hari ini?" Liliana menatap marah bercampur cemas.
Sedangkan Riani menghela napas gusar, lalu menoleh. "Memangnya kenapa? Bukankah aku sudah dewasa? aku sudah bisa memilih jalan hidup aku sendiri seperti yang Mama katakan! jadi ... untuk apa Mama mencemaskan aku lagi."
"Riani!" Liliana sedikit membentak.
"Urus saja kekasih Mama yang sempurna itu. Ah... iya! Mama juga pasti sibuk untuk mempersiapkan pernikahan kalian bukan?" Riani menatap penuh kebencian.
Liliana menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Merasa frustasi dengan sikap sang anak yang keras kepala itu. Liliana kemudian coba menjelaskan dengan pelan dan berhati-hati. Berharap Riani bisa mengerti.
"
... Mama menikah bukan semata-mata untuk kesenangan semata. Selama ini Mama sudah menjalani kehidupan yang mengerikan setelah ditinggalkan oleh papa kamu! Mama tidak mengharapkan banyak hal. Mama hanya ingin memiliki teman hidup yang selalu ada. Tapi kenapa kamu bersikap seolah-olah mama seperti melakukan sebuah perbuatan dosa, ha?"Riani memutar bola matanya malas dan melangkah pergi begitu saja.
"Oh Tuhan ...." Liliana mengembuskan napas kasar.
Liliana segera menyusul Riani yang masuk ke kamarnya. Tapi kemudian Liliana terkejut melihat Riani mengambil sebuah koper besar warna hitam di balik pintu.
"A-apa yang kamu lakukan?" tanya Liliana.
Riani tidak menjawab. Dia membuka koper yang diletakkan di atas kasur itu, lalu kemudian mulai sibuk mengambil pakaian di dalam lemari dan memasukkannya ke sana.
Liliana menatap panik. "Apa yang kamu lakukan, ha? kamu mau ke mana?"
Liliana coba menghentikan, tapi Riani kemudian mendorongnya hingga Liliana terjerembab jatuh ke lantai.
"Aaah." Liliana meringis kesakitan saat sikunya membentur dinding.
Riani menutup koper yang sudah terisi penuh itu, lalu menariknya pergi.
"Riani ...! kamu mau ke mana?" pekik Liliana.
Riani berhenti melangkah, lalu berbalik sebentar. "Aku akan pergi dari rumah ini! sampai kapan pun juga ... aku tidak akan menerima lelaki itu sebagai ayah tiri.
Liliana memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Tapi di sisi lain dia juga tidak bisa menyalahkan sikap Riani. Sikap keras kepala itu diwarisi sang anak dari dirinya sendiri. Liliana juga merupakan sosok perempuan yang keras kepala.
"Jadi kamu lebih memilih pergi meninggalkan mama?" tanya Liliana.
Riani menghela napas sesak. Dia nyaris menangis, tapi berusaha keras untuk menahan diri agar air matanya tidak tumpah.
"Iya! aku tidak mau punya papa tiri, Ma! sampai kapanpun aku tidak akan mau!" pekik Riani.
Liliana mengangguk pelan. Sikap sang mama itu membuat Riani mengira bahwa Liliana akan mengalah. Tapi ternyata dugaan Riani sepenuhnya salah.
"Kalau begitu pergilah ...," ujar Liliana kemudian.
Riani tersentak dengan mata membulat. Air matanya yang sedari tadi masih bisa ditahanpun akhirnya berderai juga di pipi.
"Jadi pada akhirnya Mama lebih memilih laki-laki itu dibandingkan darah daging mama sendiri?" Riani menatap nanar.
Liliana sepertinya sudah terlalu lelah. Dia sudah terlalu penat menjelaskan semuanya. Riani tidak mengerti bahwa dia juga merasa kesepian. Riani tidak tahu betapa sunyinya kehidupan yang dia jalani selama ini sebagai seorang single parent. Riani sudah tamat kuliah, dia juga sudah memiliki kekasih, sosok putrinya itu memang sudah memiliki jalan hidupnya sendiri. Tapi dia malah tidak membiarkan sang mama memilih jalan hidunya juga.
"Pergilah... sekarang semuanya terserah kamu, Riani! Mama juga sudah sangat lelah menghadapi tingkah kamu yang sangat kekanak-kanakan ini. Satu hal yang perlu kamu ketahui adalah ... apa pun yang terjadi. Apa pun yang akan kamu lakukan, MAMA AKAN TETAP MENIKAH DAN TIDAK ADA SATU PUN ATAU SIAPAPUN YANG BISA MENGHENTIKANNYA!"
Riani tertohok dan tidak bisa berkata-kata lagi. Dia sudah kalah telak dan akhirnya menyeret kopernya, lalu pergi dari tempat itu dengan derai air mata dan rasa kecewa.
Bersambung...