025

5.5K 388 14
                                    

Berbeda dari biasanya, kali ini Devon menatap tidak berminat pada guru yang sedang menjelaskan materi di depan kelas. Kepalanya menempel pada lengannya yang terlipat di atas meja, dengan tangan yang sesekali bergerak memainkan pulpen pada sela jarinya.

Tidak jelas apa yang Devon pikirkan, isi otaknya seperti kosong. Dia masuk dalam alam bawah sadarnya tanpa disengaja. Devon benar-benar hanyut dalam lamunannya sendiri, tidak lagi memperhatikan penjelasan yang diberikan oleh gurunya.

Hal itu bertahan sampai bel istirahat berbunyi nyaring, menyadarkan Devon dari lamunannya.

Notifikasi yang muncul di ponselnya tiba-tiba menarik perhatian Devon. Dia langsung membukanya, yang ternyata berasal dari Noval.

Nopalpal

Woy, Devon
Kantin sini

Gak laper
Mau tidur...

Kesini atau gua seret!!!

Dih jelek

10 menit kalo lo gak ada di kantin nanti
gua samperin ke kelas lo
Liatin aja!!

Berisik!

"Ih!" Devon mendengus sebal. Malas sekali rasanya berjalan ke kantin, lagi pula dia tidak ingin membeli jajanan apapaun karena tidak merasa lapar.

Namun, Devon mengenal Noval sangat baik. Cowok itu akan benar-benar datang untuk menyeretnya ke kantin lengkap dengan segala ocehan berisiknya di sepanjang jalan dan Devon tidak mau sampai itu terjadi. Sungguh memalukan pikirnya.

Mau tidak mau Devon beranjak dari kursi. Dia berdiri diam sebentar untuk merenggangkan punggungnya yang terasa ngilu, sesekali ringisan kecil mengiringi pergerakannya.

"Argh-"

Baru selangkah Devon bergerak, tubuhnya langsung ditabrak dari arah belakang. Terasa sangat sakit saat punggungnya tertekan oleh badan orang itu. Luka malam itu belum sembuh sepenuhnya, bahkan membaik pun tidak. Sedikit sentuhan akan langsung menyebarkan ngilu pada tulang di punggungnya.

"Gausah teriak kaya gitu lah, cuman ke senggol doang kok"

"Shh-" Devon kembali meringis ketika tangan pemuda itu menepuk pungungnya. Matanya terpejam merasakan nyeri yang menyebar dengan cepat.

"Halah lebay lo, Devon" Terdengar sautan perempuan dari arah lain. Devon hapal betul itu adalah suara Jenna. "Kesenggol dikit doang teriaknya kaya orang mau di cabut nyawa, bikin kaget aja" sarkasnya lagi.

"Biasa lah, caper. Namanya juga cowok pick me. Kalo gak lebay sehari gatel-gatel dia kayanya" kata teman sekelasnya yang lain ikut menyahuti.

Seisi orang yang ada di dalam kelas tertawa setelah mendengar ucapan itu, membuat bibir Devon melengkung ke bawah karena perasaan sedih yang tiba-tiba meliputinya. Tidak lagi memperdulikan sakit yang dia rasakan, Devon berjalan sedikit lebih cepat. Kepalanya terus menunduk, menahan airmatanya supaya tidak jatuh. Mengusap kasar matanya menggunakan punggung tangan sambil merutuki dirinya yang cengeng ini.

Harusnya Devon sudah terbiasa dengan semua makian itu. Bukankah dia selalu menerimanya sejak dua tahun belakangan, lalu kenapa ucapan jahat mereka masih berpengaruh begitu besar terhadap perasaannya? Devon tidak suka sifatnya yang cengeng. Dia benci setiap kali dia menangis karena hatinya yang sakit.

Devon terus berjalan cepat tidak tentu arah. Sampai dia menabrak tubuh besar seseorang karena tidak terlalu memperhatikan langkahnya. "Maaf" cicitnya sambil kembali mengusap kasar sudut matanya yang berair.

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang