PILIHAN KEDUA

29 8 0
                                    

Suara pintu dibuka terdengar hingga ke lantai atas. Azka yang tengah berbaring sudah mengira itu ayah dan ibunya. Tangannya terlipat di belakang kepala dan matanya masih terbuka menatap langit-langit kamar yang dihiasi lampu kecil yang mengelilingi atap kamarnya. Rambutnya masih basah setelah ia mandi sepulang mengantar Febie tadi. Handuk basah masih berada di kursinya dan seperti biasa, ia enggan merapikannya sebelum ibunya yang menyuruh.

"AZKA !!! BUKA PINTUNYA !" suara teriakan dan dobrakan dari luar kamarnya membuatnya terganggu. Ia tidak tidur, hanya saja ia sedang berpikir hal apa yang akan ia utarakan kepada ayahnya untuk menjelaskan kejadian tadi.

BUGH !!!

Satu pukulan melayang ke arah pipinya saat pintu kamar ia buka. Rasa amis dari darah terasa di mulut bersama dengan rasa nyeri yang menyebar ke seluruh tubuh terutama pada bagian tulang pipinya.

"Bikin malu Papa aja !" Bahu ayahnya masih ditahan oleh ibunya yang berada tepat di belakang ayahnya.

"Maksud kamu apa ?" Azka masih tidak menjawab pertanyaan itu. Kepalanya belum menatap lurus wajah ayahnya yang mengeras. Ia tetap berada di posisi yang sama saat pukulan ayahnya mendarat di pipinya.

"JAWAB AZKA !!!"

"Azka udah bilang. Hubungan Azka sama Febie itu palsu. Gak ada perasaan suka di antara kita,"

"Kamu sendiri yang minta mau diadakan pertunangan akhir bulan ini, lalu kenapa kamu membatalkan tiba-tiba ? Kamu gak bisa ngomong sopan sama ayahnya Febie ?"

"Azka gak bisa. Kalau Azka bilang secara baik-baik, kalian nggak akan terima dan akan tetap melanjutkan acara itu."

"Lalu ? Dengan sikap kamu tadi bisa membuat kita berubah pikiran ?"

"Mungkin Azka cuma dianggep gak pantes buat Febie," Azka mengambil jaketnya yang tergeletak di lantai kamarnya dan mengembalikan ke gantungan pakaian yang berada di sudut kamarnya.

"Asal kamu tau, tindakan kamu tadi sudah bikin malu keluarga Bondan !"

"Mau kamu apa ?" Pertanyaan semacam inilah yang dari tadi Azka pikirkan untuk jawabannya. Tidak mungkin ia akan membiarkan ayahnya mengatur kehidupannya khususnya untuk urusan jodoh atau apalah.

"Kamu masih ingat kesepakatan kita yang lalu ?" Azka berhenti dari aktivitas sok sibuknya dengan merapikan tempat tidurnya yang sudah rapi sebelumnya.

"Masih Pa,"

"Apa yang akan kamu pilih ?"

"Yang pasti bukan perjodohan konyol lagi." Azka mengambil beberapa potong pakaian dan memasukkannya ke tas ransel hitamnya.

"Kalau itu yang kamu pilih, Ayah akan kirim kamu ke New York,"

"Azka udah punya pilihan sendiri,"

"Azka mau ke Sydney."

***

Sepertinya keadaan rumah mulai terasa sedikit damai daripada sebelumnya. Tidak ada percekcokan seperti biasa saat Azka memiliki pilihan sendiri. Padahal biasanya ayahnya akan menentang habis-habisan dan memaksa Azka untuk menuruti kemauan ayahnya. Malam itu Azka tidak bisa memejamkan mata barang satu menit saja. Ia terus memikirkan kehidupannya yang pastinya akan berbeda saat berada di Sydney, Australia. Bagaimana jika ia tidak bisa lulus dengan nilai yang memuaskan ? Secara, Azka belum memiliki minat pada dunia bisnis atau ilmu ekonomi atau sejenisnya.

Suara jam weker membuyarkan lamunan Azka semalaman. Ini rekor terlama ia melamun dan bahkan melewati malam tanpa tidur. Ia merasa sangat lemas, matanya perih, dan kepalanya sangat pusing. Tapi ia harus tetap turun untuk ikut sarapan. Dengan setengah hati ia beranjak ke kamar mandi dan waktunya berperang dengan dinginnya air di jam sekian.

NICE TRY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang