Chapter~1

1.3K 98 7
                                    

🔪🔪🔪🔪🔪🔪

.
.
.

Jungkook tertawa, baiklah itu adalah keburukan. Dia adalah psychopath. Seseorang yang tak memiliki empati, bahkan ia juga tak memiliki ekpresi. Jungkook tak tahu cara menempatkan tawa pada situasi yang benar. Pun Jungkook juga tak pernah tahu jika menangis itu adalah luapan sedih, meski terkadang bahagia juga bisa menangis. Intinya Jungkook tak mengenal apapun itu yang berhubungan dengan perasaannya.

"Aku tak sengaja melihatnya tuan... Dan aku berjanji tak akan memberitahu siapapun..." Seorang pria memohon di tengah ketakutannya. Ia yang pulang kerja tak sengaja melihat seseorang yang dengan kejinya mencongkel bola mata milik seorang perempuan.

Pria yang ketakutan kini pun hanya bisa terus memohon dengan suaranya yang bergetar, namun pria dengan tatapan kosong di hadapannya masih diam tanpa ekpresi dengan tangannya yang berlumuran darah.

Jalanan umum yang terlihat sepi semakin mengembangkan senyum Jungkook. Jungkook selalu merasa jika semestanya ini sangat mendukung setiap tindakan kejinya.

Tak lama setelah itu datang satu orang pria lagi. Perawakannya lebih tenang dan terlihat teduh. Tapi semua itu tak menjamin jika pria itu lebih baik dari pria yang baru saja mencongkel mata seorang perempuan.

"Berhenti menatapku, atau aku congkel matamu seperti perempuan itu." Ia menujuk perempuan yang sudah tergeletak tak berdaya dengan dua bola matanya yang sudah hilang. Dan ia kembali tertawa ketika pria yang baru saja datang, nampak kesal karena harus membereskan kekacauannya.

"Berapa kali aku bilang, lakukan di rumah!" Kesalnya sembari memasukkan mayat perempuan itu ke dalam kresek besar dan lalu membopongnya, memasukkannya ke dalam bagasi mobilnya.

Pria yang tengah berlutut memohon kini semakin terisak. Kakinya bahkan sudah tak dapat digerakkan lagi. Padahal mudah baginya jika ingin berlari. Jalanan ini sangatlah lebar. Lampu penerangan di jalan juga tetap menyala terang. Ini tak semenyeramkan cerita-cerita pembunuhanan yang selalu dilakukan di tempat yang gelap. Tapi entahlah, ketakutan membuatnya menjadi bodoh.

"Kau bisa lari?" Tanyanya. Dan pria itu menggeleng.

"Cukup sampai di sini Jungkook! Jangan membuatku repot."

"Baiklah, aku akan selesaikan dengan cepat."

Jungkook melepaskan dasinya dan membuatnya seperti buntalan yang kemudian ia sumpalkan ke dalam mulut seorang pria yang sudah siap dirinya eksekusi.

"Aku hanya menendang lututmu yang sebelah. Harusnya kau masih bisa menggunakan satu kakimu yang lain untuk berlari. Tapi sepertinya kau memang menginginkan kematian di tanganku."

Seluruh otot pria itu nampak menonjol. Rasa sakit yang teramat luar biasa ia rasakan pada malam hari ini. Belati tajam yang menyayat kulit wajahnya terus membuatnya kejang hingga tak sampai Jungkook menusukkan belatinya lebih dalam dan menariknya untuk membuka jalan utama, pria itu sudah pingsan.

Baiklah, setidaknya sudah tidak ada suara berisik lagi.

🔪🔪🔪🔪🔪🔪

Puas dengan dua kali membunuh orang dalam sehari akhirnya Jungkook bisa tidur dengan nyenyak. Selama satu minggu berturut-turut pikirannya selalu tak tenang.

Rekan kerjanya yang baru teramat sangat mengganggunya. Jungkook sudah mencoba untuk menolak. Tidak ada pertemuan di luar bisnis. Tapi sepertinya wanita itu memang sudah waktunya menjemput ajal.

Jungkook memberikannya makanan malam yang mewah di restaurant yang mahal. Menaburkan kebahagiaan sebelum malaikat maut menjemputnya. Setidaknya perempuan itu mati dalam keadaan bahagia, karena keinginannya untuk pergi makan malam bersama dengan Jungkook sudah terwujud.

Semua sudah Jungkook siapkan dengan rapi. Berita kehilangan atau kematian, Jungkook pastikan baru akan tersiar setelah beberapa bulan terlewat.

Paginya Jungkook mematut dirinya di depan cermin. Cukup lama. Menyelami manik hitam kelamnya sendiri. Dan mencoba merangkum semua yang ada pada wajahnya.

Biasa saja

Itu menurut Jungkook. Tapi tidak menurut orang lain. Satu kali pandang, orang biasanya akan takjub. Dan dua kali pandang, maka orang itu akan semakin tertarik. Dan jika semakin dipandang maka hanya ada keburukan pada orang itu.

Manik hitamnya terlalu teduh dan selalu mengundang rasa ingin menyelami ke dalam. Menuntaskan hasrat penasaran tentang apa yang sebenarnya sedang dirasakan oleh pria berusia 37 tahun ber marga Jeon itu.

Apakah itu kesedihan? Atau ketenangan?

Dan ke dua opsi itu salah.

Jungkook sudah lupa seperti apa itu kesedihan. Dan Jungkook juga tak memiliki apa itu ketenangan.

Di dalam jiwanya hanya ada kemarahan dan kebencian. Tapi sepertinya orang-orang di sekitar Jungkook masih juga belum sadar.

Jungkook ke luar dari kamarnya dan langsung menuju ruang makan. Kosong. Bocah itu pasti sudah berangkat ke sekolah.

"Tuan muda apa anda ingin sarapan?"

Seorang asisten rumah tangga mengalihkan atensi Jungkook. Hanya pertanyaan basa-basi karena perempuan berusia 60 tahun yang biasa dipanggil Bibi Lulu itu juga tahu jika tuan mudanya tidak pernah sarapan.

"Apa dia meminum obatnya hari ini?" Tanya Jungkook yang langsung diangguki oleh bibi Lulu sembari meletakkan satu cangkir kopi hitam tanpa gula. Jungkook hanya menatapnya sekilas dan lalu membiarkan kopinya terabai di atas meja sampai uap panasnya menguap sedikit.

Lama menatap kosong pada halaman samping rumah, ponsel Jungkook berdering dan tertera nama Seokjin di sana.

Jungkook menggeser layar ponselnya, menyambungkan panggilannya dengan seseorang di seberang.

-Aku sudah mendapatkan barangnya-

-Baiklah... aku akan segera menemuimu. Hari ini aku akan mengambilnya sendiri-

Sambungan pun berakhir.

Sadar hari sudah semakin siang Jungkook pun segera bergegas pergi. Hari ini ia ada janji dengan seseorang dan orang itu adalah Seokjin yang biasa dipanggil Jin. Seorang apotaker yang menyalahgunakan kemampuannya dalam meracik obat hanya karena tergiur dengan wanginya bau uang haram.

Menjadi orang jujur tak menjamin kebahagiaan.

.
.
.

Bersambung_____

Taiwan, 31 Maret 2024

MY UNCLE IS PSYCHOPATH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang