Part 03

335 16 1
                                    

 
"

Jangan menilai seseorang melalui uang,"

-
-
-

Zayyen Arkhantara, anak Bandung yang merantau ke ibukota sejak satu tahun yang lalu. Tidak, dia bukan merantau karena ekonomi keluarga, lebih tepatnya dia pergi untuk melupakan apa yang disebut 'keluarga'. Satu tahun terakhir adalah masa-masa sulit untuknya, ibarat hidup di kota orang, dia benar-benar sendirian, sama seperti saat ini.

"Terlalu berat buat inget semua itu." Dia duduk di ruang tengah menatap televisi di depannya tanpa niat, padahal pikirannya melayang kemana-mana, juga sesekali menggumamkan hal-hal yang tak jelas.

Bruk!

"Naresh goblok pantat gue sakit cok!"

"Jangan ribut Fan!"

"Tapi sakit!"

"Iya itu resiko, lo!"

Suara itu mengalihkan atensinya. Awalnya kepalanya terasa penuh dengan berbagai pertanyaan yang tiba-tiba melintas, namun saat mendengar suara gaduh dari depan membuat semua pertanyaan itu hilang. Apakah ada maling di rumahnya? Tapi rumahnya hanya sebuah kos biasa, tak ada barang berharga selain televisi dan kulkas, televisinya pun sudah sangat lawas. Tapi Mahesa tak pernah lupa bahwa dia punya barang berharga lainnya di depan.

Pohon mangga yang sedang berbuah.

Tipe maling seperti apa yang akan dia temui lagi sekarang? Dia sudah sangat hafal dengan maling-maling yang biasanya mencuri mangganya, tapi kini melihat dua orang asing membuatnya mengerutkan kening. Dia berjalan sepelan mungkin agar suaranya tak terdengar, mendekat kearah

mereka yang kini sepertinya sedang cek-cok dengan suara yang dikecilkan.

"Fan, itu yang diatas udah mateng."

"Ngga sampek gue kesana."

"Siapa suruh pendek."

"Lo tuh ga ada akhlak sama yang lebih tua!"

"Iya deh, si paling tua."

"Ini ga mau pake galah aja ngambilnya?"

"Eh, ngga usah bang, ini udah banyak kok."

"Oh, yaudah." Naresh menatap mangga hasil-- em.. gimana cara ngomongnya, ya? Ya pokoknya haram hukumnya. Dia sampai tak sadar bahwa pemiliknya kini berada tepat di depannya, mengamati dirinya dan Ifan yang sedang berjuang di atas. Hingga detik berikutnya,

"Hah?! Anjir Naresh ini yang punya!" Naresh yang kaget pun langsung saja melompat ke bawah, namun sepertinya perhitungannya salah hingga mendarat dengan tidak sempurna.

"Hehe, siang bang."

"Siang juga." Zay hanya membalas senyuman dari laki-laki yang sepertinya bernama Naresh itu, walaupun masih terduduk di atas tanah ia sudah tersenyum ramah kepada Zay.

"Banyak ga dapetnya?"

"Lumayan, Bang." Entah kini Naresh dan
Ifan merasa agak aneh di sini. Mereka membiarkan hening menyelimuti selama beberapa detik, hingga suara seseorang dari arah belakang memecah hening.

"Gue yakin kalian ga bakalan sukses."

"Ka, akhirnya lo dateng!" Vano, laki-laki yang baru saja tiba di sana hanya bisa memutar bola matanya malas mendengar ungkapan Naresh. Itu lebih terdengar seperti 'lo dateng di waktu yang tepat' Vano tau betul watak temannya itu.

"Maafin temen-temen gue ya, bang. Awalnya udah gue bilangin jangan nyuri--"

"HEH MANA ADA NYURI." Ungkap Naresh dan Ifan berbarengan.

"Terus?"

"Kita.. Kita kan cuma bantu kakak ini petik mangganya kan, Resh? Kasian udah mateng daripada nanti jatuh terus jadi busuk." Ifan hanya mengangguk singkat.

"Kalian jangan bikin malu! Untung aja Abangnya ga ngamuk. Nanti kalo dia ngamuk terus lo pada di laporin polisi, mau?"

"Ya ngga lah!"

"Makanya! Gue bilang apa, minta aja baik-baik sama orangnya, pasti dikasih. Lo pada malah ngotot pen nyuri, pamali kan sekarang?"

"Udah ga usah ribut-ribut gini. Itu mangganya ambil aja dah, gue kasih. Lain kali jangan begini lagi, kalo pengen minta aja sama gue, gue ga gigit orang, kok." Mereka bertiga hanya cengengesan.

"Makasih, kak, mangganya. Semoga berkah."

"Amin."

"Ya udah kita pamit, kak. Terimakasih sekali lagi."

"Hah emangnya boleh? Ayo--"

"Udah! Ayo pulang. Makasih Kak, tolong maklumi temen gue ini yang agak keblinger otaknya." Zay hanya terkekeh kecil saat melihat Naresh menyeret Ifan pergi dari rumahnya, laki-laki yang kini memeluk beberapa mangga dan menjadikan bajunya sebagai wadah. Zay hampir tidak mengerti anak-anak zaman sekarang.

Namun melihat pertemanan mereka yang benar-benar absurd membuat Zay kini yakin tentang sebuah kata 'manusia itu berbeda-beda' dan contohnya adalah mereka. Mereka orang-orang yang berbeda, dari
Naresh, Ifan maupun Vano, sifat mereka bertolak belakang. Namun ternyata garis pertemanan tidak pandang bulu, nyatanya mereka mampu melengkapi satu sama lain dalam perbedaan itu.

Ia mengingat ketiga sahabatnya, Samudra, Aksa dan Argha. Ia teringat pada perkataan Aksa yang menyuruhnya untuk meminta maaf.

Zay akhirnya memutuskan untuk berbalik badan dan berniat memasuki rumahnya, namun saat ingin memutar kenop pintu seseorang memanggil namanya.

"Kak!" Di sana Naresh berdiri, masih dengan pakaian yang sama. Laki-laki itu cengengesan menatap Zay.

"Gue minta lagi satu. Kita metik lima tadi, terus
Ifan sama Vano dapet dua, gue cuma satu." Ungkapan itu membuat tawa Zay pecah, namun akhirnya mengizinkan Naresh mengambil mangganya untuk yang terakhir kali, dan benar saja dia hanya memetik satu.

Setelah ia masuk ke dalam rumahnya, ia merogoh sesuatu dari dalam kantung celananya. Mengetik sesuatu di atas layar itu dengan jari-jemari kekarnya.

Zayyen Arkhantara:

"Halo, Sam. Gue mau minta maaf karena udah bikin mereka nyalahin lo."

Samudra Atlanta:
"Gue bakal klarifikasi, sekaliagi maaf, maaf, maaf dan maaf Sam."

Samudra Atlanta:
"Gue ga tega sama lo, gue juga mau kita kaya dulu, jangan pernah kaya gitu lagi ya Zay?"

Zayyen Arkhantara:
"Gue ngelakuin ini karena gue cemburu sama lo, lo bisa tenar di atas gue. Sementara gue engga!"

Samudra Atlanta:
"Ayo bangkit bersama! ada gue Zay!" suara menggema dari handphone itu membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya.

Zayyen Arkhantara:
"Makasih, Samudra Atlanta." senyum itu terukir di wajah laki-laki yang sedang menatap sebuah foto di atas meja.

Zayyen Arkhantara:
"Makasih, Sam!" Ia kembali berteriak kegirangan.

KUPU TANPA SAYAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang