[07-keputusan-]

10 6 0
                                    

"Vyera!"

Vyera menutup bukunya dan menatap heran Tiva yang tiba-tiba berada di depannya.

"Ada apa?"

Tiva mendesah pelan. "Vyera aku... aku ingin membicarakan hal yang kemarin."

Vyera termenung. "Disini? Ini perpustakaan Tiva? Kita tidak bisa berisik disini."

"Aku kesini bukan untuk berdebat," tegasnya.

"Lalu?"

"Aku kesini karena... karena kemarin... kemarin malam aku memikirkan perkataanmu sampai aku tidak bisa tidur," ungkap Tiva dengan gugup.

"Ya ampun, maafkan aku. Sepertinya aku menyusahkanmu lagi, maaf yah aku tidak bermak--"

"Bukan begitu!"

Vyera mengerutkan keningnya, apa maksudnya? dia tidak akan marah?

"Sebenarnya." Tiva melepas blazer nya. Dan menggulung lengan bajunya.

Vyera membulatkan matanya melihat kondisi tubuh Tiva. Memar yang membiru mendominasi kulit putihnya.

"Apa sudah diobati? Haruskah kita ke UKS? Ini terlihat... terlihat... aduh!" celetuk Vyera panik.

Tiva melepas tangan Vyera yang tanpa sadar menggenggam tangannya, "Enggak apa-apa, udah biasa kok." Dia tersenyum seolah ini hal yang wajar.

Vyera menatapnya sendu. "Apa ini karena seleksi itu?"

Tiva mengangguk, "Ayahku sudah tau. Kemarin malam, dia masuk ke kamarku. Dan kau tau apa yang akan dia lakukan selanjutnya."

Lihatlah dia, masih bisa tersenyum setelah mengalami hal mengerikan itu.

"Tidak perlu menangisiku. Aku sudah mengalami ini bertahun-tahun. Jadi, kurasa aku sudah terbiasa," ungkapnya lirih sembari mengusap air mata Vyera yang menetes tanpa vyera sadari.

Tiva mendengus pelan, "Semalam, aku memikirkan saranmu. Hingga aku menyadari, selama ini aku tidak pernah melakukan kesalahan lalu kenapa aku dihukum? Olimpiade itu? Aku bahkan tidak pernah ingin mengikutinya aku dipaksa mengikutinya hanya karena kakakku mengikutinya. Jika aku tidak mau, aku akan dihukum. Setelah aku mengikutinya dan gagal aku dihukum. Aku ikut atau tidak ujung ujungnya aku akan dihukum. Lalu salahku dimana? Apa karena aku tidak bisa menang? Lalu aku harus bagaimana untuk menang? Bagaimana lagi aku harus berusaha agar aku menang? Aku berusaha keras untuk menang namun aku kalah! Lalu salahku dimana? Aku dipaksa mengikuti sesuatu yang tidak aku sukai, kemudian aku terpaksa menerima hal yang menyakitiku. Aku tidak pernah meminta ikut, lalu salahku dimana jika aku kalah pada sesuatu yang tidak aku kuasai?"

"Aku ingat saat pertama kali aku diperlakukan begitu. Saat itu, aku kalah dari Ninda. Dan Ninda adalah keponakan dari pesaing bisnis ayahku. Hal ini membuat ayahku marah, karena dia merasa kalah dari pesaingnya. Aku ingat sekali, waktu itu aku di dorong masuk ke kamar. Aku di tendang, di jambak, dan diludahi. Saat itu aku sangat tersiksa. Ayah yang selama ini memanjakan aku tiba tiba berubah menjadi sangat menyiksaku. Dia berteriak sampai bunda terisak di luar kamar memintanya berhenti. Saat itu aku ingat jelas perkataannya. Dia berkata sambil berteriak, DASAR ANAK TIDAK BERGUNA! KAU HANYA MEMPERMALUKAN DIRIKU! JIKA AKU TIDAK BISA MEMENANGKAN SESUATU JANGAN PERNAH KAU IKUTI! JANGAN MELAKUKAN SESUATU YANG AKAN MEMBUATMU KALAH! KAU MENGERTI! DASAR SIALAN! ANAK KEPARAT! Yah aku tidak mengikuti sesuatu yang peluangnya kecil untuk menang aku tidak mau kalah dan disiksa lagi. Namun, dia sendiri yang membuat aku mengikuti sesuatu yang akan membuatku kalah. Jadi, sebenarnya siapa sialannya yang sebenarnya? Siapa keparat yang sebenarnya?"

Sekilas Vyera menatap mata Tiva yang terlihat memerah dengan pendangan kabur. Air mata Vyera yang menggenang membuat penglihatannya tidak jelas. Rasanya sakit, dadanya terasa sesak. Membayangkannya saja Vyera tidak kuasa. Lalu bagaimana dengan Tiva yang mengalaminya?

Dreamers [on-going + revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang